Keagungan Bulan Rajab

Jumat, 25 Mei 2012, 07:48 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Harry Mulya Zein

Bulan Rajab merupakan bulan ke tujuh dalam penanggalan Islam (Hijriah). Pada bulan ini terdapat peristiwa yang sangat agung dan suci yakni Isrta Mijraj Nabi Muhammad saw. Dimana peristiwa suci itu merupakan awal dari perintah Allah kepada umat Muhammad saw untuk menjalankan perintah salat lima waktu diyakini terjadi pada 27 Rajab ini.

Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram atau muharram yang artinya bulan yang dimuliakan.

Dalam kepercayaan Umat Islam, dikenal empat bulan haram (suci) satu diantaranya Rajab, dimana secara berurutan adalah Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri, Rajab.

Dinamakan bulan suci karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan ini, Al-Qur’an menjelaskan:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Keagungan Rajab membuat bulan ini menjadi bulan ibadah, seperti puasa. Banyak masyarakat Islam yang sering kali tidak mengerti kesucian puasa pada bulan yang agung Rajab ini.

Mujibah al-Bahiliyah pernah meriwayatkan, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"

Bahkan Imam Muslim pernah meriwayatkan, keistimewaan puasa di bulan Rajab setara dengan puasa pada bulan Ramadan.

"Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."

Terakhir,dalam sebuah referensi Nabi Muhammad saw pernah bersabda: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku."

Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”

Redaktur: Heri Ruslan



Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/05/25/m4jzk0-keagungan-bulan-rajab

Menjaga Diri dari Sifat Serakah

Sabtu, 19 Mei 2012, 05:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Yunahar Ilyas

Pagi itu beberapa orang berkerumun di Balai Desa Qudaid, pinggir kota sebelah utara Makkah. Seorang laki-laki dengan tergesa-gesa menyampaikan satu pengumuman: “Barang siapa yang berhasil membawa Muhammad hidup atau mati ke Makkah, akan mendapatkan hadiah seratus ekor unta betina muda.”

Sayembara itu diadakan oleh para pembesar Quraisy setelah mereka putus asa tidak bisa menemukan Muhammad. Mereka telah mencarinya ke mana-mana, bahkan sampai ke bukit Tsur, sebelah selatan Makkah, namun mereka tak menemukannya.

Mendengar pengumuman itu, Suraqah bin Malik al-Madlaji, bertekad memenangkan hadiah itu. Segera dia menyusun strategi. Tak lama, datang seseorang ke balai desa menyatakan bahwa belum lama berselang dia bertemu dengan tiga orang di tengah jalan. Dia yakin itulah Muhammad, Abu Bakar, dan seorang penunjuk jalan.

Dalam hati Suraqah gembira dengan petunjuk itu, tetapi untuk mengecoh yang lain dia pura-pura menolaknya. “Tidak mungkin,” kata Suraqah tegas. Mereka adalah Banu Fulan yang tadi lewat di sini mencari unta mereka yang hilang.” Tampaknya mereka lebih percaya Suraqah daripada orang yang baru datang itu.

Suraqah segera pulang. Menyiapkan seekor kuda dan menyuruh pelayannya membawa kuda itu sembunyi-sembunyi ke lembah. Suraqah segera ke lembah itu, memakai baju besi, menyandang pedang, lalu memacu kudanya. Sebagai seorang pemburu dan pelacak jejak yang berpengalaman, Suraqah segera menemukan jalur yang ditempuh Nabi Muhammad dan Abu Bakar.

Ia pun berhasil melihat jejak Rasul dan Abu Bakar. Suraqah sangat senang, terbayang seratus ekor unta akan menjadi miliknya. Setelah jaraknya cukup untuk memanah, dia ambil busurnya, tiba-tiba tangannya kaku dan tidak bisa digerakkan. Kaki kudanya terbenam ke pasir.

Dia coba menarik tali kekang kuda ke atas, mendorong kuda itu untuk mengumpulkan tenaga agar dapat mengangkat kakinya. Tapi, kudanya tak mampu berdiri. Suraqah berteriak keras: “Hai kamu berdua! Mohonkanlah kepada Tuhanmu agar Dia melepaskan kaki kudaku. Aku berjanji tidak akan mengganggu kalian.” Lalu Nabi berdoa, maka terbebaslah kaki kuda Suraqah dari pasir.

Tetapi, karena sifat tamak dan serakahnya, membayangkan seratus ekor unta betina muda, Suraqah mengingkari janjinya. Dia kembali memacu kudanya untuk menyerang Nabi. Namun, tiba-tiba peristiwa semula terjadi kembali, kaki kudanya terbenam lagi di pasir, kali ini lebih dalam.

Suraqah memohon belas kasihan Nabi. “Ambillah perbekalanku, harta, dan senjataku. Aku berjanji akan menyuruh kembali setiap orang yang berusaha melacak kalian di belakangku.”

Nabi segera menjawab permohonan Suraqah, “Kami tidak butuh perbekalan dan hartamu. Cukuplah kalau engkau suruh kembali orang-orang yang hendak melacak kami.”

Kemudian, Nabi berdoa agar kuda Suraqah terbebas dari pasir. Kali ini Suraqah menepati janjinya. Dia pergi meninggalkan Nabi SAW dan Abu Bakar. Sebelum pergi dia kembali mengulangi janjinya, “Demi Allah. Saya tidak akan mengganggu tuan-tuan lagi.”

Belajar dari pengalaman, sebagai seorang Muslim, marilah kita menjaga diri kita dari sifat tamak dan serakah. Keserakahan justru akan membuat kita celaka dan sengsara. Wallahu a’lam.

Redaktur: Heri Ruslan



Sumber :
Republika Online : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/05/19/m485ce-menjaga-diri-dari-sifat-serakah

Kehilangan Berkah

Minggu, 20 Mei 2012, 06:50 WIB

Pesta itu baru saja usai. Kerabat dan kenalan kembali ke rumah masing-masing. Pengusaha muda yang sukses itu baru saja mengadakan acara tasyakuran peresmian dua rumah yang baru saja dibelinya. Dua rumah yang bersebelahan itu berada di sebuah kompleks perumahan mewah.

Semua ikut merasa gembira mensyukuri rezeki yang dianugerahkan Allah SWT kepada pengusaha muda itu. Semua tahu 10 tahun lalu hidupnya masih susah. Ia tinggal di rumah kontrakan, penghasilan pas-pasan, ke mana-mana naik angkutan umum. Sekarang ia punya ruko, beberapa buah mobil, dan perusahaan yang sedang maju pesat.

Sehabis shalat Zuhur, pengusaha muda itu mengantarkan bapak kandung dan ibu tirinya ke terminal bus antar provinsi. Ibu kandungnya sudah lama meninggal dunia. Setelah itu, dia meluncur kembali ke rumah. Rupanya Allah berkehendak lain. Tiba-tiba ia terkena serangan jantung dan nyawanya tidak tertolong.

Pengusaha muda yang baru berumur 42 tahun itu meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit. Segera para kerabat diberi tahu. Banyak yang tidak percaya, baru kemarin berkumpul bersama dengan penuh gelak tawa.

Pada malam ketiga setelah kematian almarhum, diada kan lah musyawarah keluarga menyangkut warisan. Sesuai dengan hukum waris Islam, pembagiannya mudah saja. Bapak dari almarhum dapat 1/6. Istri dapat 1/8 bagian dan anak-anak (satu laki-laki dan tiga perempuan) dapat sisanya dengan komposisi anak laki-laki dapat dua bagian anak perempuan.

Sang bapak akan mendapat warisan yang lumayan banyak. Sudah terbayang dalam pikiran orang tua itu bahwa uang tersebut akan digunakan untuk membangun masjid, pergi haji sekali lagi, sebagian akan dibagikannya kepada anak-anak saudara almarhum. Tapi, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Istri almarhum keberatan memberikan bagian warisan kepada mertuanya.

Begitulah sisi buruk manusia, keserakahan segera muncul mengalahkan kepatuhannya terhadap hukum Allah. Padahal, peninggalan almarhum sangat banyak, lebih dari cukup untuk keperluan pendidikan anak-anak.

Sudah banyak kerabat mengingatkan, seperenam peninggalan almarhum tidak halal dimilikinya karena itu bukan haknya. Tapi, dia tetap kukuh pada keputusannya, hingga orang tua itu meninggal dunia tujuh tahun kemudian tanpa pernah menerima bagiannya.

Perempuan itu mencoba bertahan membesarkan anak sendirian. Dia takut menikah lagi karena khawatir dapat suami yang akan menghabisi hartanya. Tetapi, karena tidak memiliki ilmu dan pengalaman, di tangannya perusahaan suaminya lama-lama semakin menurun.

Akhirnya, dia putuskan menikah dengan harapan dapat suami yang akan mendampinginya mengelola perusahaan. Sayang dia tertipu, ternyata suami barunya penjudi. Perusahaan jatuh bangkrut dan kekayaannya habis tak bersisa. Bisnis berhenti, sementara utang menumpuk di bank. Demikianlah, harta yang haram tidak akan mendatangkan berkah, bahkan bisa membawa habis harta yang halal.

Redaktur: Heri Ruslan



Sumber :
Republika Online : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/05/20/m4anjw-kehilangan-berkah

Tujuh Indikator Kebahagiaan

Thursday, 17 May 2012, 05:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Erick Yusuf

Ibnu Abbas RA adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang dijuluki Turjumaanul Qur’an (ahli menerjemahkan Alquran). Dia sangat telaten menjaga dan melayani Rasulullah SAW. Dia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW. Pada usia sembilan tahun Ibnu Abbas telah hafal Alquran dan telah menjadi imam di masjid.

Sejak kecil Ibnu Abbas sudah menunjukkan kecerdasan dan semangatnya menuntut ilmu. Beragam gelar diperolehnya. Seperti faqih al-ashr (ahli fikih di masanya), imam al-mufassirin (penghulu ahli tafsir), dan al-bahr (lautan ilmu).

Suatu hari, ia ditanya seorang tabiin (generasi sesudah para sahabat) mengenai kebahagiaan dunia. Ibnu Abbas menjawab ada tujuh indikator kebahagiaan dunia. Pertama, hati yang selalu bersyukur. Selalu menerima apa yang diberikan Allah SWT dengan ikhlas. "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” (QS al-Mu’minun [23]: 1).

Kedua, pasangan hidup yang saleh. Pasangan saleh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang saleh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada keshalehan. Sebaliknya, istri yang shalehah akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suami dan anak-anaknya.

Ketiga, anak yang shaleh. Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara; sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya." (HR Muslim).

Rasulullah SAW pernah menjawab pertanyaan seorang anak muda yang selalu menggendong ibunya yang uzur. “Ya Rasulullah, apakah aku termasuk berbakti pada orang tua?” Rasulullah SAW menjawab, “Sungguh Allah ridha kepadamu, kamu anak shaleh, berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orang tuamu tidak akan terbalaskan olehmu.”

Keempat, lingkungan yang kondusif untuk iman kita. (QS at-Taubah [9]: 119). Rasulullah SAW juga mengajarkan agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasihati kita. Pentingnya bergaul dengan orang shaleh, dapat kembali membangkitkan semangat keimanan.

Kelima, harta yang halal. Dalam Islam kualitas harta adalah yang terpenting, bukan kuantitas harta. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam Bab Shadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus, namun sayang makanan, minuman, dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan.”

Keenam, semangat memahami agama. Semakin belajar, semakin cinta kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan menghidupkan hatinya.

Ketujuh, umur yang berkah. Semakin tua semakin shaleh, yang setiap detiknya diisi amal ibadah. Orang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, hari tuanya akan sibuk berangan-angan. Hatinya kecewa bila tidak mampu menikmati yang diangankannya. Orang yang mengisi umurnya dengan amal ibadah, semakin tua semakin rindu bertemu Allah SWT.


Redaktur: Heri Ruslan



Sumber :
Republika Online :http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/05/16/m4417k-tujuh-indikator-kebahagiaan

Berhati Burung

Rabu, 16 Mei 2012, 12:15 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Moch Syarif Hidayatullah

Mencari rezeki merupakan keniscayaan bagi makhluk yang bernyawa. Allah SWT telah menyediakan bermacam sarana agar rezeki itu mudah didapatkan. Rezeki bahkan tidak hanya disediakan bagi orang yang beriman, tetapi juga untuk mereka yang tak beriman. Khusus bagi hamba yang beriman, Allah mengingatkan bahwa mencari bagian duniawi tidak boleh dilupakan, meskipun keukhrawian harus lebih diprioritaskan.

Dalam mencari rezeki, seorang Muslim tidak hanya dituntut untuk serius dalam bekerja, tetapi juga diajarkan untuk memiliki energi ketawakalan dalam semua aktivitasnya. Tawakal sering kali dipahami sebagai kepasrahan total kepada Allah, yang seolah menafikan usaha. Padahal, ketawakalan sejatinya merupakan sifat hati sebagai bagian keyakinan seorang mukmin bahwa rezekinya sudah ada yang mengatur.

Sikap tawakal akan membuat seseorang tidak ngoyo dan mabuk harta dalam mencari rezeki. Ketawakalan juga yang membuat seseorang menyadari bahwa bila rezekinya susah didapat, berarti Allah sedang menyiapkan takdir lain yang lebih baik untuknya.

Namun, bila rezeki itu dimudahkan, kemudahan itu diyakininya atas anugerah Allah, sehingga dia bersyukur atas karunia itu, bukan malah kufur. Sebab, salah satu ciri tawakal adalah kesiapan jiwa dalam menerima seberapa pun rezeki yang didapat, apakah itu sedikit ataupun banyak.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar seorang mukmin memiliki sikap ketawakalan seperti yang dipunyai seekor burung. “Andai kata kalian benar-benar bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung, yaitu keluar dengan perut kosong di pagi hari dan kembali dengan perut kenyang di sore hari.” (HR Tirmidzi).

Nabi juga menjadikan “berhati burung” sebagai salah satu syarat untuk bisa masuk surga. “Akan masuk surga orang-orang yang berhati seperti burung.” (HR Muslim).

Pemilihan burung sebagai tamsil pada kedua hadis tersebut, tentu bukan tanpa alasan. Ternyata, berdasarkan penelitian para ahli, untuk mendapatkan rezekinya hewan ini diketahui harus melakukan migrasi hingga ribuan mil.

Namun, semua itu dilakukan dengan efektif dan efisien. Hewan ini mampu mengalkulasi berapa energi yang diperlukan, bagaimana melakukan penerbangan yang aman, berapa jarak tempuh dan jumlah bahan bakar yang harus disediakan, juga bagaimana kondisi cuaca di udara. Ia yakin hari itu pasti ada rezeki untuknya, meskipun harus dicari hingga ke tempat yang sangat jauh. Setelah mendapatkannya, ia pun tidak lupa untuk kembali ke sarangnya.

“Saat kamu bertekad (melakukan sesuatu) maka bertawakallah pada Allah.” (QS Ali Imran [3]: 159). Allah SWT pula yang menjamin rezeki orang yang bertawakal. “Orang yang bertawakal kepada Allah akan dicukupkan rezekinya.” (QS Al-Thalaq [65]: 3).

Selaras dengan perintah Allah itu, Nabi diketahui mempraktikkan ketawakalan dalam kehidupan sehari-harinya. Nabi SAW bekerja, lantaran bekerja merupakan sunahnya. Karenanya, menurut al-Qusyairi (ulama abad ke-10 Hijriah), bila ingin mencontoh keseharian Nabi, seseorang tidak boleh melupakan sunahnya.


Redaktur: Heri Ruslan



Sumber :
Republika Online : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/05/16/m43nxq-berhati-burung

Wahai Umat Islam, Bangkitlah!

Rabu, 09 Mei 2012, 20:22 WIB

Oleh: Ustadz Toto Tasmara

Air mata mengalir dari jiwa yang merintih. Nurani tercabik, terkoyak tersayat pedih, menyaksikan keadaan umat yang seakan kehilangan kesadaran perjuangan untuk meneruskan warisan suci ini—risalatul nabawiyyah yang mengibarkan panji–panji cinta rahmatan lil alamin. Umat bagaikan berada di negeri yang asing.

Semangat berjamaah, dimaksudkan untuk mengutamakan cinta kasih penuh persaudaraan di tengah-tengah perbedaan. Tanpa semangat itu, demokrasi akan menjadi anarki, dan mazhab menjadi tuhan. Orang-orang kuat akan menjadi serigala yang siap memangsa orang lemah dan dilemahkan.

Naiklah ke puncak-puncak peradaban masa lalu. Ambil dan reguklah hikmahnya, niscaya akan kita dapati betapa jauhnya kita dari jalan nubuwwah (kenabian). Kita adalah umat raksasa yang berjalan dalam kegelapan kehilangan pemandunya.

Umat kehilangan tangan dan tak mampu lagi mengubah peradaban manusia. Bahkan kehilangan keberanian untuk menampakkan kemuliaan akhlak. Karena masing-masing diantara kita telah memadamkan pelita jiwa persaudaraan, membuang semen perekat yang akan merakit bangunan kemuliaan akhlak.

Saat ini, umat Islam bagaikan terlena dalam gemuruh ornamental atau hiasan duniawi yang diimpor dari pusat-pusat pergerakan non-Muslim. Sumber daya alam yang melimpah telah digadaikan. Karena kebodohan dan etos kerja yang lemah. Jiwa kita dirasuki khayalan-khayalan yang menjerumuskan pada kenikmatan yang sesaat.

Persis seperti yang diuntai sebuah peribahasa. “Naharuka ya maghrus sahwun wa ghoflatun wa lailuka naumun warroda laka lazim.” (Siang hari kamu lupa bekerja dan lalai, wahai orang yang tertipu. Sedangkan malam hari kamu lelap tertidur merenda mimpi merajut khayal—sungguh celaka tak terelakkan).

Perutmu kenyang, sedangkan tepat di sekitar rumah istanamu ada sepenggal hati yang merintih kelaparan. Bibirmu bergetar menghapalkan ayat dan nilai persaudaraan, padahal jiwamu penuh dengan egoisme dan permusuhan.

Kalau saja umat Islam terjaga dari tidurnya, niscaya mereka memahami makna akidah sebagai keberpihakan penuh (kaffah). Mulai dari niat, bersikap dan bersiasat haruslah berpihak pada Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman, "Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali agama Allah dan janganlah kamu bercerai berai... " (QS. Ali Imran: 103).

Qum fa andzir, bangunlah dari mimpimu! Berhentilah berkeluh kesah mencaci maki kegelapan. Lebih baik engkau menyalakan pelita yang mungkin berguna bagi mereka yang mencari pengharapan. Tebarkan iman dengan cinta, ubahlah dunia dengan prestasi. Jadikan hidupmu penuh arti. Dan bila sudah punya arti, bolehlah bersiap untuk mati. Dan bila datang hari perjumpaan, basahkan bibirmu mengucap puji Ilahi Rabbi; Laa ilaha illallah!

Redaktur: Chairul Akhmad



Sumber : Republika Online : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/05/09/m3rbt1-wahai-umat-islam-bangkitlah

Membuka Pintu Rezeki

Selasa, 08 Mei 2012, 11:00 WIB

Oleh: Fauzi Bahreisy

Allah SWT telah menyiapkan segala kebutuhan manusia; bahkan semua kebutuhan makhluk-Nya. Tidak ada satu pun makhluk kecuali telah Allah siapkan dan Allah sediakan apa yang menjadi keperluan dan kebutuhan hidupnya.

Yang diperlukan adalah upaya dan usaha untuk menjemput rezeki tersebut dengan cara yang Dia gariskan. Dalam hal ini Allah telah menggariskan sejumlah pintu bagi manusia untuk memperoleh rezeki yang halal dan barakah.

Seorang Muslim tidak boleh berdiam diri, berpangku tangan, dan ongkang-ongkang kaki. Tidak boleh dengan alasan ingin fokus beribadah ia malas bekerja dan mencari nafkah untuk keluarganya. Tidak boleh pula dengan alasan tawakkal ia hanya berdiam diri menunggu datangnya rezeki.

Allah menjamin rezeki makhluk; apalagi rezeki manusia. Hanya saja, Allah juga telah mewajibkan manusia untuk bekerja dan berupaya memburunya. Meminta-minta dan mengemis kepada orang, sementara diri masih kuat dan mampu bekerja adalah aib yang sangat dicela dalam agama. Sebaliknya siapa yang mau bekerja dan memergunakan potensi yang Allah berikan padanya, ia akan mendapat apresiasi di sisi-Nya.

“Siapa yang mencari nafkah halal guna menjaga dirinya dari meminta-minta, guna memenuhi kebutuhan keluarga, serta guna berbagi dengan tetangga, maka ia datang pada hari kiamat dengan wajah laksana bulan di malam purnama.” (HR Thabrani).

Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan kepada siapa pun yang ingin menunjukkan tawakalnya kepada Allah dengan melihat kepada burung yang terbang berusaha untuk mendapatkan rezeki-Nya. “Andaikan kalian bertawakkal kepada Allah secara benar, tentu Dia akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Burung pergi (terbang) di waktu pagi dalam kondisi perut kosong, dan kembali dengan perut yang kenyang.” (HR Tirmidzi).

Beriman dan bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. “Andaikan penduduk negeri beriman dan bertakwa, tentu Kami bukakan untuk mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96).

Selanjutnya beristighfar. Cara yang mudah, namun membutuhkan keyakinan dan keimanan yang kuat adalah beristighfar dan meminta ampunan-Nya. “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dia akan membanyakkan harta dan anak-anakmu. Serta Dia akan menghadirkan untukmu kebun-kebun dan sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12).

Kemudian memperbanyak sedekah. Bersedekah tidak akan mengurangi harta, sebaliknya ia akan bertambah. Karena yang demikian itu akan menjaga dan memancing turunnya rezeki Allah. “Tidak berkurang harta karena sedekah.” (HR Tirmidzi).

Berikutnya adalah bersilaturahim. “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan (diberkahi) usianya, hendaknya menyambung tali silaturahim.” (HR Muslim).

Dan yang terakhir adalah memperbanyak doa kepada Allah. Doa adalah senjata orang beriman. Manusia adalah makhluk yang terbatas dan Allah yang memiliki kekuasaan Maha Luas. Dengan berdoa, maka itu menunjukkan kelemahan kita untuk meminta pertolongan kepada Allah.


Redaktur: Chairul Akhmad



Sumber : Republika Online : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/05/07/m3mwci-membuka-pintu-rezeki

Memetik Hikmah dari Setiap Kejadian

Minggu, 06 Mei 2012, 06:06 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hannan Putra Lc

Orang yang cerdas lagi kreatif dapat mengubah kerugian menjadi keuntungan. Sedang orang yang bodoh lagi nervous akan membuat suatu musibah yang menimpa diri menjadi dua musibah, ibarat pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula.”


Rasulullah SAW diusir dari Makkah. Ternyata di Madinah, beliau dapat mendirikan sebuah negeri yang memenuhi lembaran sejarah keberhasilan dan kecemerlangannya.

Ahmad bin Hambal dipenjara dan dihukum cambuk, setelah itu jadilah ia pemimpin ulama sunnah.

Ibnu Taimiyah dipenjara, namun setelah keluar dari tahanannya ia menjadi seorang ulama.

Al-Sarkhasi disekap di dasar sumur yang tidak dipakai lagi. Di sanalah ia dapat menulis dua puluh jilid buku dalam ilmu fiqih.

Ibnu Atsir menghabiskan masa pensiunnya menulis Kitab Jam’ul Ushul dan An-Nihayah yang keduanya merupakan kitab Hadits yang paling terkenal dan paling bermanfaat.

Ibnul Jauzi diasingkan dari Baghdad, ia pun memanfaatkan waktu itu dengan menulis tajwid tentang Qiroat Sab’ah.

Malik bin Raib terserang demam yang membawa kepada kematiannya, maka dalam masa sakitnya itu ia menggubah qasidahnya yang indah lagi terkenal di kalangan semua orang, sehingga ketenaran dan keindahannya memadai diwan-diwan para penyair kondang pada masa pemerintahan Khalifah ‘Abbasiyyah.

Demikian juga Abu Dzuaib Al-Hudzali (penyair jahiliyyah) ketika kelima anaknya meninggal dunia di Madinah. Ia terus meratapinya dengan menuangkan eposnya tersebut dalam suatu qasidah yang membuat dunia mendengarkannya penuh perhatian, banyak orang terperangah kagum akan keindahannya, dan sejarah mengacungkan jempol kepadanya.

Masih banyak lagi contoh inspiratif yang terjadi diberbagai belahan dunia ini jika kita mau mengambil ibrah. Kadangkala, Jika kita terbentur suatu musibah, kita larut dalam musibah tersebut tanpa melihat sisi cerahnya.

Ibaratnya, jika kita dapati segelas minuman lemon, bubuhkanlah padanya sesendok gula. Jika kita diserang seekor ular, ambil saja kulitnya yang berharga dan buanglah yang lainnya. Atau jika disengat oleh kalajengking, ketahuilah bahwa racunnya mengandung serum yang ampuh untuk melawan racun ular berbisa.

Demikianlah orang cerdas yang mampu mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan yang keras agar ia dapat mengeluarkan darinya buat kita bunga mawar dan bunga melati yang indah lagi harum.

Sebagaimana Firman Allah SWT, “Boleh jadi kalian mem­benci sesuatu, padahal itu lebih baik bagi kalian. ”(QS Al-Baqarah: 161).

Kerajaan Prancis sebelum masa revolusinya yang dahsyat pernah menahan dua orang penyair ulung mereka, salah seorang­nya bersifat optimistis, sedang yang lain bersifat pesimistis. Keduanya mengeluarkan kepalanya masing-masing dari jendela penjara.

Adapun yang bersifat optimistis, maka ia menatapkan pandangannya ke arah bintang-bintang, lalu tertawa, sedang yang pesimistis memandang ke bawah melihat tanah yang ada di jalan sebelah penjaranya, lalu menangis.

Pandanglah sisi lain dari tragedi yang menimpa diri, karena sesungguhnya keburukan yang murni itu tidak ada ujudnya. Bahkan yang ada di sana adalah kebaikan, penghasilan, kemudahan, dan pahala.


Redaktur: Heri Ruslan



Sumber :
Republika Online : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/05/06/m3ko6k-memetik-hikmah-dari-setiap-kejadian

Bangkit dan Ubahlah Dunia

Kamis, 03 Mei 2012, 11:27 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Toto Tasmara

Air mata mengalir dari jiwa yang merintih. Nurani tercabik, terkoyak tersayat pedih, menyaksikan keadaan umat yang seakan kehilangan kesadaran perjuangan untuk meneruskan warisan suci ini—risalatul nabawiyyah yang mengibarkan panji–panji cinta rahmatan lil alamin. Umat bagaikan berada di negeri yang asing.

Semangat berjamaah dimaksudkan untuk mengutamakan cinta kasih penuh persaudaraan di tengah-tengah perbedaan. Tanpa semangat itu, demokrasi akan menjadi anarki dan mazhab menjadi tuhan. Orang-orang kuat akan menjadi serigala yang siap memangsa orang lemah dan dilemahkan.

Naiklah ke puncak-puncak peradaban masa lalu. Ambil dan reguklah hikmahnya, niscaya akan kita dapati betapa jauhnya kita dari jalan nubuwwah (kenabian). Kita adalah umat raksasa yang berjalan dalam kegelapan kehilangan pemandunya. Umat kehilangan tangan dan tak mampu lagi mengubah peradaban manusia. Bahkan, kehilangan keberanian untuk menampakkan kemuliaan akhlak. Karena masing-masing di antara kita telah memadamkan pelita jiwa persaudaraan, membuang semen perekat yang akan merakit bangunan kemuliaan akhlak.

Saat ini umat Islam bagaikan terlena dalam gemuruh ornamental atau hiasan duniawi yang diimpor dari pusat-pusat pergerakan non-Muslim. Sumber daya alam yang melimpah telah digadaikan. Karena kebodohan dan etos kerja yang lemah, jiwa kita dirasuki khayalan-khayalan yang menjerumuskan dalam kenikmatan yang sesaat.

Persis seperti yang diuntai sebuah peribahasa. “Naharuka ya maghrus sahwun wa ghoflatun wa lailuka naumun warroda laka lazimu.” (Siang hari kamu lupa bekerja dan lalai, wahai orang yang tertipu. Sedangkan malam hari kamu lelap tertidur merenda mimpi merajut khayal—sungguh celaka tak terelakkan).

Perutmu kenyang, sedangkan tepat di sekitar rumah istanamu ada sepenggal hati yang merintih kelaparan. Bibirmu bergetar menghafalkan ayat dan nilai persaudaraan, padahal jiwamu penuh dengan egoisme dan permusuhan.

Kalau saja umat Islam terjaga dari tidurnya, niscaya mereka memahami makna akidah sebagai keberpihakan penuh (kaffah). Mulai dari niat, bersikap, dan bersiasat haruslah berpihak pada Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman, "Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai .... " (QS Ali Imran [3]: 103).

Qum fa andzir, bangunlah dari mimpimu. Berhentilah berkeluh kesah mencaci maki kegelapan. Lebih baik engkau menyalakan pelita yang mungkin berguna bagi mereka yang mencari pengharapan. Tebarkan iman dengan cinta, ubahlah dunia dengan prestasi. Jadikan hidupmu penuh arti. Dan bila sudah punya arti, bolehlah bersiap untuk mati. Dan bila datang hari perjumpaan, basahkan bibirmu mengucap puji Ilahi Rabbi, “Laa ilaha illallah.”


Redaktur: Heri Ruslan


Sumber :
Republika Online : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/05/03/m3fj1n-bangkit-dan-ubahlah-dunia