Spiritualitas Haji

Selasa, 23 Oktober 2012, 23:59 WIB

Oleh: Prof Dr A Satori Ismail

Semua ibadah yang disyariatkan Allah bertujuan untuk menanamkan keutamaan, kebaikan, akhlak mulia, dan mengikis sifat kezaliman dan kerusakan.

Shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. (QS Al-Ankabut: 45). Puasa menanamkan ketakwaan dalam diri Muslim. (QS Al-Baqarah [2]: 183). Zakat untuk membersihkan hati dari sifat kikir (QS At-Taubah [9]:103).

Adapun haji diwajibkan untuk memperbanyak zikir, menyaksikan manfaat duniawi dan ukhrawi (QS al-Hajj: 27-28), mengokohkan ketakwaan, menjauhi rafats, fusuk, dan jidal. (QS Al-Baqarah 197). Allah memerintah Nabi Ibrahim AS agar menyeru umat manusia untuk berhaji agar manusia menjadi tamu-Nya dan mendapatkan karunia, rahmat, dan ampunan-Nya.

"Jamaah haji dan umrah adalah para tamu Allah, bila mereka berdoa dikabulkan dan bila beristighfar akan diampuni." (HR al-Baihaqi dalam Kitab Syu'abul Iman juz III hal 476).

Ibadah haji adalah wisata suci yang mendorong jamaah menjauh dari ketergantungan dengan dunia dan segala isinya. Mereka meninggalkan keluarga dan kerabat, untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan penghambaan duniawi menuju panggilan Ilahi. Mereka berseru, "Labbaika Allahumma Labbaik," (Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah).

Haji merupakan perjalanan spiritual. Jamaah selalu tawadhu dan melepaskan diri dari berbagai kesenangan materi untuk bersimpuh di hadapan keagungan-Nya. Mereka berangkat untuk menyambut seruan Ilahi dengan tauhid murni, menanggalkan sebagian tirai dunia untuk menembus alam malakut.

Tak ada omongan kotor, kefasikan, dan ketakaburan. Mereka selalu mengekang diri dari kebuasan nafsu syahwat demi satu tujuan, menggapai hajjun marbur, sa'yun masykur, dan dzanbun maghfur.

Mereka berseragam putih-putih ketika ihram untuk mengingatkan kain kafan yang akan membalutnya saat kematian. Mereka menunaikan manasik yang sama di tempat yang sama, mengumandangkan talbiyah yang sama, wukuf di Arafah, thawaf, mabit, dan melempar jumrah.

Semua ini melukiskan persatuan umat dan kesamaan derajat di hadapan Allah kecuali dengan ketakwaan. Mereka merupakan satu kelurga besar yang sejajar bagai gerigi sisir. Tak ada perbedaan antara pemimpin dan rakyat, kaya dan miskin, kuat dan lemah.

Semua menyatu tenggelam dalam menghamba kepada Allah untuk mengharap rahmat dan ampunan-Nya. Betapa indah rihlah ruhiyyah dalam menunaikan haji. Sejak keluar rumah sudah diawali dengan doa, “Bismillah tawakkaltu 'alallah, la haula wala quwwata illa billah”.

Selama perjalanan haji, hanya diisi dengan ibadah, zikir, istighfar, doa, shalawat, dan manasik haji. Sejak hari Tarwiyah pada 8 Dzulhijjah, jamaah tamattu' mulai bergerak menuju Mina untuk mabit. Mereka hanyut dalam zikrullah dengan penuh tawadhu, antara khauf dan raja'.

Saat di Arafah semua menangis khusyuk dan larut luluh dalam doa, munajat dan mohon ampunan dari semua dosa masa lalu. Kondisi jamaah haji yang berhari-hari tenggelam dalam spiritulitas ibadah yang indah seperti ini, niscaya akan memengaruhi kehidupan setelahnya sebagai haji mabrur.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online -

Keagungan Arafah

Senin, 22 Oktober 2012, 18:38 WIB

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

Arafah adalah tempat di wilayah Makkah Al-Mukarramah yang menjadi berkumpulnya para jamaah haji dari seluruh dunia. Hadir Arafah merupakan salah satu rukun haji, sehingga tidak sah ibadah haji seseorang jika tidak hadir di Arafah.

Abdurrahman bin Ya'mar meriwayatkan bahwasanya sekelompok manusia dari suku Najd mendatangi Rasulullah SAW pada saat beliau di Arafah.

Kemudian mereka bertanya kepada beliau, sehingga Rasulullah SAW memerintah mereka seraya menyeru, "Haji adalah (hadir) di Arafah." (HR. Tirmidzi).

Arafah menjadi hari kesembilan di bulan Dzulhijjah. Arafah yang berarti mengetahui, memiliki pengertian bahwa mimpi yang terjadi pada Ibrahim AS adalah benar berasal dari Allah SWT. Sebelumnya, Ibrahim mengalami fase keraguan (hari tarwiyah) apakah mimpinya berasal dari Tuhan atau tidak.

Setelah melalui proses verifikasi-kritisisme, Ibrahim mengetahui dan meyakini kebenaran mimpinya di hari Arafah. Tibalah keesokan harinya Yaum An-Nahr (hari penyembelihan) yang menjadi tonggak pelarangan pengorbanan manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Arafah merupakan miniatur Alam Mahsyar, tempat seluruh manusia dibangkitkan dari alam kubur untuk dihitung amal kebaikan dan keburukannya (hisab). Maka pengertian Arafah memberikan kesadaran bagi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesamanya dan alam semesta, sehingga mereka mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk kehidupan abadinya di akhirat.

Peristiwa monumental yang terjadi di hari Arafah antara lain turunnya wahyu terakhir kepada Rasulullah SAW, penegasan tidak diperkenankannya kaum musyrikin melakukan ibadah di sekitar Ka'bah, dan penegasan deklarasi hak asasi manusia (HAM) pertama di dunia yang menjadi tonggak sejarah bagi berkembangnya penghormatan prinsip-prinsip HAM pada saat ini.

Latar belakang tersebut menjadikan hari Arafah memiliki keagungan dibandingkan dengan hari-hari lainnya, di antaranya: Pertama, menjadi hari pengampunan dosa dari Allah SWT karena banyaknya hamba yang beribadah semata-mata untuk diri-Nya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, "Jika hari Arafah tiba, Allah SWT turun ke langit dunia dan berfirman kepada para malaikat, ‘Lihatkan kepada para hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dengan bersusah payah, mereka datang dari berbagai penjuru yang jauh. Saksikanlah! Bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka.’

Para Malaikat berkata, ‘Wahai Tuhanku, (diantara manusia itu) ada lelaki yang senantiasa mensucikanmu, mengagungkanmu dan lain sebagainya.’ Allah SWT berfirman, ‘Aku telah ampuni dosa-dosa mereka.’ Rasulullah SAW bersabda, "Maka sungguh tiada hari yang lebih besar pembebasannya dari api neraka dari pada hari Arafah." (HR. Ibnu Huzaimah).

Kedua, dilipatgandakannya amal kebajikan yang dilakukan oleh para jamaah haji di Makkah dan disunahkannya bagi yang tidak haji untuk melakukan puasa Arafah. Dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Puasa Arafah dapat menghapus dosa-dosa yang telah lalu dan dosa tahun depan.” (HR. Ibnu Huzaimah).

Ketiga, banyaknya rahmat yang dilimpahkan oleh Allah kepada manusia, sampai-sampai setan berkecil hati pada hari Arafah tersebut. Dari Talhah bin Abdullah bin Kariz RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Setan tidak melihat bahwa suatu hari dirinya merasa kecil, hina, teraniaya dan teremehkan daripada hari Arafah. Hal itu tidak lain karena ia melihat banyaknya rahmat dan ampunan dosa besar yang diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana pada saat Perang Badar."

Demikianlah keagungan hari Arafah, semoga Allah SWT memberikan keringanan kepada kita dalam mengagungkan hari mulia-Nya dengan memperbanyak kebajikan dan berpuasa, sehingga kita dijadikannya sebagai hamba agung nan mulia. Wallahu a'lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/22/mcalor-keagungan-arafah

Mabrur tanpa Berhaji

Selasa, 23 Oktober 2012, 16:59 WIB

Oleh: Syahruddin El-Fikri

Abdullah bin Mubarok (118-181 H/726-797 M), seorang ulama asal Marwaz, Khurasan, mendambakan dua hal dalam hal ibadah, yakni haji dan jihad.

Dan, itu ia laksanakan secara bergantian setiap tahun. Tahun ini berjihad, tahun depan berhaji, betapa pun sulitnya.

Suatu waktu, Ibnu Mubarok berkeinginan pergi haji. Untuk itu, ia bekerja keras mengumpulkan uang. Dan ketika terkumpul, ia pun melaksanakan niatnya, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.

Ketika sudah selesai mengerjakan berbagai tahapan ibadah haji, ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi menyaksikan dua orang malaikat turun ke bumi. Kedua malaikat ini pun terlibat dalam perbincangan.

“Berapa banyak jamaah yang datang tahun ini?” tanya malaikat yang satu kepada malaikat lainnya.

“Enam ratus ribu orang,” jawab malaikat lainnya.

“Tapi, tak satu pun diterima, kecuali seorang tukang sepatu bernama Muwaffaq yang tinggal di Damsyik (Damaskus). Dan berkat dia, maka semua jamaah yang berhaji diterima hajinya,” kata malaikat yang kedua.

Ketika Ibnu Mubarok mendengar percakapan malaikat itu, terbangunlah ia. Ia pun berkeinginan mengunjungi Muwaffaq yang tinggal di Damsyik. Ia telusuri kediamannya dan kemudian menemukannya.

Ibnu Mubarok lalu memberi salam kepadanya. Ia menyampaikan mimpi yang didapatnya. Mendengar cerita Ibnu Mubarok, maka menangislah Muwaffaq hingga akhirnya jatuh pingsan. Dan setelah sadar, Ibnu Mubarok memohon agar Muwaffaq menceritakan pengalaman hajinya hingga ia memperoleh predikat haji mabrur tersebut.

Muwaffaq menceritakan bahwa selama lebih dari 40 tahun, dia berkeinginan untuk melakukan ibadah haji. Karenanya, dia pun mengumpulkan uang untuk itu. Jumlahnya sekitar 350 dirham (perak) dari hasil berdagang sepatu.

Ketika musim haji tiba, ia mempersiapkan diri untuk berangkat bersama istrinya. Menjelang keberangkatan itu, istrinya yang sedang hamil mencium aroma makanan yang sangat sedap dari tetangganya. Muwaffaq pun mendatanginya dan memohon agar istrinya diberikan sedikit makanan tersebut.

Tetangganya ini langsung menangis. Ia lalu menceritakan kisahnya. “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini, aku melihat seekor keledai mati tergeletak dan kemudian aku memotongnya, lalu kumasak untuk mereka. Ini terpaksa kulakukan karena kami memang tidak punya. Jadi, makanan ini tidak layak buat kalian karena makanan ini tidak halal bagimu,” terangnya sambil menangis.

Mendengar hal itu, tanpa berpikir panjang Muwaffaq langsung kembali ke rumahnya mengambil tabungannya 350 dirham untuk diserahkan kepada keluarga tersebut. “Belanjakan ini untuk anakmu. Inilah perjalanan hajiku,” ungkapnya.

Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa sesungguhnya haji adalah amal yang utama. Berjihad juga merupakan amal utama. Namun, menyantuni anak yatim, orang miskin, dan telantar merupakan amal yang lebih utama.

Karena, beribadah haji hanya untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberi makan fakir miskin menjadi ibadah sosial yang manfaatnya lebih besar. Wallahu a'lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/23/mccb83-mabrur-tanpa-berhaji

Menyingkap Rahasia Ikhlas

Rabu, 24 Oktober 2012, 13:01 WIB

Oleh: Ustadz Arifin Ilham

"Tuan guru, ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang tuan dengar langsung dari baginda Rasulullah SAW," kata salah seorang pemuka Syam kepada Abu Hurairah RA.

"Sesungguhnya manusia yang pertama kali akan diadili—pada pengadilan akhirat nanti—adalah seseorang yang mati dalam peperangan (mati syahid)," jawab Abu Hurairah mengutip hadis Rasulullah SAW.

Abu Hurairah berkata, "Dihadapkanlah orang tersebut kepada Allah SWT, lalu disodorkan amalannya dan Allah pun Mahamengetahuinya.” Kemudian, Allah SWT bertanya, “Apa saja yang kamu kerjakan ketika di dunia?” Orang tersebut menjawab, “Saya berperang di jalan-Mu ya Allah, sampai-sampai saya mati terbunuh.”

Allah berfirman, “Kamu bohong, yang benar kamu berperang supaya kamu dapat dikatakan sebagai 'pahlawan' dan mereka telah menyebutmu demikian.” Lalu, Allah memerintahkan malaikat untuk menyingkirkan orang tersebut dari hadapan-Nya dan melemparnya ke dalam neraka.

Ada juga seseorang yang belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain. Lalu, dihadapkanlah orang tersebut kepada Allah SWT. Diajukanlah amal orang tersebut kepada-Nya dan Dia-pun Mahamengetahui. Kemudian, Allah SWT bertanya, "Apa yang kamu kerjakan waktu di dunia?" Orang itu menjawab, "Saya belajar Alquran dan telah pula mengajarkannya."

"Kamu bohong, kamu belajar Alquran supaya dikatakan sebagai orang pandai, ulama, atau intelektual. Engkau membaca Alquran supaya dikatakan sebagai orang yang mampu membaca Alquran dengan baik, dan itu semua sudah dikatakan oleh mereka." Lalu, Allah memerintahkan malaikat untuk menyingkirkan orang tersebut dari hadapan-Nya serta melemparkannya ke dalam neraka.

Setelah itu, ada seseorang yang diberi keluasan harta oleh Allah SWT, lalu dihadapkanlah orang tersebut. Diajukanlah amal orang tersebut kepada-Nya dan Allah pun Maha Mengetahui. Allah SWT bertanya, "Apa yang kamu kerjakan ketika di dunia?" Orang tersebut menjawab, "Saya telah infakkan harta yang saya miliki demi Engkau, ya Allah."

Allah berfirman, "Kamu bohong, kamu melakukan semua itu supaya kamu dikatakan orang yang dermawan, dan itu sudah dikatakan oleh mereka." Lalu, Allah SWT memerintahkan kepada malaikat untuk menyingkirkan orang tersebut dari hadapan-Nya serta melemparkannya ke dalam neraka," pungkas Abu Hurairah sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim.

Allahu Akbar. Rahasia ikhlas ternyata benar-benar tak seorang pun yang tahu. Hanya Allah yang benar-benar mengetahuinya, "Sirrun min asrariy, rahasia di antara rahasia-Ku," kata sebuah hadis Qudsi.

Banyak ulama yang menyebut beberapa di antara tanda ikhlas. Pertama, istiqamah, terus-menerus dalam ibadah, baik ada maupun tidak ada orang, dipuji atau dihina. Kedua, tidak ‘geer’ karena pujian dan tidak sakit hati karena hinaan.

Ketiga, pantang berkeluh kesah karena semuanya diputuskan Allah dengan rahmat, ilmu, dan kebijakan-Nya sehingga tampaklah pada wajahnya yang selalu tersenyum. Keempat, baik sangka dengan selalu memuji Allah atas segala peristiwa dan kejadian-Nya. Kelima, qanaah, puas bukan hanya dengan nikmat Allah, melainkan atas segala keputusan Allah.

Berikutnya at-tawadhu' (rendah hati), lalu asy-syahiyyu (ringan tangan) untuk memberi. Selanjutnya, bersemangat hanya pada yang halal karena orientasi hidupnya akhirat, memaafkan dengan mendoakan yang menyakiti, kalaupun dipuji ia balas dengan doa.

Hobi dan kesibukannya adalah bermuhasabah diri dan tidak tertarik mencari aib orang lain, lalu lisannya terus berzikir, beristighfar, dan bershalawat. Hati bertekad selalu menghidupkan sunah harian Rasulullah SAW. Dan, mudah menitikkan air mata ketika sedang dalam puncak kenikmatan taat. Wallahu a'lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/24/mcdqlp-menyingkap-rahasia-ikhlas

Melucuti Keangkuhan

Kamis, 18 Oktober 2012, 09:32 WIB

Oleh: Makmun Nawawi

Suatu hari setelah mengimami shalat Ashar, Khalifah Umar bin Khattab RA menanyakan tentang kabar salah seorang sahabat yang tidak menghadiri shalat berjamaah.

Seorang sahabat berkata, “Kabarnya dia sakit, ya Amiral Mukminin.” Umar RA memutuskan untuk pergi ke rumahnya. Setiba di sana ia ketuk pintu rumahnya dan dari dalam sahabat itu bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”

Dari luar, Umar menjawab, “Umar bin Khattab.”

Mengetahui yang datang adalah Amirul Mukminin, orang itu berlari dengan sigap untuk segera membuka pintu.

Tapi ketika kedua mata Umar bin Khattab bertatapan dengan kedua mata sahabat itu, Umar bertanya dengan nada menegur, “Mengapa engkau tidak shalat jamaah bersama kami? Padahal Allah telah memanggil engkau dari atas langit ketujuh: “hayya alash shalah” (mari mendirikan shalat), tetapi engkau tidak menyambutnya. Sedangkan panggilan Umar bin Khattab sempat membuatmu gelisah dan ketakutan.”

Inilah contoh diktum bahwa keimanan dan kesalehan, tak selalu bisa dipahami dengan pendekatan nalar dan logika. Betapa banyak kebenaran yang amat mudah dipahami, namun begitu berat untuk dilaksanakan.

Pekik suara muazin yang merdu dan sekaligus menitipkan pesan Ilahi, sama sekali tak bermagnet dibanding dengan gebyar suara musik. Masjid yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah seseorang, amat jarang dikunjungi. Tapi, berbagai tempat kemaksiatan yang jauh sekalipun, menjadi ringan untuk didatangi.

Demikian pula, terhadap nilai-nilai buruk. Bahwa, korupsi itu keji dan bisa diselami dengan pemikiran yang sederhana, namun tetap saja menghipnotis banyak orang agar tertarik untuk melakukannya.

Penyalahgunaan narkoba itu mengundang aneka macam kemudaratan dan menumbangkan banyak orang penting di negeri ini, tetap saja banyak diminati. Bahkan, Indonesia menjadi surga narkoba dan menduduki peringkat ketiga sebagai pasar narkoba dunia. Permusuhan dan pertikaian itu juga besar madaratnya, tapi tetap saja perpecahan terjadi di mana-mana, bahkan di kalangan para petinggi negeri.

Rupanya, pengetahuan atau pemahaman seseorang terhadap kebenaran, belum cukup untuk menggerakkannya menjadi sebuah tindakan nyata. Demikian pula pemahaman terhadap kemafsadatan (kerusakan) lantaran dosa atau kemaksiatan, tidak praktis menjadikan dirinya lari dari kemaksiatan tersebut.

Doa menjadi suatu kensicayaan yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Karena kesalehan, ketundukan, kesabaran, kedermawanan, dan sifat-sifat luhur lainnya, hakikatnya dari Allah semata (QS an-Nisa [4]: 49). Demikian pula terhindarnya seseorang dari keburukan dan sifat-sifat buruk.

Itulah sebabnya mengapa Umar bin Khattab acap kali berdoa: “Ya Allah, perlihatkanlah yang hak (benar) itu sebagai hak dan anugerahi kami untuk mengikutinya. Perlihatkanlah yang batil itu sebagai batil, dan anugerahi kami untuk menjauhinya. Jangan Engkau jadikan hal itu bias bagi kami sehingga kami sesat. Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

Dengan berdoa, kita memang sedang berupaya melucuti berbagai macam keangkuhan, supremasi, dan egosime yang bersarang dalam dada. Wallahu a'lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/18/mc2hpv-melucuti-keangkuhan

Malulah pada Allah

Selasa, 16 Oktober 2012, 23:59 WIB

Oleh: A Riawan Amin

“Dan milik Allah timur dan barat. Ke manapun kalian menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS [2]: 115).

Jika Anda sedang mandi dan tiba-tiba muncul wajah seseorang di hadapan Anda, bagaimana rasanya? Tidak malukah Anda? Tidakkah segera Anda berusaha menutupi aurat Anda?

Setiap saat wajah Pencipta hadir dalam seluruh episode kehidupan kita. Dalam ketelanjangan kita menjalankan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai perintah-Nya, bahkan melawan larangan-Nya.

Tidak malukah kita? Ataukah kita berpikir Allah sedang mengantuk dan tertidur? Padahal, Allah menegaskan, “Allah, tidak ada ilah selain Dia. Yang Mahahidup, yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS [2]: 255).

Atau, kita berpikir Allah tidak melihat? Padahal, “Bagi Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit.” (QS [3]: 5). Jangan-jangan kita berpikir Allah tidak menyadari apa yang sedang terjadi?

Padahal, Allah menantang manusia, “Dan rahasiakanlah perkataan kalian atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Mahamengetahui segala isi hati. Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.” (QS [67]: 13-14).

“Dan kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada selembar daun pun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS [6]:59).

Naudzubillaahi min dzaalik. Tanpa sadar kita telah mengecilkan Dia Yang Mahabesar. Tanpa sadar kita telah menyunat dan mengerdilkan iman kita sendiri.

Dia Yang Mahatahu apa yang dilahirkan maupun yang disembunyikan. Kita dapat menutupi aurat dari pandang an manusia, tetapi kita tak mungkin menutupi cela kita dari Dia yang Maha Melihat dan Mendengar.

Dari Dia yang selalu menghisab hamba-hamba-Nya. “Milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kalian menyatakan apa yang ada di hati kalian atau kalian sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagi kalian. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS [2]: 284).

Karenanya, janganlah malu pada dunia, malulah pada Pemilik dunia. Jika malu pada dunia, Anda takkan malu jika tak ada wajah yang hadir. Jika malu kepada Pemilik dunia, Anda akan menjaga perbuatan di mana pun dan kapan pun. Ada maupun tak ada orang lain. Itulah yang disebut muraqabah, yakni selalu merasa diawasi oleh Allah.

Nabi SAW bersabda, “Beribadahlah engkau kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat engkau.” Jadi, malulah kepada Allah!


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/16/mbz9un-malulah-pada-allah

Cukup Allah Saja, Bukan yang Lain

Jumat, 12 Oktober 2012, 14:40 WIB

Oleh: Ustadz Yusuf Mansur

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang biasa kamu panggil, kecuali Dia…” (QS Al-Israa: 67).

Biasakan hanya mencari Allah. Biasakan hanya bersandar kepada Allah. Biasakan hanya perlu dan memohon kepada Allah SWT.

Menjelang tahun 2000, saya mendatangi kawan yang tinggal di Bogor. Sekitar 14 jam perjalanan bolak-balik dari Ketapang ke Bogor dan dari Bogor ke Ketapang. Saat itu tidak ada kendaraan pribadi. Niat saya hanya satu, mau pinjam uang dengan kawan saya ini sebesar Rp 30 juta.

Sesampainya di sana, Allah mengajarkan saya melalui pemandangan yang sedang saya lihat. Toko yang sekaligus jadi rumah kawan saya ini sedang dalam proses sita. Saya yang datang ingin meminjam, menjadi tertegun.

Ternyata dia mendapat masalah. Saya yang dalam keadaan serbasalah, sempat ditanya olehnya. “Makasih ya Suf, mau datang. Yah, beginilah hidup. Ngomong-ngomong, ada perlu apa nih?” ujarnya.

Saya jawab sambil berusaha senyum. “He he, mau pinjam tadinya ...” kata saya. Spontan, dia pun langsung bertanya, “Berapa?” kata dia. Dan saya pun langsung menjawab ingin meminjam sebesar Rp 30 juta. Mendengar jawaban saya, dia pun langsung tertawa seraya berkata, “Sama Suf. Saya juga butuh segitu,” jawabnya.

Pelajaran yang berharga buat saya. Jika mendatangi orang, ya kayak gitu deh. Bisa membantu pun belum tentu sesungguhnya bisa membantu. Hanya Allah semata yang kalau kita datangi, Dia yang tak punya masalah, Dia nggak punya beban, Dia nggak punya kesulitan, dan Dia selalu menerima tanpa bosan, tanpa menggerutu, tanpa mengeluh ketika seringnya kita datang.

Hanya Dia, yang jika Dia menyapa kita dengan ujian dari-Nya, lalu Dia ingin mendengar rintihan kita. Allah ingin mendengar doa kita. Rintihan dan doa dari seorang yang mengetahui bah wa dirinya tidak mampu dan tidak ada yang bisa menolong kecuali Dia.

Rintihan dan doa yang datang dari seorang hamba yang mengetahui bahwa Dia pasti bisa membantu dan tidak ada Tuhan yang disandarkan lagi seluruh persoalan kecuali kepada-Nya.

Pengalaman berharga menjelang tahun 2000 itu, membuat saya berpikir sesal namun senang. Mengapa saya datang jauh-jauh kepada manusia? Tapi saya tidak menyesal. Saya jadi tahu, memang saya salah datang. Saya datang kepada manusia yang pastinya sama-sama punya masalah, punya kebutuhan dan keperluan.

Alhamdulillah, Allah yang Mahamemberi hikmah. Sejak saat itu saya memosisikan diri seperti orang yang sedang terkena badai di tengah lautan, langsung memanggil dan memohon kepada Allah, dan hanya Allah. Sebab, memang tiada yang lain.

Untuk itu, wahai saudaraku, segeralah temui Allah. Allah ada di masjid, segeralah ke masjid, shalat berjamaah tepat waktu. Kembali lagi baca Alquran, keluarkan sedekah di saat sulit atau sedang lapang, dan cintai ibadah-ibadah sunah. Terima seluruh kesulitan dan kesusahan dengan penuh keikhlasan dan rida (mengharap) hanya kepada-Nya. Wallahu a’lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/12/mbrrzt-cukup-allah-saja-bukan-yang-lain

Amalan yang Terbaik

Senin, 15 Oktober 2012, 06:01 WIB

Oleh: Imron Baehaqi

Alquran dan sunah Nabi SAW telah mengajarkan berbagai macam amal kebajikan sebagai bentuk ibadah seorang hamba kepada Allah untuk memperoleh surga-Nya.

Dalam Alquran terdapat banyak ayat yang menjelaskan jenis kebajikan.

“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, hari kiamat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir, peminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, orang yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menunaikan janjinya, serta orang-orang yang sabar ketika dalam kemelaratan, penderitaan, dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan bertakwa.” (QS al-Baqarah [2]:177).

Dalam masalah tingkatan iman, Nabi SAW membaginya pada lebih dari 70 cabang. Cabang yang paling tinggi adalah kalimat tauhid la ilaha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah). Sedangkan, cabang iman yang paling rendah adalah membuang duri atau rintangan di jalan (HR Jamaah dari Abu Hurairah).

Demikianlah Alquran dan sunah Nabi SAW yang banyak menjelaskan macam-macam amal ibadah dengan kedudukan dan keutamaan yang berbeda-beda. Ada yang wajib, sunah, yang asas, dan yang cabang. Selain itu, ada pula yang berfungsi sebagai rukun dan syarat sah ibadah, ada juga yang lebih tinggi kedudukannya dari ibadah yang lain.

Berkaitan dengan ini, para sahabat sering bertanya kepada Rasul SAW tentang amalan yang paling utama dan dianjurkan dalam Islam. Misalnya, pertanyaan Abdullah bin Masud ra tentang amalan yang paling disukai Allah. Rasul menjawab, “Shalat pada waktunya, berbuat baik kepada ibu bapak, dan jihad di jalan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).

“Maukah aku ingatkan kalian dengan suatu amalan yang paling baik; amalan yang paling suci pada apa yang kalian miliki, paling tinggi derajatnya; lebih baik dan utama bagi kamu sekalian daripada menginfakkan emas; lebih baik bagi kamu sekalian daripada kalian berhadap-hadapan dengan musuh, kalian pukul lehernya dan mereka pun memukul leher kalian?” Para sahabat menjawab, “Tentu kami mau, ya Rasulullah.” Lalu Nabi bersabda, "Mengingat Allah.” (HR Tirmidzi).

Jika disimpulkan, perbuatan yang dapat digolongkan dalam amalan paling super adalah mengucapkan kalimat tauhid, menjaga rukun iman dan Islam, berzikir (mengingat Allah), bersedekah dengan harta yang dicintainya, shalat pada waktunya, berbuat baik kepada orang tua, dan berjihad di jalan Allah (dengan maknanya yang sangat luas).

Di samping itu, masih ada amal perbuatan yang patut digolongkan dalam amalan yang paling super (terbaik), yaitu menciptakan kedamaian. Bahkan, kedudukan amalan ini lebih utama daripada derajat ibadah shalat, puasa, dan zakat.

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang suatu amalan yang lebih utama daripada derajat shalat, puasa, dan sedekah? Yaitu, menciptakan kedamaian (merukunkan) antara manusia sebab kerusakan hubungan di antara manusia adalah pembinasa agama.” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban). Wallahu'alam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/15/mbwmok-amalan-yang-terbaik

Keutamaan Bulan Dzulhijjah

Selasa, 16 Oktober 2012, 09:01 WIB

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

Kaum Muslimin sepatutnya menyambut kedatangan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal tersebut karena Allah SWT telah menjadikan hari-hari pertama bulan Dzulhijjah sebagai "musim kebaikan" baik bagi para jamaah haji maupun bagi yang sedang tidak melaksanakan rukun Islam kelima tersebut.

Allah SWT bersumpah demi sepuluh hari itu (QS. Al Fajar: 1-2), dan tiadalah sumpah dikemukakan oleh Tuhan kecuali di dalamnya terkandung keagungan dan keutamaan tempat, waktu maupun keadaan.

Bagi para jamaah haji, pemanfaatan momentum sepuluh hari bulan Dzulhijjah akan meningkatkan kualitas dan konsentrasi ibadah haji serta syiar Islam secara keseluruhan.

Sedangkan bagi yang tidak melaksanakan haji, bersungguh-sungguh beribadah pada hari-hari tersebut kualitasnya menyamai jihad fi sabilillah, karena keutamaan awal sepuluh hari Dzulhijjah semisal keutamaan sepuluh malam terakhir Ramadhan.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebut bahwa keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah disebabkan oleh berkumpulnya ibadah-ibadah utama yang terdiri dari: shalat, sedekah, puasa dan haji.

Sedangkan Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abbas RA menyatakan bahwa Allah SWT mewahyukan Taurat kepada Musa AS yang didahului dengan berpuasa selama 40 hari; 30 hari disinyalir berada pada bulan Dzulqa’dah dan 10 hari lainnya awal Dzulhijjah. Puasa itu menjadi penyempurna turunnya Taurat kepada Musa, dan pada bulan yang sama Allah SWT menurunkan wahyu terakhir Alquran kepada Rasulullah SAW.

Di bulan Dzulhijjah, Allah SWT menggabungkan keharaman waktu (Dzulhijjah sebagai salah satu bulan haram), keharaman tempat (Makkah dan Madinah sebagai tanah Haram), dan keharaman kondisi/momentum (berhaji di Baitul Haram yang menjadi profil paripurna seorang Muslim).

Maka, berbagai keistimewaan tersebut menjadikan bulan Dzulhijjah sebagai bulan istimewa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Tidak ada suatu hari yang perbuatan baik di dalamnya lebih dicintai oleh Allah SWT daripada amalan sepuluh hari."

Para sahabat bertanya, "Tidak pula jihad fi sabilillah (lebih baik darinya)?"

Rasulullah SAW menjawab, "Tidak pula Jihad di jalan Allah (lebih baik darinya), kecuali seorang laki-laki yang keluar rumah dengan mambawa jiwa dan hartanya serta pada saat pulang tidak membawa apa-apa." (HR. Bukhari).

Karena keistimewaan itu, beberapa perbuatan baik yang istimewa dilakukan di antaranya:

1. Menjalankan ibadah haji bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa melakukan ibadah haji di rumah ini dan tidak berkata kotor maupun tidak berguna, maka dosanya akan dihapuskan sebagaimana bayi yang baru keluar dari rahim ibunya." (HR. Bukhari-Muslim).

2. Puasa sunah tarwiyah dan arafah. Adalah Rasulullah SAW yang berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, Hari Asyura dan tiga hari dalam setiap bulan." (HR. Abu Daud).

3. Memperbanyak takbir, tahmid dan tahlil. Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada hari yang perbuatan baik di dalamnya lebih agung di sisi Allah dan dicintai-Nya dibanding sepuluh hari. Maka perbanyaklah tasbih, tahmid, tahlil dan takbir di dalamnya." (HR. Tabrani).

4. Melaksanakan penyembelihan kurban (jika mampu). Dari Ummu Salmah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian menyaksikan bulan Dzulhijjah dan berkeinginan untuk berkurban, maka janganlah mengambil sekecil apa pun bagian dari rambut maupun kukunya sampai ia disembelih." (HR. Muslim).

5. Memperbanyak ibadah sunah semisal berpuasa, shalat, sedekah, membaca Alquran dan semacamnya. (QS. Ali Imran: 133).

Demikianlah keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dengan harapan kaum Muslimin dapat memanfaatkan momentum istimewa dengan amal ibadah yang bernilai istimewa. Wallahu a'lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/15/mbxrdx-keutamaan-bulan-dzulhijjah

Membuka Pintu Surga

Rabu, 10 Oktober 2012, 18:01 WIB

Oleh: Hannan Putra

Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib pulang lebih sore menjelang Ashar.

Fatimah binti Rasulullah, istrinya menyambut kedatangan suaminya yang sehari suntuk mencari rezeki dengan sukacita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.

Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah. "Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang sepeser pun."

Fatimah menyahut sambil tersenyum, "Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Ta'ala."

"Terima kasih," jawab Ali. Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal. Padahal, persediaan dapur sudah ludes sama sekali. Toh, Fatimah tidak menunjukan sikap kecewa atau sedih.

Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan shalat berjamaah. Sepulang dari masjid, di jalan ia dihentikan oleh seorang bapak tua.

"Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?" tanya lelaki tua itu

Ali menjawab heran. "Ya, betul. Ada apa, Tuan?''

Orang tua itu merogoh kantongnya seraya menjawab, "Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya."

Dengan gembira Ali mengambil haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar.

Tentu saja Fatimah sangat gembira memperoleh rezeki yang tidak di sangka-sangka ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakannya semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari.

Ali pun bergegas berangkat ke pasar. Sebelum masuk ke dalam pasar, ia melihat seorang fakir menadahkan tangan, "Siapakah yang mau mengutangkan hartanya untuk Allah, bersedekahlah kepada saya, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan."

Tanpa pikir panjang lebar, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu.

Pada waktu ia pulang dan Fatimah keheranan melihat suaminya tidak membawa apa-apa, Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya.

Fatimah, masih dalam senyum, berkata, "Keputusan kanda adalah yang juga akan saya lakukan seandainya saya yang mengalaminya. Lebih baik kita mengutangkan harta kepada Allah daripada bersifat bakhil yang dimurkai-Nya, dan menutup pintu surga buat kita."


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/10/mbo1yu-membuka-pintu-surga

Berlapang Dada

Senin, 08 Oktober 2012, 21:01 WIB

Oleh: Prof Dr Achmad Satori Ismail

Kesuksesan seseorang diawali dengan sikap lapang dada menghadapi berbagai tantangan. Orang sempit dada sulit maju karena kekerdilan dan kepicikan jiwa.

Agar sukses dalam membawa misi, Nabi Musa memohon kelapangan dada. Berkata Musa, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku.” (QS Thaha [20]: 25).

Sebelum Rasulullah SAW mengemban tugas risalah, beliau juga dilapangkan dadanya terlebih dahulu. “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS Al-Insyirah [94]: 1).

Walau Nabi SAW sudah dilapangkan dadanya, saat menghadapi hinaan kaum Quraisy, masih merasa kesempitan dada. Allah menegaskan, “Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan.” (QS Al-Hijr [15]: 97).

Intimidasi kaum Quraisy ini mendesak Rasulullah untuk meminta perlindungan kerabatnya di Thaif. Namun, saat ke Thaif beliau dilempari batu oleh budak-budak yang dikerahkan oleh para tuan mereka. Saking beratnya penderitaan Nabi saat itu, Allah mengutus Malaikat Jibril dan menawarkan diri untuk menyiksa panduduk Thaif.

Namun, Rasul SAW tak ingin melakukan hal itu. Beliau hanya berdoa, “Ya Allah berilah petunjuk kaumku karena mereka tidak mengetahui.”

Allah berfirman, “Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS Al-Hijr [15]: 98-99).

Berdasarkan ayat di atas, untuk menghadapi berbagai penyebab kesempitan dada, Allah memberikan petunjuk tiga hal. Pertama, memperbanyak zikrullah, bertasbih dengan memuji Allah. Zikrullah adalah penyebab masuk surga. (QS Ali Imran [3]: 133-134). Zikrullah adalah amalan utama untuk menuju surga dan dengan zikrullah hati menjadi tenang. (QS Ar-Ra’du [13]: 28).

Abdullah bin Bashar RA meriwayatkan, seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya pintu kebajikan sangat banyak dan aku tidak bisa melaksanakan semuanya, maka beritahukan kepadaku suatu amalan yang bisa aku selalu pegang tapi tidak terlalu banyak, nanti aku lupa.” Beliau menjawab, “Hendaklah lisanmu selalu dibasahi dengan zikrullah.” (HR Tirmizi).

Kedua, memperbanyak sujud. Dengan banyak sujud berarti kita banyak menunaikan shalat, khususnya yang wajib ditambah dengan nawafil (sunah). Dan ini adalah sebab masuk surga.

Rabi’ah bin Ka’b Al-Aslami berkata, “Aku menginap di rumah Rasulullah untuk melayani wudhu dan semua kebutuhannya.” Lalu beliau bersabda, “Mintalah (sesuatu) kepadaku!” Aku berkata, “Aku memohon agar bisa bersamamu di surga.” Beliau bersabda, “Apakah tidak ada yang lain?” Aku menjawab, “Itu saja.” Lalu Beliau bersabda, “Untuk itu, bantulah aku dengan memperbanyak sujud.” (HR Muslim dan Abu Daud).

Ketiga, menjadikan semua aktivitas hidup dalam kerangka ibadah kepada Allah. (QS Al-An’am [6]: 162). Kalau kita memiliki etos hidup seperti ini, kita akan merasa nyaman karena senang bersyukur dan susah bersabar, semua akan berpahala.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/08/mbkpys-berlapang-dada

Wasiat dari Jibril

Senin, 08 Oktober 2012, 06:50 WIB

Oleh: Ina Salma Febriani

Dalam suatu riwayat Ibnu Hatim, disebutkan bahwa Jibril AS pernah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Tidaklah aku diutus kepada seseorang yang lebih aku cintai daripada ketika aku diutus kepadamu.”

“Maukah aku ajarkan kepadamu (kalimat pembuka) doa yang aku simpan khusus untukmu—yang belum pernah aku ajarkan kepada seorangpun sebelummu—yang dapat engkau baca sewaktu berdoa dengan harap-harap cemas? Maka bacalah:

“Yaa nuurus samawaati wal ardhi.
Wayaa qoyyumas samaawaati wal ardhi.
Wayaa shomadas samaawati wal ardhi.
Wayaa zainas samaawaati wal ardhi.
Wayaa jamaalas samaawati wal ardhi.
Wayaa dzal jalaali wal ikroom.
Wayaa ghoutsal mustaghitsiina.
Wamuntaha roghbatil ‘aabidiina.
Wa munaffisal kurobi ‘anil makrubiina.
Wa mufarrijal ghommi ‘anil maghmuumiina.
Wa shoriikhol mustashrikhiina.
Wa mujiiba suu’aalil ‘abidiina…”

“Wahai Dzat Yang Menerangi langit dan bumi.
Wahai Dzat Yang Mengurus langit dan bumi.
Wahai Dzat Yang Menahan langit dan bumi.
Wahai Dzat Yang Menghiasi langit dan bumi.
Wahai Dzat Yang Memperindah langit dan bumi.
Wahai Dzat Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan.
Wahai Dzat Yang menjadi tempat memohon pertolongan bagi mereka yang memohonnya.
Wahai Dzat yang menjadi puncak harapan para ahli ibadah.
Wahai Dzat Yang Melepaskan beragam kesulitan bagi mereka yang dilandanya.
Wahai Dzat Yang Menghilangkan kecemasan dari mereka yang ditimpanya.
Wahai Dzat Yang Memberi pertolongan kepada mereka yang memohonnya.
Dan, Wahai Dzat Yang Mengabulkan permohonan para hamba-Nya…”

“Selanjutnya, silakan engkau berdoa kepada Allah dengan doa yang menyangkut urusan dunia dan akhirat.”

Berdoa adalah kebutuhan seorang hamba pada Tuhannya. Biasanya, kebutuhan itu muncul setiap saat terlebih jika kita merasa bahwa diri ini tidak sanggup menanggung beban, masalah yang datang bergantian, hingga sampai putus harapan.

Selain sebagai kebutuhan, Allah juga menyerukan para hamba-Nya untuk mau berdoa, meminta apa pun yang kita inginkan, tanpa harus ‘memaksa’ Allah untuk cepat mengabulkan doa kita. Sebab pada dasarnya, cukuplah Allah yang Mahatahu segala yang terbaik untuk segenap hamba-Nya dan cukuplah hak kabul-mengabulkan menjadi urusan dan rahasia-Nya semata.

“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS Al-Mukmin: 60).

Islam begitu indah dan sistematis. Segala amal ibadah memiliki cara dan adab masing-masing. Begitu pun dengan berdoa. Karena Allah menganjurkan kita untuk berdoa dan lengkap dengan jaminannya bahwa akan dikabulkan oleh-Nya, maka perbanyaklah meminta pada Allah dengan suara yang lembut, penuh harap—juga selipkan wasiat Jibril selepas shalat fardhu kita. Insya Allah, Dia perkenankan semua hajat kita. Amin. Wallahu a’lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/07/mbiwrg-wasiat-dari-jibril

Visi Seorang Muslim

Selasa, 09 Oktober 2012, 14:10 WIB

Oleh: Imam Nawawi

Ketika Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan seorang sahabat Anshar yang berkecukupan secara materi, yaitu Saad bin Rabi'.

Sebagai seorang Muslim, Saad telah memiliki visi besar yang hendak diraihnya dalam kehidupan dunia akhiratnya. Maka, atas dorongan imannya yang kuat dan penuh keyakinan, Saad menawarkan separuh dari apa yang dimilikinya kepada Abdurrahman bin Auf.

“Saya memiliki dua rumah dan dua kebun. Jika engkau berkenan saudaraku, ambillah separuh darinya. Saya juga punya dua orang istri, jika engkau berkenan silakan lihat satu di antaranya. Niscaya aku akan menceraikannya untukmu,” demikian tawaran Saad bin Rabi'.

Aneh dan sangat mengejutkan, Abdurrahman bin Auf justru menolak semua permintaan Saad bin Rabi' itu. Abdurrahman berkata kepada Saad bin Rabi', “Tidak saudaraku, aku tidak membutuhkan semua itu. Semoga Allah memberikan keberkahan bagi harta dan keluargamu. Tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.”

Kisah ini sangat mengagumkan. Bagaimana mungkin ada seorang manusia yang rela memberikan separuh harta yang dimilikinya untuk saudara seimannya. Dan, lebih mengagumkan lagi, bagaimana ada seorang manusia yang mendapat tawaran harta lalu menolaknya dengan penuh kesantunan.

Berbeda dengan saat ini, di mana sebagian orang yang kaya memiliih hidup kikir dan yang miskin begitu bernafsu mendapatkan bantuan. Bahkan umumnya, manusia kini sibuk berlomba-lomba mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Sebagian besar malah tidak peduli lagi dengan cara mendapatkannya, halal atau haram, semuanya disikat habis.

Sebagai seorang Muslim, kisah antara Saad bin Rabi' dan Abdurrahman bin Auf sangat layak dijadikan bahan renungan bagi kita semua, guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Keduanya sama sekali tidak terbelenggu oleh kenikmatan harta dunia.

Sebagai seorang Muslim yang memulai hidup baru, dengan hanya memiliki pakaian di badan, Abdurrahman bin Auf memiliki etos kerja yang tangguh. Visinya untuk menjadi seorang Muslim yang paling bermanfaat bagi perjuangan umat Islam, mengantarkannya sebagai seorang pedagang sukses. Sampai akhirnya dia berhasil menjadi konglomerat.

Tetapi, karena visi ukhrawinya yang kuat, ia tidak terjebak pada kekayaan yang digenggamnya. Ia berhasil keluar dari jebakan harta dunia yang telah menenggelamkan Qarun dan menistakan Tsa'labah.

Seolah tidak mau kalah dari Saad bin Rabi' yang begitu dermawan, ketika ia telah menjadi seorang konglomerat, seluruh harta yang dimilikinya, sepenuhnya disedekahkan untuk perjuangan dan kelangsungan hidup umat Islam. Bahkan, Abdurrahman bin Auf telah menyumbangkan 700 ekor unta dan muatannya untuk umat Islam. Suatu peristiwa istimewa yang tentu untuk hari ini sangat langka kita menemukannya.

Siapa yang lebih memilih mencintai harta dunia daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka belumlah sempurna keimanannya. (QS Ali Imran [3]: 92). Padahal, hanya dengan kesempurnaan iman visi seorang Muslim benar-benar akan merealita. Yakni, menjadi manusia yang paling bermanfaat bagi yang lainnya.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/09/mbm6gq-visi-seorang-muslim

Belajar Ikhlas

Kamis, 04 Oktober 2012, 13:44 WIB

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

Ikhlas itu kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Karena itu, kita perlu belajar dan membiasakan diri menjadi mukhlis (orang yang ikhlas).

Dari segi bahasa, ikhlas itu mengandung makna memurnikan dari kotoran, membebaskan diri dari segala yang merusak niat dan tujuan kita dalam melakukan suatu amalan.

Ikhlas juga mengandung arti meniadakan segala penyakit hati, seperti syirik, riya, munafik, dan takabur dalam ibadah. Ibadah yang ikhlas adalah ibadah yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT.

Ungkapan “semata-mata karena Allah SWT” setidaknya mengandung tiga dimensi penghambaan, yaitu niatnya benar karena Allah (shalih al-niyyat), sesuai tata caranya (shalih al-kaifiyyat), dan tujuannya untuk mencari rida Allah SWT (shalih al-ghayat), bukan karena mengharap pujian, sanjungan, apresiasi, dan balasan dari selain Allah SWT.

Beribadah secara ikhlas merupakan dambaan setiap Mukmin yang saleh karena ikhlas mengantarkannya untuk benar-benar hanya menyembah atau beribadah kepada Allah SWT, tidak menyekutukan atau menuhankan selain- Nya. “Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun” (QS An-Nisa’ [4]: 36).

Jika ikhlas sudah menjadi karakter hati dalam beramal ibadah, niscaya keberagamaan kita menjadi lurus, benar, dan istiqamah (konsisten). (QS Al-Bayyinah [98]: 5). Selain kunci diterima tidaknya amal ibadah kita oleh Allah SWT, ikhlas juga membuat “kinerja” kita bermakna dan tidak sia-sia. Kinerja yang bermakna adalah kinerja yang berangkat dari hati yang ikhlas.

Menurut Imam Al-Ghazali, peringkat ikhlas itu ada tiga. Pertama, ikhlas awam yakni ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi perasaan takut kepada siksa-Nya dan masih mengharapkan pahala dari-Nya.

Kedua, ikhlash khawas,ialah ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dimotivasi oleh harapan agar menjadi hamba yang lebih dekat dengan-Nya dan dengan kedekatannya kelak ia mendapatkan “sesuatu” dari-Nya.

Ketiga, ikhlash khawas al-khawas adalah ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang tulus dan keinsyafan yang mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Dia-lah Tuhan yang Mahasegala-galanya.

Ikhlas merupakan komitmen ter ting gi yang seharusnya ditambatkan oleh setiap Mukmin dalam hatinya: sebuah komitmen tulus ikhlas yang sering dinyatakan dalam doa iftitah. (Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata karena Allah Tuhan semesta alam). (QS Al-An’am [6]: 162).

Sifat dan perbuatan hati yang ikhlas itu merupakan perisai moral yang dapat menjauhkan diri dari godaan setan (Iblis). Menurut At-Thabari, hamba yang mukhlis adalah orang-orang Mukmin yang benar-benar tulus sepenuh hati dalam beribadah kepada Allah, sehingga hati yang murni dan benar-benar tulus itu menjadi tidak mempan dibujuk rayu dan diprovokasi setan.

Ikhlas sejatinya juga merupakan “benteng pertahanan” mental spiritual Mukmin dari kebinasaan atau kesia-siaan dalam menjalani kehidupan. Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah berujar, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang meng isi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tetapi tidak bermanfaat.”


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber : Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/04/mbcw2i-belajar-ikhlas

Bagaimana Cara Bertobat dari Dosa Besar?

Jumat, 05 Oktober 2012, 13:50 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Sebagaimana Alquran menyebutkan tobat dari kemusyrikan dan kemunafikan, Allah SWT juga menyebutkan taubat dari dosa-dosa besar.

Seperti membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah SWT kecuali dengan haknya. Demikian juga halnya dengan zina yang Allah SWT cap sebagai jalan yang buruk dan kotor.

Alquran menggolongkan kedua perbuatan dosa besar ini dalam kelompok dosa yang paling besar setelah syirik.

Allah SWT berfirman tentang sifat seorang ibadurrahman, "Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina.”

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang." (QS. Al Furqan: 68-70).

Tampak banyak ayat-ayat berbicara tentang iman setelah tobat, dan menyambung antara keduanya. Seperti terdapat dalam ayat ini. Firman Allah SWT, "Adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal yang saleh, semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung." (QS. Al-Qashash: 67).

Serta firman Allah SWT setelah menyebutkan beberapa Rasul-Nya dan nabi-nabi-Nya serta para pengikut mereka yang saleh, yang apabila dibacakan kepada mereka ayat Alquran mereka segera tunduk sujud dan menangis.

Allah SWT berfirman, "Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertobat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun." (QS. Maryam: 59-60).

Allah sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang bertobat. Seperti dalam firman-Nya, "Dan sesungguhnya Aku Mahapengampun bagi orang yang bertobat , beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar." (QS. Thahaa: 82).

Apa rahasia penggabungan ini, yaitu pengggabungan antara iman dengan taubat? Yang dapat saya tangkap, keimanan akan mengalami kerusakan ketika seseorang melakukan dosa besar. Hingga sebagian hadis menafikan keimanan itu dari orang-orang yang melakukan dosa besar ketika mereka melakukannya.

Seperti dalam hadis Bukhari Muslim, Nabi SAW bersabda,"Tidaklah berzina orang yang berzina dan saat itu ia mukmin, dan tidak meminum khamar orang yang meminumnya dan saat itu ia mukmin, dan tidak pula mencuri orang yang mencuri dan saat itu ia mukmin.”

Oleh karena itu, tobat adalah reparasi dan penyembuhan bagi keimanan yang mengalami kerusakan itu.


Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Hannan Putra


Sumber: Fatawa Al-Qardhawi
01. Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/10/05/mbeiab-bagaimana-cara-bertobat-dari-dosa-besar-1
02. Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/10/05/mbejrf-bagaimana-cara-bertobat-dari-dosa-besar-2habis

Kabar Gembira Bagi Penikmat Sholat Dhuha

Home > Dunia Islam > Pojok Arifin Ilham

Selasa, 02 Oktober 2012, 09:00 WIB

Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu

Sahabatku, sudahkah kalian membiasakan sholat dhuha? Bacalah berita gembira dari Rasulullah bagi penikmat dhuha.

* "Setiap pagi, setiap persendian salah seorang diantara kalian harus (membayar) sedekah, maka setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma’ruf adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah, sungguh dua raka’at dhuha sudah mencukupi semua hal tersebut” (HR Muslim).

* Dari Abu Hurairoh, kekasihku Rasulullah telah berwasiat kepadaku dengan puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat dhuha dan witir sebelum tidur. (Bukhari, Muslim, Abu Dawud).

*“Barang siapa shalat Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana di surga” (H.R. Tarmiji dan Abu Majah).

*“Siapapun yang melaksanakan sholat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak busa lautan.” (H.R Turmudzi).

*“Sholat dhuha itu (shalatul awwabin) shalat orang yang kembali kepada Allah setelah orang-orang mulai lupa dan sibuk bekerja, yaitu pada waktu anak-anak onta untuk bangun karena mulai panas tempat berbaringnya". (HR Muslim).

* Allah memberkahi waktu dhuha dengan surah Adh Dhuha...
Sahabatku, ayoo semangat membiasakan sholat dhuha walau hanya dua rakaat.

Redaktur: Slamet Riyanto


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/09/28/mb1ilm-kabar-gembira-bagi-penikmat-sholat-dhuha

Sembilan Kemuliaan Shalat Tahajud

Home > Dunia Islam > Pojok Arifin Ilham

Senin, 01 Oktober 2012, 09:00 WIB

Assalaamu alaikum wa rahmatullahi wa barkaatuhu

Rasulullah bersabda, "Barang siapa menjaga sholat tahajud dengan sungguh-sungguh, maka Allah memberinya sembilan kemuliaan, terdiri dari lima kemuliaan didunia dan empat di akhirat.

Di dunia:

1. Allah jauhkan dari bencana
2. Tanda kesholehan memancar diwajahnya
3. Akan dicintai hamba Allah yang sholeh pula dan disegani manusia
4. Bicaranya jadi hikmah dan berwibawa
5. Mudah memahami Agama Allah.

Di akhirat:

1. Bangkit dengan wajah penuh cahaya
2. Mudah saat di hisab
3. Seperti kilat menyambar melewati shirot
4. Menerima catatan amal dari sebelah kanan.

SubhanAllah, "Allahumma semoga Allah ilhamkan kepada kita dan keluarga kesenangn dan kekhusyuan sholat malam... Aamiin".


Redaktur: Slamet Riyanto


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/09/29/mb1h7y-sembilan-kemuliaan-shalat-tahajud

Berbagi Kebahagiaan

Senin, 01 Oktober 2012, 11:23 WIB

Oleh: Naharus Surur

Abu Hurairah RA meriwayatkan, Nabi SAW bersabda, “Perbuatan paling baik ialah engkau memasukkan kebahagiaan kepada saudara yang mukmin dan Muslim, atau engkau membayar utangnya, atau memberinya roti.” (Hadis Hasan).

Menurut hadis yang diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya dan Imam Ahmad bin Hanbal di atas, setidaknya ada tiga amal saleh yang dikategorikan sebagai amal paling baik menurut Rasulullah SAW.

Pertama, memberikan kebahagiaan kepada saudaranya yang mukmin dan Muslim. Menurut Syekh Al-Ghazali dalam bukunya “Kimiyyah Al-Sa'adah”, kimia kebahagiaan itu adalah mempersepsikan dunia dan akhirat dengan benar untuk menghadap kepada Allah SWT.

Menurutnya, kimia kebahagiaan itu terdiri atas empat elemen, yaitu pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang Allah, pengetahuan tentang dunia, dan pengetahuan tentang akhirat.

Orang yang memiliki ilmu (alim/ulama) bisa menunjukkan bagaimana manusia mampu menemukan kebahagiaan hakikinya, sebagaimana yang disampaikan Syekh Al-Ghazali tersebut. Para dermawan bisa memberikan hartanya untuk memberikan kebahagiaan tersebut kepada saudara-saudaranya yang sangat membutuhkan.

Setiap Ramadhan, Rasulullah bersedekah lebih kencang dibanding bulan lainnya. Para hartawan, semestinya juga demikian. Diminta maupun tidak, harusnya senantiasa mendistribusikan hartanya kepada dhuafa dan orang-orang yang membutuhkan. (QS [2]:177).

Begitu pula bagi para pemimpin. Dengan segala wewenangnya, seharusnya dia mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah selalu melakukan pengecekan langsung di lapangan. Apakah ada warga miskin yang kekurangan sandang pangan. Dan tidak jarang, Umar langsung memberikan solusi sendiri atas problem tersebut.

Umar bin Khattab sering menolong rakyat, mengambilkan air, memikul gandum, ataupun lainnya. Suatu malam, Thalhah melihat Umar masuk ke rumah seorang perempuan. Pada keesokan harinya, Thalhah mendatangi rumah perempuan itu.

Setelah mendapatkan izin untuk masuk, ternyata di dalam rumah itu tinggal seorang perempuan tua yang sudah lemah, buta, dan lumpuh. Thalhah bertanya kepada perempuan tersebut, “Apa yang diperbuat orang laki-laki tadi malam di rumahmu?”

Perempuan itu menjawab, “Orang (Umar—Red) itu sudah sejak lama datang kepadaku dengan membawa sesuatu sehingga bisa membuatku bahagia dan terhindar dari segala gangguan.” (HR Abu Nu'aim, dalam Al-Hilyah).

Amal saleh kedua adalah membayarkan utang saudaranya. Ini merupakan amalan yang sangat luar biasa, karena aghniya' (orang kaya) memiliki kemampuan untuk melepaskan orang lain dari berutang, dari rasa ketakutan, kegelisahan, tertekan, diteror, rasa didominasi, dan rasa direndahkan harga dirinya. Maka, wajar Allah memberikan pahala yang begitu besar kepada para aghniya' ini. (Hadis ke-247 dan 248 dalam Riyadus Shalihin).

Amal saleh ketiga adalah memberikan roti atau makan. (QS [76]: 8-9). Memberikan makan juga harus yang terbaik, yakni sebagaimana yang biasa kita makan. Jangan sampai makanan sisa dan basi justru kita berikan kepada orang lain, padahal kita sendiri enggan untuk memakannya.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/01/mb75im-berbagi-kebahagiaan

Buah Silaturahim

Rabu, 03 Oktober 2012, 13:38 WIB

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

Tidak dimungkiri bahwa silaturahim merupakan salah satu perintah Allah SWT yang menjadi pilar bagi terbentuknya masyarakat dan kuat dan sehat.

Silaturahim sendiri mengandung banyak manfaat dan keutamaan, baik bagi penjalin silaturahim, pihak yang disilaturahimi maupun masyarakat luas.

Salah satu buah dari silaturahim adalah terjalinnya persatuan dan kesatuan antar berbagai golongan di masyarakat.

Namun sayang, buah silaturahim yang satu ini terkadang bersifat semu dan tidak nyata dalam kehidupan, karena silaturahim yang dilakukan sebatas pemenuhan kebutuhan bersosialisasi; tidak didasari oleh niat sungguh-sungguh dalam memaknai arti silaturahim; kuatnya ego yang mengganggap diri dan kelompoknya paling benar sedang kelompok lain berada pada pihak yang salah; dan tidak berangkat dari titik yang sama.

Padahal, silaturahim yang membuahkan persatuan dan kesatuan merupakan dambaan setiap orang yang berada di dalam dan di luar area silaturahim, karena baik silaturahim maupun persatuan merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah dan manifestasi berpegang teguh terhadap agama Islam.

Mereka yang ingin senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah dan berpegang teguh terhadap agamanya idealnya memanifestasikan beberapa hal berikut ini dalam kehidupannya:

Pertama, bersikap kasih sayang terhadap sesama Muslim, toleran terhadap non-Muslim dan bersikap keras terhadap orang kafir yang memusuhi Islam. Allah SWT berfirman, "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan bersikap kasih sayang terhadap sesama mereka." (QS. Al Fath: 29).

Kedua, mengikuti jalan Islam yang lurus dan menjauh dari jalan bengkok yang menyalahinya. "Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikian Dia memerintahkan kepadamu kamu bertakwa." (QS. Al-An'am: 153).

Ketiga, merasa diawasi Allah dalam setiap perbuatan dan diamnya serta mengikhlaskan segala perbuatan karena-Nya. Ikhlas merupakan syarat utama diterimanya ibadah dan ketaatan. Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman melakukan perbuatan semata-mata mengharap ridha-Nya dan bekerja keras atas dasar keimanan kepada-Nya, karena dengan dua modal itu perbuatan manusia menjadi sempurna. (QS. Az-Zumar: 2).

Keempat, siap berjihad dengan jalan mengorbankan diri, jiwa dan harta di jalan Allah dan untuk kepentingan agama-Nya. jihad di sini adalah jihad dalam rangka menegakkan agama Allah, membela kebenaran, membela tanah air, membela masyarakat dan membela tempat tinggal kita. (QS. At-Taubah: 41).

Kelima, siap bekerjasama di pelbagai bidang yang melahirkan kemaslahatan individu, kelompok, masyarakat, bangsa maupun dunia demi merealisasikan kemajuan dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa." (QS. Al-Ma'idah: 2).

Keenam, turut merasakan kesedihan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh saudara sesama Muslim baik di dalam maupun di luar negeri. Rasulullah SAW bersabda, "Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam sikap saling mencintai, lemah lembut dan kasih sayangnya bagaikan satu anggota badan, apabila satu dari anggotanya menderita sakit, maka anggota yang lain merasakan (pula) sakit dan demam." (HR. Bukhari-Muslim).

Demikianlah pengingat yang sering terlupa dalam kegiatan silaturahim agar kita senantiasa mewujudkan persatuan dan kesatuan karena di dalamnya terkandung kekuatan, kebahagiaan, kepentingan dan kemuliaan umat Islam. Wallahu a'lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/03/mbb13j-buah-silaturahim

Bekal Perjalanan ke Akhirat

Home > Dunia Islam > Pojok Arifin Ilham

Kamis, 27 September 2012, 09:57 WIB

Assalaamu alaikum wa rahmatullah wa barkaatuhu.

Sahabatku, kalau kita bepergian jauh dan lama, maka kitapun akan mempersiapkan bekal selama perjalanan itu.

Lantas bagaimana perjalanan menuju sakaratul maut, alam kubur dan kehidupan akhirat yang bukan seabad, sejuta abad, semilyar abad tetapi langgeng selama lamanya. "Sesungguhnya kehidupan akhirat itulah sebenar-benarnya kehidupan" (QS 29 : 64).

Sementara itu waktu untuk mengumpulkan bekal di akhirat kelak terlalu sebentar, janganlah sia-siakan hidup sebentar ini dengan santai apalagi sampai berani maksiat.

Sahabatku, bangunlah ditengah malam, lalu sholat dengan sujud dan doa yang lama, perkuat istigfar, sambutlah dahsyatnya akhirat dengan kesungguhan taubat dan taat, "Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa" (QS 2:197).

"Ya Allah tancapkan di hati kami keindahan iman, kenikmatan sholat malam, kesenangan taat dan wafatkan kami husnul khotimah... Aamiin".

Redaktur: Slamet Riyanto


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/09/27/mazmw0-bekal-perjalanan-ke-akhirat

Manusia yang tak Disukai Allah

Selasa, 02 Oktober 2012, 03:30 WIB

Oleh: Ustadz Hasan Basri Tanjung

Dalam Alquran ditemukan beberapa ayat dengan variasi beragam yang diawali dengan “in nallaha laa yuhibbu” (sesungguhnya Allah tak suka).

Dengan tegas Allah SWT menyatakan ketidaksukaan kepada karakter-karekter negatif dan destruktif. Seperti al-mufsidin (merusak, QS [5]: 64), azh-zhalimin (zalim, [3]: 140), al-musrifin (berlebihan, [6]:141), al-mu’tadin (melampaui batas, [2:190]), al-mustakbirin (menyombongkan diri, [16]:23), kaffarin atsiim (kufur lagi bergelimang dosa, [2]: 276), khawwanin atsima (berkhianat dan berlumur dosa, [4]: 107), khainin (penghianat, [8]: 58), dan mukhtalan fakhura (sombong dan membanggakan diri, [4]: 36, [31]: 18, [57]: 23).

Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof Dr Buya Hamka menjelaskan makna kata mukhtalan fakhura. Mukhtal artinya melagak, menyombong, merasa seakan-akan dunia ini dia yang punya. Bumi serasa dilangkahi, langit serasa dipersunting, awak merasa tinggi benar, hina dan mulia tak dikenal, tua dan muda tak disapa. Itulah sombong sikap hidup.

Sementara fakhur adalah cakap yang sombong, perkataan yang selalu meninggi, memandang rendah orang lain, seakan-akan diri tak ada tandingan. Bercakap tinggi, membanggakan diri, menyebut bahwa dia paling pintar atau gagah berani atau si anu pernah dibantunya dan membanggakan keturunan, nenek moyang, kabilah, dan suku.

Dalam Surah An-Nisa’ ayat 36-38 disebutkan empat karakter buruk dari mukhtalan fakhura. Pertama, orang-orang yang kikir dan menyuruh orang berbuat kikir. Bakhil adalah kesombongan, baik kepada Allah SWT yang telah memberi karunia maupun kepada manusia (QS [57]: 24).

Sifat ini adalah kemusyrikan stadium awal karena menyekutukan Allah dengan harta benda. Kebakhilan muncul dalam diri manusia karena terlalu mencintai harta melebihi cintanya kepada Tuhan. (QS [100]: 6-8) dan menumpuk harta (QS [102]: 1). Kedua, menyembunyikan karunia Allah.

Seseorang yang bakhil akan menutupi kenikmatan yang diperolehnya dan tidak ingin diketahui orang lain. Orang-orang yang terserang penyakit berbahaya ini, hidupnya akan menderita hingga akhir hayat. Sebab, setiap karunia yang diterimanya tak pernah disyukuri dan dibagikan untuk orang lain (QS [93]: 11). Orang bakhil itu termasuk kufur nikmat (QS [4]: 37).

Ketiga, orang-orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada orang lain (ingin dilihat dan dipuji). Riya juga merupakan kemusyrikan, yakni menyekutukan Allah dengan manusia. Ia mengeluarkan zakat, infak, sedekah dan wakaf, serta shalat dan puasa karena ingin dipuji dan dikatakan dermawan. (QS [2]: 264).

Keempat, orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Ketiga golongan tersebut di atas, akan tampak dari sikap dan perbuatannya. Meskipun menjalankan syariat Islam, mereka tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Sekiranya beriman kepada Allah dan hari akhir, tentu mereka tidak bakhil atau riya.

Dalam keseharian, mereka yang mengidap keempat penyakit hati ini akan membanggakan diri dan pongah (QS [31]: 18). Hal tersebut disebabkan mereka berteman dengan setan (QS [4]: 38). Manusia tak suka dan Allah pun tak suka. Wallahu a’lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/01/mb7pls-manusia-yang-tak-disukai-allah
Republika Online -

Empat Anugerah bagi Pendosa

Jumat, 28 September 2012, 10:35 WIB

Oleh: Ina Salma Febriani

Allah memiliki sifat-sifat yang mulia. Sifat-sifat Allah tersebut dikenal dengan Asmaul Husna, salah satunya Al-Wahhab (Maha Pemberi Anugerah).

Tanpa melihat status sosial, suku, tingkat materi, jenjang pendidikan, agama, Allah tunjukkan sifat kasih dan sayangnya kepada semua makhluk hidup di muka bumi.

Sang pemberi anugerah ini senantiasa melimpahkan nikmat-Nya tak hanya bagi para ahli ibadah namun juga untuk ahli maksiat.

Berbicara perihal maksiat— semua manusia pada dasarnya berpotensi untuk melakukan dosa. Sebab Allah telah mengaruniakannya hawa nafsu. Namun dengan adanya hawa nafsu itu, bukan berarti manusia seenaknya berbuat dosa dengan harapan Allah pasti memberikan ampunan.

Sebaliknya, manusia dikaruniai hawa nafsu agar ia kian cerdas mengontrol diri dari dorongan-dorongan jahat dengan mempertebal keimanan dan ibadah pada Allah

Kendati banyak manusia yang berbuat dosa, karena sifat Rahman dan Rahim-Nya, Allah tidak ‘membenci’ orang-orang yang mengotori dirinya dengan dosa—jika mereka mau kembali, membersihkan diri, melakukan perbaikan, juga berjanji setia dengan Allah bahwa takkan pernah mengulangi dosa yang senada.

Dalam Surah An-Nisaa ayat 27 dan 28, Allah Swt berfirman: “Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”

Sa’ad bin Hilal pernah berkata, “Bila manusia (umat Muhammad SAW) berbuat dosa, maka Allah tetap memberikan empat anugerah padanya, yaitu:

Pertama, ia tidak terhalang untuk mendapatkan rezeki. Kedua, ia tidak terhalang untuk mendapatkan kesehatan badan. Ketiga, Allah tidak akan memperlihatkan dosanya selama di dunia. Keempat, Allah tidak serta-merta mengazabnya.

Keempat ‘anugerah’ ini semestinya betul-betul disadari oleh kita—makhluk yang sering terperdaya untuk melakukan dosa, agar malu di hadapan Allah. Malu karena memakan nikmat Allah, tapi shalat tak kunjung khusyuk.

Malu karena merasakan nikmat Allah tapi ibadah pas-pasan dan malu telah mendapatkan fasilitas gratis dari Allah—penglihatan, pendengaran, hati, harta, jabatan, pasangan hidup—tapi posisi di hadapan Allah belum jelas. Hamba-Nya kah? Atau sekedar makhluk-Nya? Atau keduanya? Yang harus kita sadari bersama ialah bahwa tugas kita sebagai khalifah di bumi hanyalah untuk beribadah.
“Dan tiada kuciptakan jin dan manusia, selain untuk beribadah kepadaKu.” (Qs Adz-Zariyat: 56). Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kita harus berlomba-lomba mencari perhatian Allah, mencari posisi strategis di hadapan Allah, mencari dan mengejar cinta-Nya—bukan mencari itu semua pada selainNya yang berakhir kefanaan.

Diriwayatkan bahwa Nabi Adam AS telah berkata, “Allah memberikan empat macam kemuliaan kepada umat Muhammad yang tidak Allah berikan kepadaku, yaitu:

1. Allah menerima taubatku di Makkah, sedangkan umat Muhammad diterima taubatnya—dimana pun ia berada.

2. Ketika aku melakukan dosa, Allah menghilangkan pakaianku seketika, sedangkan umat Muhammad tetap diberi pakaian meskipun durhaka pada Allah.

3. Ketika aku berbuat dosa, Allah pisahkan aku dengan istriku, sedangkan umat Muhammad ketika ia berbuat dosa—tidak dipisahkan oleh istrinya.

4. Aku berbuat dosa di surga, lalu Allah mengusirku dari surga ke dunia, sedangkan umat Muhammad yang berbuat dosa di luar surga, lalu Allah memasukkan mereka ke surga bila mereka mau bertaubat.

Itulah empat keutamaan umat Nabi Muhammad SAW yang manusia pertama saja tidak mendapatkannya. Marilah bersama perbaiki diri agar kita layak mendapatkan nikmat Allah. Wallahu a’lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/28/mb1jbp-empat-anugerah-bagi-pendosa

Membaca Hati

Minggu, 23 September 2012, 12:57 WIB

Oleh: A Riawan Amin

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia.” (QS [96]: 1-3).

Setiap saat kita membaca banyak hal. Yang tertulis maupun yang tersirat. Dari membaca berita sampai membaca apa yang terjadi pada lingkungan kita. Namun, sering kita lupa membaca dan menyimak apa-apa yang berlangsung di dalam diri kita.

Manusia diciptakan dari segumpal darah ('alaq) dan di dalam dadanya ada segumpal daging (mudghah). Kata Nabi SAW, bila segumpal daging itu baik maka baik diri keseluruhannya. Namun, bila segumpal daging itu buruk, buruk diri keseluruhannya. Itulah yang dinamakan hati.

Karenanya, bacalah setiap saat kondisi hati kita. Sedang was-waskah dia? Sedang gelisahkah dia? Sedang takutkah dia? Sedang dengkikah dia? Iqra, iqra, iqra! Seperti penggalan lagu religi bertajuk “Jagalah Hati”: jagalah hati jangan kau nodai, jagalah hati pelita hidup ini.

Kita tidak mungkin menjaga sesuatu yang tidak kita sadari keberadaannya. Karena itu, bacalah hati setiap saat, agar kita sadar akan keberadaan dan aktivitasnya. Karena kondisi hati yang baik membuat diri menjadi baik keseluruhannya.

Jika hati kita terasa bersih, bersyukurlah. Sebaliknya, jika hati sedang terasa buruk, akuilah sebagai amanah, akuilah sebagai ujian, akuilah bahwa perasaan negatif hanyalah ilusi. Semata-mata kita yang membuatnya. Karena tidak selayaknya makhluk Allah yang sempurna ini (“sempurna” dalam skala dunia) mempunyai jiwa yang tidak sempurna.

Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS [95]: 4), dan meniupkan ruh-Nya yang mulia kepada nenek moyang kita Adam, sehingga bersujudlah seluruh alam semesta kepada Adam. Jika bersih hati kita, itulah fitrah. Jika kotor hati kita berarti ada dusta sedang berlangsung.

Kita sedang tidak menjadi diri sejati kita. Dan, harus ada ikhtiar yang kita lakukan untuk mengembalikannya kepada fitrahnya. Dengan zikrullah, dengan berulang-ulang meyakinkan diri bahwa perasaan-perasaan kita-baik yang nyaman maupun tak nyaman, semuanya adalah amanah sekaligus ujian. Dan, bahwa kalau tak nyaman berarti kita sedang tak sesuai fitrah.

Maka, perlahan-lahan tapi pasti, kita sedang meninggikan ruh kita yang mulia di atas perasaan-perasaan kita. Dan, meninggikan kehendak Allah di atas keinginan-keinginan kita. Jika tidak, alih-alih menjadi ciptaan paling mulia, kita justru jatuh kepada derajat binatang ternak. (QS [25]: 43-44). “Sungguh berbahagia orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS [91]: 9-10).

Jika kita terus-menerus membaca hati kita dan membersihkannya, insya Allah kita akan sampai pada derajat jiwa yang muthmainnah dan kelak kembali menghadap Allah dalam keadaan puas dan diridai-Nya. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS [89]: 27-30). Bacalah alam semesta, bacalah segala yang baik-baik. Agar mulia, jangan pernah lupa setiap waktu, bacalah hati!


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/23/masgk6-membaca-hati

Hadapi Cercaan dengan Shalawat

Kamis, 20 September 2012, 14:24 WIB

Oleh: Ina Salma Febriani

Entah yang sudah ke berapa kalinya, umat Islam kembali menghadapi cobaan melalui penghinaan pada Rasulullah.

Dicerca, dihina, dilecehkan, direndahkan, bahkan tindak kekerasan fisik dan verbal sekali pun adalah makanan sehari-hari Rasulullah di awal dakwah beliau.

Sebenarnya ada faktor lain yang menyebabkan mereka melakukan penghinaan tersebut—bukan sekadar benci atau dendam kesumat. Tapi lebih dari itu, mereka sangat tahu betapa mulianya Rasulullah. Karena sangat mengagumi Rasulullah, mereka tidak dapat mengekspresikan kekaguman tersebut. Maka dapat dimaklumi mereka berbuat demikian.

Rasulullah SAW pun demikian, selalu membalas kejahatan dengan pengungkapan ampunan pada Tuhan, karena kuffar Quraisy ‘belum tahu’ hakikat kebenaran. Rasulullah hanya berdoa, “Maafkan mereka ya Allah, karena ketidaktahuan mereka.”

Ketidaktahuan itu muncul salah satunya karena di dalam hati mereka ada ‘penyakit’. Penyakit itu timbul karena mereka yang ingkar dan dengki sehingga Allah mengunci hati mereka dan sulit menerima kebenaran. “Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah penyakit mereka dengan apa yang mereka dustakan,” (QS Al-Baqarah: 10).

Dari keingkaran tersebut, lahirlah sebuah godaan untuk mencerca, menghina dan melecehkan pemeluk agama lain, motifnya memang berbeda-beda. Ada yang karena tidak suka bumi Allah ini dipenuhi oleh pemeluk Islam yang kian hari makin banyak, ada pula yang ingin menghancurkan persatuan umat Islam yang satu dengan yang lainnya.

Apa pun motif terselubung dari fenomena ‘pelecehan’ ini, Rasulullah hanya menganjurkan untuk melawan perbuatan oknum yang tidak bertanggung jawab itu dengan pembuktian keimanan. Buktikan bahwa sedahsyat apa pun agama, Nabi, ajaran Allah ini dihina, kita tetap teguh dan bersatu. Karena memang, jalan anarkistis justru lebih merugikan umat Islam itu sendiri.

Dengan peristiwa ini, mungkin kita bisa memetik hikmah, antara lain, teguhkan dan kuatkan keimanan dan persatuan kita di antara sesama umat Muslim—sebab sampai kapan pun, non-Muslim tidak akan pernah ridha dengan agama Islam, hingga kita mengikuti kepercayaan mereka.

Hal ini telah Allah firmankan dalam Surah Al-Baqarah ayat 120, “Dan tidak akan pernah ridha kepadamu (Muhammad) orang-orang Yahudi maupun Nasrani, hingga engkau mengikuti agama mereka…”

Kedua, biarlah Allah bertindak sesuai dengan kehendaknya, sebab Allah Mahamenghakimi dan Menghukumi setiap insan yang berdosa, jika tidak di dunia—maka siksaan tersebut Allah tangguhkan di hari Kiamat kelak, saat dimana kuffar memohon, memelas, meminta, mengemis, agar siksaan nan pedih dihilangkan darinya.

“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata meliputi manusia. Inilah azab yang pedih. Mereka berdoa, “Ya Allah, lenyapkanlah kami dari azab itu. Sesungguhnya kami akan beriman. ‘Bagaimanakah mereka dapat menerima peringatan, padahal mereka telah datang kepada mereka Rasul yang memberi peringatan kemudian mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata, ‘Dia adalah penerima ajaran dari orang dan ia adalah orang gila. Sungguh, jika Kami lenyapkan siksaan itu sebentar saja, pasti mereka akan (kembali) ingkar’.” (QS Ad-Dukhan: 10-15)

Ketiga, rutinkan diri memberikan ‘hadiah’ untuk Rasulullah SAW dengan bershalawat kepadanya. “Sungguh, Allah dan para malaikat bershalawat untuk Nabi, wahai orang yang beriman, bershalawatlah pada (Nabi) dan mohonlah keselamatan dengan keselamatan sesungguhnya.” (QS Al-Ahzab: 56). Wallahu a’lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/20/man0kd-hadapi-cercaan-dengan-shalawat

Hakikat Menyelami Nikmat Allah

Rabu, 19 September 2012, 17:42 WIB

Oleh: Makmun Nawawi

Dikisahkan, suatu hari di sebuah negeri, matahari tidak terbit. Para petani bangun pagi-pagi agar bisa berangkat ke sawah dan ladangnya, namun keadaan gelap gulita.

Para pegawai dan pekerja pun demikian, bangun sejak awal agar mereka bisa berangkat ke tempat tugasnya. Namun, kegelapan benar-benar pekat.

Hal yang sama juga menimpa pelajar dan mahasiswa di mana mereka tidak bisa berangkat ke tempat studinya karena gelap begitu mencekam.

Sepanjang hari itu, semua orang tidak ada yang melakukan aktivitas. Mereka semua menganggur dan kehidupan pun terhenti. Keadaan benar-benar chaos dan kacau balau. Bayi-bayi, tubuhnya menggigil dan lemas karena kedinginan. Kecemasan dan ketakutan menghantui semua orang.

Begitu tiba malam hari, bulan pun tidak tampak! Orang-orang pun semuanya berangkat ke tempat ibadahnya, meneriakkan selawat dan menghamburkan doa. Mereka berteriak histeris seraya merunduk berdoa agar matahari bisa kembali bersinar. Malam itu tidak ada seorang pun yang bisa memejamkan mata.

Keesokan harinya, saat pagi menjelang, ternyata matahari kembali bersinar dari orbitnya. Orang-orang pun saling bersahutan mengekspresikan kegirangan yang tiada terperi. Sambil mengangkat tangan ke langit, mereka pun tak henti-hentinya menggemakan puji syukur kepada Allah, seraya saling memberikan ucapan selamat satu sama lain di antara mereka.

Kemudian, salah seorang bijak bestari di negeri itu pun berujar, “Mengapa kalian hanya bersyukur kepada Allah lantaran terbitnya matahari di hari ini saja? Bukankah matahari itu bersinar setiap pagi (hari)? Bukankah kalian tahu kalau kalian sudah mereguk beragam nikmat Allah sepanjang masa?”

Itulah sebagian watak asli sekaligus kealpaan dan kelalaian manusia ketika mereka didera oleh berbagai macam kesulitan dan kepanikan, baru mereka kembali pada Allah (An-Nahl [16]: 53), seraya mengakui nikmat-Nya. Itu pun hanya terhadap sebagian kecil nikmat, padahal sudah teramat banyak nikmat Allah yang dicurahkan padanya (Ibrahim [14]: 32-34), yang tanpa disadarinya.

Kita baru bisa menyelami nikmat Allah jika bertalian dengan hal-hal material atau yang kasat mata, misalnya, diberikan harta melimpah, jabatan dan posisi yang enak, terbebas dari kecelakaan, lulus dalam testing sekolah atau pekerjaan, dan pendamping atau pasangan hidup yang setia.

Padahal, nikmat Allah itu terus dikucurkan pada hamba-Nya di setiap tarikan napas mereka, yang sekaligus menjadi penopang utama kehidupan mereka, tanpa mereka sadari. Misalnya, jantung yang terus berdetak, napas yang terus menghirup udara bebas, mata yang bisa menatap, mulut yang bisa bicara, hidung yang bisa mengendus rupa-rupa aroma, kuping yang bisa mendengar, kulit yang bisa merasakan dingin atau panas, kita bisa tidur, terjaga, jalan ke mana suka, dan seterusnya.

Tidak cukupkah kita dengan gugahan Allah yang berkali-kali dalam Surah Ar-Rahman, “Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Maka, betapa lancungnya dan tidak etis sekali jika kita hanya mau taat dan beribadah kepada Allah di kala kita didera kesulitan dan menyimpan segudang keinginan.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/19/malens-hakikat-menyelami-nikmat-allah

Mengharap Berkah Allah

Sabtu, 08 September 2012, 18:23 WIB

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

Berkah berarti selamat, tetap, langgeng baik, bertambah, tumbuh dan membahagiakan. Keberkahan datangnya dari Allah bukan dari manusia. Oleh karenanya, meminta keberkahan harus pula kepada-Nya, bukan kepada selain diri-Nya.

Di dalam Alquran, Allah SWT telah memberikan keberkahan pada bumi, seperti tersebut dalam firman-Nya, "Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya." (QS. Fushshsilat: 10).

Manusia pada umumnya hanya minta keberkahan kepada Allah SWT dalam masalah rezeki. “Ya Allah, berikan kepada kami keberkahan atas rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (HR. Thabrani).

Padahal, keberkahan seharusnya diminta dalam segala hal, sebagaimana petunjuk Rasulullah SAW yang mendoakan keberkahan bagi banyak sahabat-nya.

Tiba di suatu tempat, rumah, kota atau negara hendaknya seseorang berdoa, "Ya Tuhanku, tempatkanlah aku di tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang Memberi Tempat." (QS. Al Mukminun: 29).

Mendengar karib kerabat menikah, hendaknya kita memberikan ucapan selamat dengan mendoakan keberkahan, "Semoga keberkahan Allah untukmu dan atasmu serta semoga kalian berdua dikumpulkan dalam kebaikan." (HR. Abu Daud).

Bila Allah menganugerahkan keturunan kepada seseorang, hendaknya kita juga mengucapkan selamat dan doa keberkahan, "Engkau telah berterima kasih kepada Yang Mahapemberi, keberkahan bagimu pada pemberian ini, semoga anak itu mencapai dewasa dan kamu mendapatkan bakti darinya.” (Musnad Ibnu Al-Ja’d).

Singkat kata, keberkahan merupakan doa dan permintaan seorang Muslim kepada Allah SWT. Sebab, Rasulullah SAW senantiasa mendoakan orang yang dicintainya dengan keberkahan, baik dalam masalah umur, keturunan, rezeki, harta, tempat, pernikahan, kelahiran dan lain sebagainya.

Rasul SAW berdoa untuk Anas RA, “Ya Allah, berilah rezeki, harta dan keturunan dan berikan keberkahan kepadanya.” (HR. Bukhari). Doa Rasul dikabulkan, sehingga Anas termasuk di antara kaum Anshar yang paling banyak harta dan keturunannya.

Setiap orang tidak akan terlepas dari keberkahan yang datangnya dari Allah SWT semiskin apa pun keadaannya, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dalam mengisahkan cerita Nabi Ayyub AS, "Ya Tuhan, aku tidak akan terlepas dari keberkahan-Mu." (HR. Bukhari).

Di dalam keberkahan terdapat makna keimanan dan kesyukuran, sehingga jika keberkahan diberikan kepada seseorang maka rezekinya akan bertambah; keturunannya akan dijaga; fisiknya akan akan dilindungi dan disehatkan; umurnya menjadi lebih bermanfaat; istrinya akan menyenangkan dan taat; serta kehidupannya akan tenang, tentram dan bahagia. Maka di dalam setiap keberkahan senantiasa teriringi empat sifat: kebaikan, kebahagiaan, tumbuh dan berkembang. Wallahu a'lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/08/ma1192-mengharap-berkah-allah

Berkah dan Balasan Sedekah

Senin, 10 September 2012, 06:25 WIB

Oleh: Moch Hisyam

Dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Abdullah ibnu Mubarak, ulama termasyhur abad ke-12 (1118 M/797 H) singgah di Kota Kufah, Irak. Di kota itu, ia melihat seorang wanita sedang mencabuti bulu itik di tempat sampah.

Dalam hatinya, Ibnu Mubarak merasa bahwa itik itu sudah mati dan telah menjadi bangkai. Ia pun menanyakan hal tersebut kepada si. “Apakah itik ini bangkai atau sudah disembelih?”

Wanita itu menjawab dengan tegas bahwa hewan itu sudah menjadi bangkai dan ia akan tetap mengambilnya untuk dimakan bersama keluarganya.

Karena tak ingin hal itu menimbulkan kemudharatan kepada wanita tersebut maka Ibnu Mubarak terus menanyakan. “Bukankah Nabi SAW telah mengharamkan daging bangkai?” ujar Ibnu Mubarak. Namun demikian, wanita itu tetap pada pendiriannya.

Ia pun membentak dan memerintahkan Ibnu Mubarak untuk meninggalkan dirinya dengan bangkai tersebut. “Sudah, pergilah kau dari sini!

Tapi, Ibnu Mubarak tetap bertahan dan terus menanyakannya, hingga akhirnya wanita itu membuka rahasianya. Wanita itu menjawab, “Aku mempunyai putra yang masih kecil-kecil, sudah tiga hari mereka tidak makan, sehingga aku terpaksa memberi mereka daging bangkai ini.”

Mendengar jawaban sedih wanita itu, Abdullah bin Mubarak segera pergi kembali mengambil makanan dan pakaian, yang diangkut dengan menggunakan keledainya. Kemudian, ia kembali ke tempat wanita itu. Setelah bertemu muka, ia berkata, “Ini uang, pakaian, dan makanan. Ambillah berikut keledai dan segala yang ada padanya!”

Kemudian, Ibnu Mubarak tinggal di kota itu karena waktu haji telah lewat. Akhirnya, ketika orang-orang telah menunaikan haji pulang kembali ke negeri mereka, maka Abdullah pulang juga bersama mereka.

Setelah tiba di kotanya, orang-orang datang kepadanya sambil mengucapkan selamat karena telah menunaikan ibadah haji. Tetapi, Ibnu Mubarak menjawab, “Tahun ini aku tidak jadi naik haji!”

Seseorang menegurnya, “Subhanallah, bukankah aku telah menitipkan uangku kepada Anda, lalu aku ambil kembali di Arafah?” Yang lain berkata, “Bukankah Anda telah memberi minum di suatu tempat dulu?” Sementara yang lain berkata pula, “Bukankah Anda telah membelikanku ini dan itu?”

Abdullah menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang kalian katakan, sebab aku tidak jadi naik haji pada tahun ini.” Pada intinya, mereka yang menemui Abdullah ibnu Mubarak menyaksikan dirinya menunaikan ibadah haji.

Pada malam harinya, di kala tidur, Abdullah ibnu Mubarak bermimpi. Ia mendengar suara gaib yang mengatakan, “Hai Abdullah, sesungguhnya Allah telah menerima sedekahmu dan telah mengutus seorang malaikat menyerupai dirimu untuk melaksanakan ibadah haji sebagai ganti dirimu!”

Kisah yang terdapat dalam kitab “An-Nawadir” karya Ahmad Syihabudin bin Salamah Al-Qalyubiy ini memberikan pelajaran kepada kita untuk lebih mendahulukan membantu orang yang membutuhkan uluran tangan, ketimbang melaksanakan haji berkali-kali. Apalagi bila hanya untuk memuaskan nafsu semata. Wallahu a’lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/09/ma30le-berkah-dan-balasan-sedekah

Sebab-Sebab Turunnya Keberkahan

Senin, 10 September 2012, 21:10 WIB

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

Keberkahan bukanlah pemberian Allah yang tiba-tiba dengan tanpa sebab diturunkan kepada seseorang. Keberkahan merupakan sesuatu yang senantiasa diminta dan harus diupayakan oleh setiap manusia kepada pemiliknya, Allah SWT.

Di antara sebab-sebab turunnya keberkahan adalah: Pertama, mendasari keimanan dan ketakwaan dalam sebuah kegiatan atau usaha. Allah SWT berfirman, "Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS. Al-A'raf: 96).

Kedua, beramal saleh dan berikhtiar memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan semua makhluk-Nya. Allah SWT berfirman, "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97).

Ketiga, memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah karena pada hakikatnya Dialah pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda, "Berkumpullah kalian atas makanan dan sebutlah nama Allah, maka Allah akan memberikan keberkahan pada kalian di dalamnya." (HR. Abu Daud).

Keempat, menyegerakan diri dalam kebaikan dan membuang rasa malas di pagi hari. Rasulullah SAW mendoakan keberkahan bagi orang-orang yang menyegerakan diri dan bersemangat di pagi hari dalam meraih sukses melalui doanya, "Ya Allah, berkahilah umatku yang (bersemangat ) di pagi harinya." (HR. Abu Daud).

Kelima, berlaku jujur dan melayani pelanggan dengan baik dan ihlas. Rasulullah SAW bersabda, “Penjual dan pembeli itu diberi pilihan selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menjelaskan (kondisi barangnya), maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Namun bila keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka akan dihilangkan keberkahan jual beli keduanya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Pada tingkat tertentu, keberkahan tidak selalu bersifat definitif dalam arti selamat, tetap, langgeng, baik, bertambah, dan tumbuh melainkan berati puas dan rela dengan pemberian dan pembagian yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam kategori ini orang-orang yang mendapatkan keberkahan juga merasakan hidup dengan perasaan nyaman dan bahagia.

Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah menguji hamba dengan pemberian-Nya. Barang siapa rela dengan pembagian Allah terhadapnya, maka Allah akan memberikan keberkahan baginya dan akan memperluasnya. Dan barang siapa tidak rela, maka tidak akan mendapatkan keberkahan.” (HR. Ahmad).

Semoga Allah SWT memberikan keberkahan terhadap rezeki, kediaman, keturunan dan semua anugerah yang diamanahkan kepada kita serta memberi kekuatan untuk senantiasa taat menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan melimpahkan kepuasan kepada kita atas pemberian-Nya. Wallahu a'lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/10/ma4tr9-sebabsebab-turunnya-keberkahan

Inilah 3 Tugas Utama Imam Mahdi di Hari Akhir

Senin, 10 September 2012, 15:04 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Pada Hari Akhir akan muncul kekacauan yang mengerikan. Menurut cendekiawan Muslim, Harun Yahya, Hari Akhir berarti 'masa terakhir.'

''Menurut kitab-kitab Islam, hal ini berarti sebuah periode waktu yang dekat dengan Hari Kiamat,'' ujarnya.

Ia menuturkan, pada hari akhir itu Allah akan memerintahkan seorang hamba yang mempunyai akhlak yang mulia, yang dikenal sebagai Al Mahdi (pemberi petunjuk ke arah kebenaran).

Imam Mahdi itulah yana akan mengajak umat manusia kembali ke jalan yang benar. Tugas pertama Al Mahdi adalah mengobarkanperang pemikiran di dalam dunia Islam dan mengembalikan umat Muslin yang telah jauh dari intisari Islam sejati, menuju iman dan akhlak sesungguhnya.


''Dalam hal ini, Al Mahdi mempunyai tiga tugas dasar,'' ujar Harun Yahya. Berikut ini ketiga tugas Imam Mahdi itu:

1. Menghancurkan seluruh sistem filsafat yang mengingkari keberadaan Allah SWT.

2. Memerangi takhayul dengan membebaskan Islam penindasan orang-orang munafik yang telah menyimpangkan agama, dan kemudian mengungkap dan melaksanakan akhlak Islam sejati yang didasarkan pada aturan Alquran.

3. Memperkuat seluruh dunia Islam, baik secara politik maupun sosial, dan kemudian mengembangkan perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan serta memecahkan berbagai masalah kemasyarakatan.

''Menurut sejumlah besar hadis, Nabi 'Isa AS akan turun ke bumi pada waktu bersamaan dan akan menyeru seluruh pemeluk Kristen dan Yahudi, khususnya, untuk meninggalkan berbagai kepercayaan takhayul yang diyakini oleh mereka pada saat ini dan hidup menurut Alquran,'' papar Harun Yahya.

Menurut dia, ketika pemeluk Kristen telah mendengarkannya, umat Islam dan Kristen akan bersama di bawah satu keimanan dan dunia ini akan mengalami zaman perdamaian, keamanan, kebahagian, dan kesejahteraan terbesar yang dikenal sebagai Masa Keemasan.

Redaktur: Heri Ruslan


Sumber: harunyahya.com
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/09/10/ma4jr6-inilah-3-tugas-utama-imam-mahdi-di-hari-akhir

Enam Keutamaan Silaturahim

Kamis, 06 September 2012, 16:29 WIB

Oleh: Ruswanto

Silaturahim merupakan salah satu kewajiban bagi setiap pribadi Muslim. Dalam Alquran, Allah menegaskan, “Dan bertakwalah kepada Allah yang kalian saling meminta dengan nama-Nya dan sambunglah tali silaturahim.’ (QS. An-Nisa [4]:1).

“Sebarkanlah salam, sambunglah tali silaturahim, dan shalatlah ketika manusia tidur (tahajud) niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga pemutus tali silaturahim.”

Dalil-dalil di atas menunjukkan arti penting akan kewajiban silaturahim. Sebab, di dalamnya terdapat banyak keutamaan dan keistimewaan. Di antaranya, pertama, dengan silaturahim, kita bisa saling mengenal antara yang satu dan yang lainnya (QS Al-Hujurat [49]: 13). Dengan silaturahim, kasih sayang dan kerja sama yang positif bisa diwujudkan.

Kedua, dengan silaturahim, persatuan dan kesatuan (ukhuwah Islamiah) akan dapat dibangun. Dengan silaturahim, akan timbul rasa saling membutuhkan, solidaritas, dialog, pengertian, dan menguatkan kerjasama dalam perjuangan yang kokoh.

Rasulullah SAW bersabda, “Tangan Allah berada di atas jamaah.” Dalam hadis lain dikatakan, “Persatuan (al-jamaah) itu rahmat dan perpecahan (al-firqah) adalah azab.”

Berdasarkan hadis di atas, Allah SWT senantiasa akan menolong hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersatu dan menjauhkan diri dari perpecahan.

Hal ini terbukti dalam sejarah Islam ketika umat Islam bersatu, Allah menolong mereka hingga mampu menguasai sejumlah wilayah bahkan mampu menundukkan dua imperium besar, yakni Romawi dan Persia. Sebaliknya, pada saat umat Islam berpecah belah, terjadilah perang saudara dan saling membunuh hingga merusak kekuatan Islam.

Ketiga, dengan silaturahim, berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat akan mudah diatasi. Baik masalah ekonomi, pendidikan, kebudayaan, maupun lainnya. Keempat, silaturahim juga akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan horizontal yang terjadi di masyarakat.

Sebab, dengan mengedepankan kasih sayang, sikap emosional dalam diri umat yang bisa memicu permusuhan dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian, akar persoalan pun akan ditemukan dan bisa diselesaikan dengan damai.

Kelima, dengan silaturahim, berbagai ide-ide dan gagasan yang brilian, inovasi-inovasi, program-program, dan kegiatan-kegiatan yang positif juga bisa diwujudkan.

Ketika umat Islam berkumpul dalam kasih sayang dan semangat kebersamaan, akan muncul ide-ide kreatif dalam memacu umat untuk mencapai kemakmuran bersama. Kondisi ini jauh lebih bermanfaat di bandingkan sendirian. Dan sesungguhnya, kejayaan umat Islam di masa lalu berawal dari silaturahim.

Keenam, dengan silaturahim, akan banyak ilmu pengetahuan yang tersebar. Dengan demikian, akan banyak pula ilmu dan wawasan yang bisa diserap darinya. Dari sini diketahui bahwa silaturahim menjadi media menumbuhkan wawasan persatuan dan kesatuan.

Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk senantiasa menyambung silaturahim demi memperkuat ukhuwah Islamiah (sesama umat Islam), ukhuwah basyariah (kemanusiaan), dan ukhuwah wathaniah (semangat cinta tanah air).


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/06/m9x914-enam-keutamaan-silaturahim

Rezeki yang Tertahan

Rabu, 05 September 2012, 13:37 WIB

Oleh: Abu Albi Bambang Wijonarso

Allah SWT menciptakan semua makhluk telah sempurna dengan pembagian rezekinya. Tidak ada satu pun yang akan ditelantarkan-Nya, termasuk kita. Yang dibutuhkan adalah mau atau tidak kita mencarinya. Yang lebih tinggi lagi, benar atau tidak cara mendapatkannya.

Rezeki di sini tentu bukan sekadar uang. Ilmu, kesehatan, ketenteraman jiwa, pasangan hidup, keturunan, nama baik, persaudaraan, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya termasuk pula rezeki, bahkan lebih tinggi nilainya dibanding uang dan lainnya.

Walau demikian, ada banyak orang yang dipusingkan oleh masalah pembagian rezeki ini. Dia merasa rezekinya sedang seret, padahal sudah berusaha maksimal mencarinya.

Ada banyak penyebab, mungkin cara mencarinya yang kurang profesional, kurang serius mengusahakannya, atau ada kondisi yang menyebabkan Allah Azza wa Jalla menahan rezeki yang bersangkutan. Setidaknya ada lima hal yang menghalangi aliran rezeki.

Pertama, lepasnya ketawakalan dari hati. Kita menggantungkan diri kepada selain Allah. Kita berusaha, namun usaha yang kita lakukan tidak dikaitkan dengan-Nya. Padahal, Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya. “Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. Ath-Thalaq [63]: 3).

Kedua, karena dosa. Dosa adalah penghalang datangnya rezeki. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seseorang terjauh dari rezeki disebabkan oleh perbuatan dosanya.” (HR Ahmad).

Ketiga, bermaksiat saat mencari nafkah. Apakah pekerjaan kita dihalalkan agama? Kecurangan dalam mencari nafkah, entah itu korupsi, manipulasi, akan membuat rezeki kita tidak berkah.

Mungkin uang kita dapat, namun berkah dari uang tersebut telah hilang. Apa ciri rezeki yang tidak berkah? Mudah menguap untuk hal sia-sia dan tidak membawa ketenangan, sulit dipakai untuk taat kepada Allah serta membawa penyakit. Bila kita telanjur melakukannya, segera bertobat dan kembalikan harta tersebut kepada yang berhak menerimanya.

Keempat, pekerjaan yang melalaikan kita dari mengingat Allah. Banyak aktivitas kita yang membuat hubungan kita dengan Allah makin menjauh. Kita disibukkan oleh kerja, sehingga lupa shalat, lupa membaca Alquran, lupa mendidik keluarga, lupa menuntut ilmu agama, lupa menjalankan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Akibatnya, pekerjaan kita tidak berkah.

Jika sudah demikian, jangan heran bila rezeki kita akan tersumbat. Idealnya, semua pekerjaan harus membuat kita semakin dekat pada Allah. Sibuk boleh, namun jangan sampai hak-hak Allah kita abaikan. Saudaraku, bencana sesungguhnya bukanlah bencana alam yang menimpa orang lain. Bencana sesungguhnya adalah saat kita semakin jauh dari Allah.

Kelima, enggan bersedekah. Siapa pun yang pelit, niscaya hidupnya akan sempit, rezekinya mampet. Sebaliknya, sedekah adalah penolak bala, penyubur kebaikan, serta pelipat ganda rezeki. Sedekah bagaikan sebutir benih menumbuhkan tujuh butir, yang pada tiap-tiap butir itu terurai seratus biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus kali lipat. (QS al- Baqarah [2]: 261). Wallahu a’lam.


Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/05/m9v6eu-rezeki-yang-tertahan