Makna Shalat dan Ibadah Sosial

Jumat, 29 Juni 2012, 04:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

Suatu ketika saya berdiskusi dengan salah seorang teman sekantor ikhwal shalat dan ibadah sosial. Teman saya itu, bertanya, ''Bagaimana aspek sosial dari ibadah shalat?''

Dia merasa bahwa ritual shalat hanya bersifat vertikal, antara manusia dengan Allah SWT (Hamblumminallah).

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mengkajinya melalui Alquran. Dalam sebuah ayatnya, Allah SWT berfiman: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku” (Al Baqarah : 43).

Ayat itu menyiratkan bahwa shalat dan ibadah sosial (zakat) merupakan ‘satu paket’ ibadah yang harus dilakukan secara bersamaan. Karena shalat merupakan wakil dari jalur hubungan dengan Allah, sedangkan zakat adalah wakil dari jalan hubungan dengan sesama manusia.

Allah SWT berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ria, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-Ma’uun, 107 : 1-7)

Dari ayat ini kita bisa memahami bahwa orang yang shalat itu dapat dimasukkan ke dalam neraka bilamana shalat mereka tidak membuatnya menjadi pembela kepada fakir miskin dan anak yatim.

Sebagian ulama besar berpendapat, jika shalat adalah tiang agama, maka ibadah sosial (zakat) merupakan mercusuar agama. Atau dengan kata lain shalat merupakan ibadah jasmaniah yang paling mulia. Sedangkan ibadah sosial dipandang sebagai ibadah hubungan kemasyarakatan yang paling mulia.

Dengan demikian, shalat dapat dipahami sebagai sarana melatih diri untuk menjaga hak-hak sosial. Menjaga hak-hak orang lain adalah diantara bukti nyata keadilan. Untuk menjaga hak-hak orang lain.

Shalat yang juga merupakan ibadah terbaik, mempunyai peran luar biasa dalam mengokohkan kekuatan pengontrol pada diri manusia. Untuk itu, shalat sangat berpengaruh pada perluasan keadilan individu dan sosial.

Umat Islam juga meyakini bahwa sholat dan ibadah sosial merupakan pintu masuk surga Allah SWT. Dalam sebuah hadis disebutkan, orang yang mendirikan shalat dan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga.

“Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.” (HR Bukhari).

Hadis di atas juga dapat kita renungkan dari dampak shalat terhadap ibadah sosial. Seseorang saat mengerjakan sholat, harus menjaga syarat-syarat yang di antaranya adalah kehalalan tempat dan pakaian yang digunakannnya. Serta tidak pernah melupakan aspek ibadah sosial. Dengan demikian, shalat pada dasarnya mengajarkan kepada kita untuk terus meningkatkan keimanan secara sosial.


Redaktur: Heri Ruslan


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/28/m6c6f8-makna-shalat-dan-ibadah-sosial

Rasul Cemaskan Syirik Kecil

Jumat, 29 Juni 2012, 04:00 WIB

Oleh: Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz

REPUBLIKA.CO.ID, Saat beribadah di Tanah Suci, jangnkankan prbuatan, segala bentuk ungkapan atau ucapan dalam bentuk kemusyrikan harus dihindari. Seorang yang beribadah pun harus meminta orang lain untuk menjauh dari bentuk-bentuk kemusyrikan itu.

Nabi SAW bersabda, "Orang yang mengambil sumpah dengan nama seseorang dan bukan Allah adalah kufr atau musyrik." (HR.Ahmad, Abu Dawud, dan At- Tirmidzi). Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan Umar RA, Nabi SAW bersabda, "Orang yang mengambil sumpah harus melakukannya dengan nama Allah, dan jika tidak, diamlah."

Beliau menambahkan, "Orang yang mengambil sumpah atas nama kebenaran bukanlah dari golongan kami." (HR.Abu Dawud). Kemudian Nabi SAW bersabda, Yang aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil. Ketika Nabi SAW ditanya perihal syirik kecil, Nabi SAW menjawab, “Kemunafikan”.

Nabi SAW juga bersabda, "Jangan katakan apa yang diinginkan Allah dan si fulan. Tetapi kamu harus mengatakan apa yang Allah inginkan dan kemudian apa yang si fulan inginkan.

Semua hadis dengan jelas menunjukkan bahwa Nabi SAW menegakkan tauhid, dan menjauhkan umat dari syirik besar maupun kecil. Nabi SAW terikat untuk menegakkan keimanan umat, dan melindungi umat dari azab dan hu­kuman Ilahi.

Nabi SAW menyampaikan pesan Allah, menjadikan umat takut terhadap Allah, dan ia memberikan contoh kepada hamba-hamba Allah. S.

Ketentuan itu mengikat haji yang terpelajar dan berilmu untuk menyampaikan syariat kepada semua Muslim, dan menjauhkan mereka dari syirik besar dan kecil, dan segala sesuatu yang dilarang Allah. Mereka harus membuat persoalan ini mudah dipahami dengan cara yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga dapat mem­bawa manusia dari kegelapan kepada cahaya.

Rasul menekankan harus menjalankan tugas pengajaran menyebarkan keimanan kepada yang lainnya. Allah berfirman,"Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji orang yang diberi Al-Kitab, “Hendaklah kamu menerangkannya kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya." (QS. Ali 'Imran; 187).

Ayat suci di atas memperingatkan ulama dan umat agar mereka tidak mengikuti perbuatan melawan hukum orang-orang Ahli Kitab, dengan menyembunyikan kebenaran dengan tujuan memperoleh keuntungan duniawi ketimbang berupaya memperoleh keuntungan di Hari Kemudian.

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Reporter: Hannan Putra


Sumber :'
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/28/m6bsj4-rasul-cemaskan-syirik-kecil

Anak Ikut Umrah, Ini Dia Manfaatnya

Jumat, 29 Juni 2012, 08:07 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Mengajarkan kebaikan kepada anak dapat dilakukan melalui berbagai cara. Berumrah untuk mengisi liburan dapat menjadi kesempatan bagi orang tua untuk menanamkan nilai pendidikan agama bagi anak. Kualitas hubungan antaranggota keluarga pun dapat ditingkatkan selama menjalankan ibadah di Tanah Suci.

Pimpinan KBIH Khazanah Mandiri, Depok, Jawa Barat, Ustadz Qasim Shaleh Lc MA mengungkapkan, selama melaksanakan umrah bersama dengan anak-anak, orang tua dapat memperkenalkan sekaligus menanamkan nilai religius sejak dini kepada anak. ''Banyak hikmah yang dapat diperoleh dari mengajak anak-anak kita berumrah. Dari sana anak akan belajar nilai kebersahajaan dan menanggalkan segala kesombongan dunia melalui kewajiban memakai pakaian ihram,'' tutur Qasim.

Menurut Qasim, melaksanakan perjalanan umrah merupakan perjalanan spiritual yang berujung kepada usaha manusia untuk mencapai kesucian. Ketika melaksanakan umrah, anak akan dapat merasakan pengalaman untuk mencapai kesucian diri. "Keindahan Tanah Suci juga selalu mengundang orang yang pernah mengunjunginya senantiasa ingin kembali. Memberikan pengalaman berumrah kepada anak juga dapat membuat anak senang beribadah dan selalu rindu kepada Tanah Suci hingga suatu hari nanti ingin kembali,'' ujar Qasim yang alumnus Institute of Zamalik, Mesir.

Sesuai dengan hadis Rasul, lanjutnya, orang tua diperintahkan untuk mengajarkan nilai agama dan nilai kehidupan yang baik. Sebab, mereka diciptakan untuk hidup di zamannya sendiri, bukan zaman orangtuanya. "Menanamkan nilai agama sedini mungkin akan dapat menciptakan generasi muda yang jauh lebih baik untuk masa depan yang tentu jutga akan semakin baik," tutur Qosim.

Senada, penceramah dan pendamping haji Ustadz Anshori Abdul Djabbar mengatakan, terdapat tiga cara yang dapat dilakukan orangtua untuk mengisi liburan anak-anaknya. Liburan dapat dijadikan kesempatan untuk menambah pengetahuan agama, liburan sebagai momentum wisata keluarga, dan liburan sebagai kesempatan parenting atau mendidik anak. "Melalui kegiatan umrah, ketiga hal tersebut dapat tercapai," tuturnya.

Menurut Anshori yang juga Pimpinan Dangau Aulia pusat pelatihan motivasi diri dan pesantren Sabtu Ahad yang terletak di kawasan Sentul, Bogor, orangtua perlu melakukan upaya memperkenalkan konsep ibadah umrah kepada anak sejak usia dini agar ibadah yang dilakukan dapat optimal dilaksanakan dan anak mendapatkan tuntunan serta pondasi agama yang kuat sebagai bekal kehidupannya.

"Sejak jauh-jauh hari, orang tua dapat menceritakan tentang kebesaran Allah SWT, kisah-kisah perjalanan nabi dan Rasul, dan indahnya kota Makkah-Madinah kepada anak. Dengan begitu, anak bersemangat untuk berumrah ketika Allah memberikan rezeki berupa kesempatan untuk berumrah bersama keluarga," saran Anshori.

Sebagai orang tua, lanjutnya, kita diwajibkan untuk memberi nama yang baik, mendidik sebaik mungkin, memilihkan pasangan yang beriman, dan setiap kepala keluarga berkewajiban untuk meninggalkan keturunan yang lebih baik daripada dirinya. "Umrah merupakan sarana untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak dan menciptakan generasi yang lebih baik," tuturnya.

Redaktur: Endah Hapsari
Reporter: setyanavidita livikacansera


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/12/06/28/m6bjsx-anak-ikut-umrah-ini-dia-manfaatnya

Menjamu Para Tetamu

Sabtu, 23 Juni 2012, 06:19 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Yunahar Ilyas

Pagi itu cuaca sangat panas. Tenggorokan terasa terbakar kehausan. Apalagi naik bus kota yang tidak ada alat pengatur udaranya. Sambil menutup kepala dengan kain serban, saya bergegas menuju kantor. Begitu melangkah masuk, saya sudah merasakan kesejukan alat pendingin udara. Rasanya lega. Walaupun belum minum, rasa haus langsung berkurang.

Saya datang ke kantor itu untuk bertemu dengan Syekh bin Baz, ulama besar Arab Saudi yang sangat berpengaruh. Orangnya sangat sederhana, sering memakai gamis dari bahan katun, pakai sandal kulit khas Arab, kepalanya ditutupi serban merah kotak-kotak halus atau serban putih yang disebut khudrah. Buta sejak masa kecil karena cacar. Pernah menjadi Rektor Universitas Islam Madinah. Pada waktu berkunjung itu, Bin Baz menjabat kepala sebuah lembaga riset dan fatwa yang sangat berpengaruh di Arab Saudi.

Dari Riyadh, saya dapat informasi bahwa selama musim panas, beliau berkantor di Thaif, daerah dataran tinggi yang lebih sejuk udaranya. Tetapi, sampai di Thaif, ternyata Bin Baz sudah pindah kantor ke Makkah hingga musim haji selesai. Begitulah, pagi itu saya datang ke kantor beliau di kawasan ‘Aziziyah.

Ternyata banyak sekali tamu, hampir semua kursi di ruang tamu yang luas itu terisi penuh. Ada sekitar 30-an orang. Petugas memberi tahu, Bin Baz baru akan menerima tamu setelah shalat Zhuhur selesai. Saya harus menunggu lebih lama lagi, kalau setiap tamu dilayani lima menit saja, berarti kira-kira pukul 14.30, saya baru dapat giliran. Padahal, Zhuhur masih satu jam lagi. Saya menyempatkan membaca koran.

Setelah azan Zhuhur, ruang tunggu itu sudah berubah menjadi mushala, sajadah dibentangkan. Tamu-tamu dengan sigap mengambil air wudhu. Lebih kurang 15 menit setelah azan, Bin Baz keluar, langsung memerintahkan muazin untuk iqamah, lalu beliau memimpin shalat berjamaah.

Setelah shalat sunah ba’diyah, saya kaget tatkala melihat para petugas bergegas menghidangkan jamuan makan siang. Beberapa buah pinggan besar berisi nasi biryani dengan daging kambing diletakkan di ruangan tempat shalat didirikan tadi. Seluruh tamu dipersilakan menikmati makan siang yang menggoda itu. Alhamdulillah, rezeki tidak boleh ditolak.

Setelah jamuan makan selesai, saya kaget karena sebagian besar tamu-tamu tadi langsung pergi. Yang tinggal hanya beberapa orang, yakni mereka yang benar-benar ingin bertemu dengan Bin Baz. Dari tamu yang masih ada, saya jadi tahu bahwa selama berkantor di Makkah pada musim haji ini —lebih kurang dua bulan— setiap hari Bin Baz menyediakan makan siang untuk para tamu. Semua dibiayai dengan uang pribadinya. Rupanya tradisi baik itu sudah lama dilakukan Bin Baz, sehingga setiap hari ada saja yang datang untuk menikmati makan siang di kantor Bin Baz, sekalipun tidak ada urusan dengan beliau seperti tamu-tamu hari itu.

Menjamu para tetamu adalah tradisi Arab yang kemudian dilestarikan oleh Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tamu.” Jamuan adalah salah satu cara memuliakan tamu.


Redaktur: Heri Ruslan


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/23/m61ksz-menjamu-para-tetamu

Jangan Tunda, Bertaubatlah

Sabtu, 23 Juni 2012, 19:00 WIB

Simaklah Kalam Allah duhai sahabatku yang beriman kepada Allah

"Hai hamba-hamba yang telah melampaui batas dalam berbuat dosa, janganlah kalian putus asa mohon rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni semua dosa-dosamu, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang (QS 39:53).

Simak lagi Kalam Allah, "Hai manusia, jika dosa-dosamu telah mencapai setinggi langit, kemudian

engkau sangat menyesal atas dosa-dosamu, kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku dengan sungguh-sungguh, niscaya akan Ku ampuni seluruh dosa-dosamu selama engkau tidak mempersekutukan-Ku". (Hadist Qudsi, Turmudzi).


SubhanAllah rahmat Allah lebih besar dan tidak sebanding dengan dosa-dosa kita, Allah lebih mengutamakan rahmat-Nya dari murka-Nya, Allah terlalu sayang pada kita.

Jangan tunda lagi sahabatku segeralah bertaubat mumpung masih ada sisa umur !...

Redaktur: Slamet Riyanto


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/06/22/m60krj-jangan-tunda-bertaubatlah

Memilih Teman Setia

Kamis, 21 Juni 2012, 15:12 WIB

Oleh: Moch Syarif Hidayatullah

Hampir setiap saat selalu ada Abu Bakar di sisi Nabi Muhammad SAW setelah beliau mendeklarasikan diri sebagai utusan Ilahi. Di tengah-tengah masyarakat yang tak bersahabat dan antipati, Abu Bakar membuat Nabi tegar menghadapi tantangan dakwah yang silih berganti.

Gua Tsur adalah saksi bisu bagaimana ia meredam sedih dalam kepungan amuk kejahiliyahan orang-orang Quraisy yang mengejar Nabi (QS. 9: 40). Peristiwa Isra Mikraj juga menjadi bukti kesetiaan seseorang yang percaya sepenuhnya kualitas kejujuran temannya.

Bila Nabi memiliki Abu Bakar, Harun AS adalah teman perjuangan Nabi Musa AS. Dialah yang membantu Musa dalam mengembangkan dan menyebarkan agama Allah. Dengan kefasihan dan kecerdasan bahasa yang dimiliki, ia menutupi masalah artikulasi yang menjadi kendala Musa (QS. 28: 34).

Ia tahu bagaimana menghadapi Firaun dan Bani Israil yang sering membuat emosi Musa tak terkendali. Saat Musa harus mengikuti perintah bermunajat di Thur Sina, Harunlah yang menggantikan Musa untuk mengawasi dan mengendalikan Bani Israil agar tidak berbuat keonaran, kemunkaran, apalagi kemusyrikan. (QS. 20: 29).

Perjuangan memang butuh teman, yang mendukung tanpa batas, yang mengoreksi tanpa risih, dan yang memahami kegundahan tanpa membebani. Teman adalah seseorang yang senantiasa membantu tanpa berharap balas budi, yang berada di depan tanpa takut mati, yang juga siap memberikan waktu, tenaga, pikiran, harta, dan kesetiaan.

Sunnatullahnya, semua makhluk di muka bumi butuh teman. Pepatah Arab menyebut, teman terkadang lebih berguna daripada saudara kandung. Namun, tidak sembarang teman bisa dipercayai. Hanya teman yang bersedia ada di saat susah dan sedih yang patut dijadikan sandaran hati. Karena, saat jaya dan bahagia, teman baik tak bisa diuji. Teman yang hanya mau diajak tertawa bukanlah teman sejati. Saat air mata menetes, teman setia barulah terbukti.

Untuk melihat patokan kualitas teman, nasihat sastrawan Arab klasik, Tharfah bin Al-Abd, patut direnungi. “Jangan bertanya pada seseorang tentang dirinya. Tanyalah temannya tentang siapa dia. Seseorang selalu mengikuti apa yang dilakukan temannya.” Ini selaras dengan sabda Nabi. “Orang akan mengikuti kecenderungan dan sikap temannya. Oleh karenanya, perhatikan siapa temanmu.” (HR Tirmidzi).

Singkatnya, teman adalah cerminan diri. Para sufi menyebut, ruh kita itu tentara yang berbaris. Barisan yang kita pilih adalah identitas azali kita. Teman mana yang membuat kita nyaman, itu sejatinya diri kita. Karenanya, dalam Islam ditekankan pentingnya memilih teman. Jika salah pilih, tidak hanya jati diri yang hilang, tapi harga diri.

Tanpa disadari, surga dan neraka kita pun, ada andil siapa teman yang kita pilih. Nabi SAW berpesan, “Seseorang akan dikumpulkan dengan orang yang disukai,” (HR Bukhari). Menurut para ulama, pesan Nabi itu berlaku tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Redaktur: Chairul Akhmad


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/21/m5yk4y-memilih-teman-setia

Inilah Tips Agar Semangat Tahajjud Ala Ustaz Arifin Ilham

Minggu, 17 Juni 2012, 19:00 WIB

Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu

Agar kita bersemangat shalat tahajjud, inilah tipsnya:

1. Bertekad sungguh sungguh
2. Kenali rahasia, hikmah dan keutamaan tahajjud
3. Minta nasehat ulama yang istiqomah
4. Bersahabat dengan sahabat penikmat tahajjud
5. Bergabung dengan group Tahajjud Call
6. Sebagaimana Rasululllah menyegerakan tidur setelah isya
7. Saling mengingatkan keluarga dan sahabat untuk saling membangunkan
8. Berwudhu sebelum tidur
9. Berdoa disertai niat tahajjud
10. Hanya untuk berjaga-jaga dengam jam weaker
11. Datangilah Majlis yang guru dan jamaahnya mengamalkan tahajjud
12. Bayangkan besuk kita mati.

Demikian sahabatku, "Semoga Allah membimbing Arifin, kalian dan keluarga kita menjadi hamba-hamba-Nya penikmat tahajjud hingga akhir hayat... Aamiin".

Redaktur: Slamet Riyanto


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/06/15/m5n3j4-inilah-tips-agar-semangat-tahajjud-ala-ustaz-arifin-ilham

Inilah Doa yang tak Didengar

Minggu, 17 Juni 2012, 17:27 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Habib Nabiel al-Musawa

Ada satu doa Nabi Muhammad SAW yang amat indah. “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari hati yang tidak khusyuk, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari nafsu yang tidak pernah kenyang serta dari doa yang tidak lagi didengar.” ( Jami’us Shaghir, hadis sahih).

Doa ini singkat, padat, tetapi maknanya amatlah mendalam. Hadis ini mengupas tuntas empat pangkal masalah utama manusia. Masalah yang pertama dan utama adalah jika hatinya sudah tidak bisa lagi khusyuk sehingga tak ada lagi rasa takut kepada Allah SWT. Maka itu, amaliah ibadahnya menjadi rutinitas yang menjemukan dan kering tanpa kenikmatan ibadah.

Jika kondisi ini sudah menguasainya, ia akan dikenai penyakit berikutnya, yaitu ilmunya menjadi tidak lagi bermanfaat bagi akhiratnya. Semua cara akan dikerahkan untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, yakni dunia semata. Lalu, jika ia sudah dihinggapi penyakit kedua tersebut, jika dibiarkan, ia akan melangkah pada stadium ketiga, yaitu nafsu yang tidak akan bisa kenyang, tak pernah mengenal puas, apa pun akan diterabas demi memuas kan keinginan hawa nafsunya.

Dan, jika ia telah mengalami tingkat ini, ia akan terkena stadium terakhir yang mematikan, yakni doanya tak lagi didengar oleh Allah. Jika ini yang terjadi, mau tinggal di mana lagi kita ini. Bumi mana yang akan kita injak, langit mana tempat kita berteduh, jika doa kita sudah tidak lagi didengar oleh Allah SWT?

Manusia semacam ini persis seperti yang digambarkan oleh Allah SWT: “Atau, seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-menindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS an-Nuur: 40).

Melalui momen peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, saya menasihati diri saya sendiri dan kita sekalian untuk selalu merasa takut kepada Allah SWT dari kemaksiatan. Jika beribadah, lakukanlah dengan khusyuk, teteskan air mata saat menghadap Allah, karena dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita akan kembali.

Kita berharap, ilmu yang dimiliki dapat menjadi cahaya yang selalu menuntun kita pada kebenaran, menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran, agar doa kita layak di dengar dan dikabulkan Allah SWT. “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.

Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakanakan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat-(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nuur:35). Wallahu a’lam.

Redaktur: Heri Ruslan


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/17/m5rbp2-inilah-doa-yang-tak-didengar

Mari Beristiqamah

Minggu, 17 Juni 2012, 07:16 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imam Nawawi

Zaman boleh berganti, waktu boleh berlalu. Tetapi, keimanan harus tetap dalam hati hingga tiba waktunya pulang menghadap Ilahi. Tekanan boleh muncul dari kiri kanan, paksaan boleh datang menantang, tapi keimanan harus tetap dikedepankan.

Iman tidak boleh bengkok, rapuh, apalagi lenyap ditelan zaman. Iman harus tetap kuat, kokoh, dan eksis dalam menghadapi ujian, cobaan, tantangan, bahkan ancaman dan serangan. Dalam Islam, iman adalah perkara asasi. Ia lebih penting dari segala urusan penting manusia. Iman menjadi penentu diterima tidaknya segala kebaikan setiap insan. Tanpa iman segala amal baik tidak bernilai di sisi Allah. Dengan iman, sesederhana apa pun, segala amal baik akan mendapat balasan yang lebih baik (QS [16]: 97).

Dengan demikian tidak ada urusan yang paling mendasar, penting, dan utama bagi setiap Muslim selain menjaga kualitas iman dan senantiasa meningkatkannya.

Dari Abu Amr atau Abu Amrah Sufyan bin Abdullah, ia berkata, “Saya berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, tolong ajari saya suatu ucapan yang mengandung ajaran Islam dan saya tidak perlu lagi bertanya kepada siapa pun selain Anda’.” Rasulullah menjawab, “Katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian bersikap istiqamah.” (HR Muslim).

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menjabarkan bahwa istiqamah adalah sikap konsisten dalam taat kepada Allah. Allah berfirman, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu .…” (QS [11]: 112).

Hal inilah yang mendorong seorang Umar bin Khathab tetap dalam kesederhanaan sekalipun telah mengemban amanah sebagai seorang khalifah. Begitu pula halnya dengan Ali bin Abi Thalib yang tetap bahagia meskipun bekerja sebagai pengangkut air pada seorang majikan yang beragama Yahudi. Termasuk Sayyidah Fathimah, putri kesayangan Rasulullah SAW. Sebagai putri nabi, Fathimah tetap memilih hidup dengan usaha sendiri. Setiap hari Fathimah bekerja menggiling gandum hingga melepuh telapak tangannya.

Demikian pula halnya dengan Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda yang teguh memegang iman dalam situasi zaman yang penuh kejahiliyahan. Dalam situasi seperti itu, pemuda Ashabul Kahfi itu memohon keselamatan dan keteguhan iman (QS [18]: 10, 13, 14).

Semua itu dilakukan bukan karena mereka antidunia, tetapi lebih karena ingin kedekatan hatinya kepada Allah SWT tidak terganggu (istiqamah). Dunia cukuplah bisa menegakkan tulang rusuk guna beribadah kepada-Nya, demikian salah satu pesan nabi.

Harta, tahta, dan wanita kadang membuat manusia tidak istiqamah dalam iman, seperti Qarun dan Tsa’labah. Demi dunia, keduanya rela melepas imannya. Padahal, balasan bagi Muslim yang istiqamah adalah surga.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS [46]: 13, 14).

Redaktur: Heri Ruslan


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/17/m5qjes-mari-beristiqamah

Memaknai Isra Mi'raj

Sabtu, 16 Juni 2012, 05:58 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mohammad Sofwan

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS al-Isra’ [17]: 1).

Mahasuci Allah adalah sebuah kalimat tauhid. Allah Mahasuci dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Suci dari meninggalkan hamba yang dikasihi-Nya berada dalam kesedihan dan kesendirian ketika ditinggal oleh orang-orang yang dicintai dan menopang dakwahnya. Suci dari tidak kuasa mengadakan kejadian luar biasa, yang orang-orang berakal pun tidak bisa menerimanya.

Peristiwa Isra dan Mi’raj yang berlangsung lailan (pada sepotong, bukan sepanjang malam) adalah salah satu hal yang luar biasa. Luar biasa, sehingga kita pun perlu mengucapkan subhanallah seperti ayat di atas agar tidak terlena dengan keluar-biasaannya (kemahabesaran) dan kekuasaan Allah SWT.

Mengalami peristiwa ini adalah suatu kemuliaan yang besar. Dan, kemuliaan hanya diberikan kepada orang yang mulia. Beliaulah Rasulullah SAW. Karena itu, saat yang paling mulia bagi Rasulullah SAW adalah ketika sedang menjalani Isra dan Mi’raj.

Bukan ketika beliau berhijrah ke Madinah atau saat beliau menaklukkan Kota Mekkah. Karena, saat Isra dan Mi’raj, sekali-kalinya Allah SWT berfirman kepada beliau tanpa perantara Malaikat Jibril RA.

Namun, yang membuat kita bertanya-tanya, mengapa ketika berada dalam kondisi yang paling mulia ini, beliau disebut dengan hamba-Nya? Seperti tertulis nyata dalam surah al-Isra [17]: 1. Mengapa beliau tidak disebut dengan rasul-Nya, nabi-Nya, kekasih-Nya, atau Muhammad saja?

Kesimpulan para ulama, ayat ini menunjukkan bahwa kondisi paling mulia yang dicapai manusia adalah ketika dia bisa merealisasikan dirinya sebagai hamba Allah SWT. Saat itulah Allah SWT rida kepadanya.

Lalu, bagaimana seseorang bisa menjadi hamba Allah SWT yang sebenarnya? Menjadi hamba Allah SWT adalah meyakini bahwa Allah adalah penciptanya yang berkuasa atas segala sesuatu. Sedangkan dia adalah hamba yang lemah, tiada daya dan upaya, menerima segala keputusan Allah SWT dengan penuh kerelaan.

Ketika memperjalankan hamba-Nya dengan peristiwa Isra, Allah SWT membuka kesempatan yang sama kepada seluruh manusia untuk bisa mencapai derajat kemuliaan. Karena, seluruh manusia sama-sama bisa menjadi hamba Allah SWT.

Berbeda seandainya yang diperjalankan adalah seorang nabi, tidak semua orang bisa menjadi nabi; atau seorang kaya, tidak semua orang bisa menjadi orang kaya; atau ulama, tidak semua orang bisa menjadi ulama; atau keturunan nabi, tidak semua orang lahir sebagai keturunan nabi.

Demikianlah karakteristik Islam, yang tidak menjadikan kemuliaan monopoli bagi golongan tertentu. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan nasabnya, karena Allah SWT tidak menilainya berdasar nasab.

Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan ilmu dan hartanya, karena ilmu dan harta adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan. Hendaknya bersyukur ketika semua itu membuatnya menjadi hamba Allah SWT yang sebenarnya.

Redaktur: Heri Ruslan


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/16/m5ol4t-memaknai-isra-miraj

Keutamaan Shalat Tahajud

Jumat, 15 Juni 2012, 01:31 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

Hiruk pikuk kejuaraan sepakbola Euro 2012 sudah dimulai. Sepekan terakhir, hampir setiap malam jutaan rakyat Indonesia menghabiskan waktu malamnya untuk menonton pertandingan bergengsi dari tim 16 negara-negara Eropa.

Maklum, pada perhelatan bergengsi ini, akan dipertontonkan pertandingan dengan bintang-bintang dunia, gaya permainan dunia dan yang utama sistem pertandingan fairplay. Permainan cantik dan kesolidan tim akan menjadi tontotan menarik bagi penggemar sepakbola.

Terlepas dari kenikmatan menonton pertandingan sepakbola, akan sangat disayangkan jika waktu malam hanya kita habiskan dengan menonton pertandingan sepakbola.

Sebagai umat Islam, sepertinya kita menyadari bahwa orang-orang yang menghabiskan waktu tanpa diiringi dengan ibadah, maka bukan termasuk golongan Rasulullah saw, dikarenakan telah melalaikan kenikmatan yang telah diberikan Allah swt. Sebagimana hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan Imam Bukhari, yang berbunyi:
“Dua kenikmatan yang sering dilalaikan oleh sebagian besar manusia yaitu nikmat sehat dan nikmat waktu luang”. (HR. Bukhari)

Hadis itu menyiratkan, sebagai umat Rasulullah, sebaiknya kita tidak melalaikan kenikmatan waktu luang. Di tengah malam, di sela-sela pertandingan sepakbola Euro 2012, ada baiknya kita turut mengisi dengan salat malam.

Membiasakan shalat malam itu berarti mengajak diri kita masuk ke dalam golongan orang-orang shaleh, yang hatinya selalu berdampingan denganAllah swt. Sebagaimana Allah swt berfirman di dalam Alquran :

“Pada malam hari, hendaklah engkau shalat Tahajud sebagai tambahan bagi engkau. Mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji.” (QS : Al-Isro’ : 79).

Sebelum diturunkannya kewajiban shalat lima waktu, shalat malam seperti shalat Tahajud merupakan shalat yang diwajibkan kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu, saat ini umat Islam selalu dianjurkan untuk mendirikan shalat malam seperti shalat Tahajud.

Sahabat Abdullah bin Salam mengatakan, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: ”Hai sekalian manusia, sebarluaskanlah salam dan berikanlah makanan serta sholat malamlah diwaktu manusia sedang tidur, supaya kamu masuk Sorga dengan selamat.” (HR Tirmidzi).

Dalam hadis yang diriwayat Imam Muslim, shalat di waktu malam merupakan shalat yang paling utama sesudah shalat fardu.

“Seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu ialah shalat sunnat di waktu malam” (HR. Muslim).

Bagi umat Islam, waktu malam bukan sekadar waktu tanpa penerangan matahari. Malam bagi Islam adalah waktu yang sangat berarti dan waktu yang diutamakan oleh Allah SWT.

Sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda: “Pada tiap malam Tuhan kami Tabaraka wa Ta’ala turun (ke langit dunia) ketika tinggal sepertiga malam yang akhir. Ia berfirman : “Barang siapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barang siapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaanya. Dan barang siapa meminta ampunan kepada-Ku, Aku ampuni dia.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pada sebuah hadis lain juga disebutkan, saat saat ijabah (dikabulkannya doa) itu adalah 1/3 malam yang terakhir. ”Abu Muslim bertanya kepada sahabat Abu Dzar : “Diwaktu manakah yang lebih utama kita mengerjakan sholat malam?”

Sahabat Abu Dzar menjawab : “Aku telah bertanya kepada Rosulullah SAW sebagaimana engkau tanyakan kepadaku ini.” Rosulullah SAW bersabda :?“Perut malam yang masih tinggal adalah 1/3 yang akhir. Sayangnya sedikit sekali orang yang melaksanakannya,” (HR Ahmad).

Mengakhiri tulisan ini, sungguh menyayangkan ketika waktu malam hanya kita habiskan untuk melihat kenikmatan dunia.

Ada baiknya turut kita isi dengan shalat malam sebagai bekal di dunia dan akhirat nanti, serta sebagai persiapan menghadapi bulan suci Ramadhan yang sebentar lagi akan tiba.

Redaktur: Heri Ruslan


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/15/m5me40-keutamaan-shalat-tahajud

Membangun Keluarga Islami, Beginilah Caranya

Kamis, 14 Juni 2012, 13:08 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Semoga menjadi keluarga sakinah. Doa itu senantiasa diberikan untuk pasangan yang baru menikah. Tentu saja, tiap pasangan suami istri mengidamkan keluarga sakinah untuk masa depannya. Namun, boleh dibilang tak mudah mewujudkan itu.

Psikolog Yayasan Kita dan Buah Hati, Elly Risman, mengungkapkan, untuk membangun keluarga yang Islami, komitmen pertamanya adalah membangun keluarga dengan niat hanya beribadah kepada Allah.

Sehingga segala sesuatu yang dilakukan dalam keluarga tersebut niatnya ibadah dan untuk kebaikan. Misalnya, suami yang penghasilannya biasa secukupnya, tiba-tiba membawa uang dalam jumlah banyak, maka istri tidak boleh diam saja, dia harus bertanya dari mana uang tambahan tersebut, halal atau tidak?” ujar Elly.

Ia mengingatkan agar para ibu untuk tak langsung membelanjakan uang yang diperoleh suaminya tanpa tahu asal-usulnya. Menurut Elly, hal itu perlu dilakukan agar tidak ada makanan haram yang masuk ke dalam tubuh keluarganya. Sebab, kata dia, keluarga Islami selalu menjaga anggota keluarganya dari api neraka.

Rasulullah SAW, papar Elly, sudah banyak memberikan contoh dalam membangun keluarga Islami. Nabi SAW, lanjut dia, selalu membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahkan, Rasulullah pernah bersabda, Sebaik-baiknya laki-laki adalah laki-laki yang paling baik terhadap keluarganya.”

Sayangnya, kata Elly, pada era modern ini banyak laki-laki yang lebih baik terhadap kantornya daripada kepada keluarganya. Hal itu, ungkap dia, bisa terlihat dari banyaknya ayah yang lebih mementingkan rapat di kantornya daripada mendengarkan curhat anak-anaknya.

Bahkan, ketika si ayah telat rapat, anak-anak sering kena marah, kena bentak, bahkan kena cubit. Mereka berpikir bahwa materi adalah segalanya. Padahal, materi saja tidak cukup bagi anak-anak. Mereka membutuhkan perhatian dan kasih sayang,” papar Elly.

Untuk membangun keluarga Islami, ujar Elly, memang banyak tantangannya. Salah satunya, kata dia, keinginan untuk hidup mewah seperti sering makan-makan di mal untuk menunjukkan prestise. Saat ini, lanjut dia, banyak orang yang lebih mementingkan kehidupan materialisme.

Akibatnya, banyak orang tua yang tidak taat kepada ajaran agama, malah orang tua lebih taat kepada kantornya. Guna mengatasi berbagai tantangan tersebut, Elly mengajak para orang tua serta guru untuk menyadari bahwa pendidikan agama itu penting.

Anak-anak jangan hanya dijejali dengan sains melulu, tetapi pengetahuan agamanya kurang. Sebab, hidup itu tidak hanya di dunia. Jadi, ilmu agama itu sangat penting, baik sebagai petunjuk hidup di dunia maupun sebagai bekal di akhirat nanti.”


Redaktur: Endah Hapsari
Reporter: dyah ratna meta novia


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/12/06/13/m5k1qj-membangun-keluarga-islami-beginilah-caranya

Shalatkan Kehidupanmu

Kamis, 14 Juni 2012, 13:36 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Malikul Mahfudh Rustamaji

Banyak di antara kita yang mengaku taat beragama, tetapi masih saja berlaku tidak baik kepada sesama. Di antara kita ada orang-orang yang korupsi, menggelapkan pajak, menzalimi rakyat, tidak menjalankan amanah, dan lainnya. Padahal, mereka juga shalat, puasa, bahkan berhaji. Tetapi, masih saja shalatnya tidak bisa mencegah sifat buruk, keji, dan kemungkaran. (QS al Ankabut [29]:45).

Siapakah yang salah? Tuhan tidak akan pernah salah. Kitalah yang salah. Kita hanya bertakbir, tahmid, membaca fatihah, dan salam dengan lisan saja. Kita hanya mengangkat tangan, rukuk, sujud, dan menoleh kanan kiri hanya saat berada di depan-Nya saja. Kita merasa dilihat dan dekat dengan-Nya hanya saat shalat.

Kita tahu shalat itu dilakukan dengan niat hanya karena Allah, tetapi kita lupa atau melupakan bahwa hidup ini berawal dan bermuara kepada-Nya. Semua akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya.

Kita tahu shalat itu diawali dengan takbir (mengagungkan Allah) dan diakhiri dengan salam ke kiri dan kanan. Tetapi, kita lupa atau melupakan bahwa seharusnya mengawali hari dengan pengakuan bahwa semua ini milik Allah, kita tidak punya hak untuk memakainya secara berlebihan.

Kita tidak punya hak untuk memakai yang bukan hak kita. Kita juga lupa mengakhiri hari ini dengan memberikan kedamaian di sekitar kita. Kita tahu saat shalat kita serasa berada di dekat-Nya. Tetapi, saat di luar shalat kita merasa jauh dari-Nya. Sehingga, kita masih saja menzalimi orang lain, memakai yang bukan hak kita, mengambil yang bukan milik kita, atau dosa lainnya. Padahal, Dia sangat dekat, lebih dekat dari urat leher kita.

Kehidupan ini, dengan berbagai seluk beluknya, berawal dan bermuara kepada Allah. Sebelum berangkat kerja kita shalat Subuh. Sesampainya di tempat kerja, melakukan shalat Dhuha. Saat siang kita shalat Zhuhur, dan sebelum pulang, kita mendirikan shalat Ashar.

Lalu, tiba di rumah melakukan shalat Maghrib dan selanjutnya sebelum menikmati kebersamaan dengan keluarga dan istirahat malam, mendirikan shalat Isya. Di akhir malam pun bangun bermunajat kepada-Nya.

Tetapi, shalat bukan hanya sebatas dimensi ibadah. Shalat merupakan manifestasi dari puncak kehidupan kita. Shalat kita harus teraplikasi dan integral dalam kehidupan kita sehari-hari. Berbahagialah orang-orang yang telah menshalatkan kehidupannya. Mereka khusyuk dalam shalat, tenang, tekun, dan patuh dalam bekerja.

Selalu merasa dekat dan diperhatikan oleh Allah, baik saat shalat maupun saat bekerja. Tidak melakukan perbuatan yang sia-sia, apalagi yang merugikan atau menzalimi orang lain. Mengeluarkan zakat dan berbagi kepada sesama. Menyayangi keluarga dengan sepenuh hati. Menjaga diri dari maksiat. Tidak melampui batas. Menunaikan amanah yang dibebankan kepadanya.

Di akhir harinya pun, mereka bersyukur kepada-Nya atas segala karunia-Nya dengan selalu menjaga shalatnya. Merekalah yang mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Inilah yang dimaksud menshalatkan kehidupan kita. (Lihat QS al-Mukminun [23]:1-11).


Redaktur: Heri Ruslan


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/14/m5lh0v-shalatkan-kehidupanmu

Mari Bertobat

Selasa, 12 Juni 2012, 14:00 WIB

Assalaamu alaikum warahmatullahi wabarkatuh

Aku tidak akan pernah bosan mengajak diriku dan kalian semua sahabat mukmin pengunjung Republika Online untuk terus perbanyak doa mohon ampunan kepada Allah.

Sahabatku baca doa taubat dengan penghayatan lalu aminkan, "Ya Allah pujian untuk Mu seluas langit dan bumi, hanya Engkau terpuji Ya Allah, hamba berterimakasih kepada-Mu yang telah memberi kesempatan hamba bertaubat, ya Allah sampaikan sholawat salam untuk Rasul-Mu yang mulia, keluarga, dan para sahabat yang menyertainya.

Ya Rabbana kami telah menzholimi diri kami dengan banyak berbuat maksiat, kalau Engkau tidak ampuni dan rahmati kami, niscaya kami termasuk mahluk-Mu yang celaka, Ya Allah tidak ada sesuatupun tersembunyi dimatamu, alangkah malunya hamba, alangkah hinanya hamba, alangkah kotornya hamba, rasanya tidak pantas menyebut nama-Mu yang Suci lagi Mulia, sementara hamba ini penuh dengan lumuran dosa, tetapi Engkau dengan rahmat-Mu masih memberi kesempatan hamba untuk bertaubat.

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim Maha Pengasih Maha Penyayang Maha Menerima Taubat, terimalah taubat hamba, ampunilah seluruh dosa hamba, maafkan seluruh kesalahan hamba, hijrahkan hamba menjadi hamba-Mu yang sungguh-sungguh takut kepada-Mu dan takut dahsyatnya hari pembalasan... sungguh-sungguh taat kepada-Mu... sungguh-sungguh memperbaiki diri... sungguh-sungguh tidak maksiat lagi...

Ya Allah, hamba ingin bahagia selama-lamanya di akhirat...ya Allah, kabulkan doa hamba... Aamiin.

Redaktur: Slamet Riyanto



Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/06/12/m5af7e-mari-bertobat

Inilah Tiga Tanda Kematian

Selasa, 12 Juni 2012, 20:14 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Nur Suharno

Dikisahkan bahwa malaikat maut (Izrail) bersahabat dengan Nabi Ya’kub AS. Suatu ketika Nabi Ya’kub berkata kepada malaikat maut. Aku menginginkan sesuatu yang harus kamu penuhi sebagai tanda persaudaraan kita.

Apakah itu? tanya malaikat maut. Jika ajalku telah dekat, beri tahu aku. Malaikat maut berkata, Baik aku akan memenuhi permintaanmu, aku tidak hanya akan mengirim satu utusanku, namun aku akan mengirim dua atau tiga utusanku. Setelah mereka bersepakat, mereka kemudian berpisah.

Setelah beberapa lama, malaikat maut kembali menemui Nabi Ya’kub. Kemudian, Nabi Ya’kub bertanya, Wahai sahabatku, apakah engkau datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?

Aku datang untuk mencabut nyawamu. Jawab malaikat maut. Lalu, mana ketiga utusanmu? tanya Nabi Ya’kub. Sudah kukirim. Jawab malaikat, Putihnya rambutmu setelah hitamnya, lemahnya tubuhmu setelah kekarnya, dan bungkuknya badanmu setelah tegapnya. Wahai Ya’kub, itulah utusanku untuk setiap bani Adam.

Kisah tersebut di atas mengingatkan tentang tiga tanda kematian yang akan selalu menemui kita, yaitu memutihnya rambut; melemahnya fisik, dan bungkuknya badan. Jika ketiga atau salah satunya sudah ada pada diri kita, itu berarti malaikat maut telah mengirimkan utusannya. Karena itu, setiap Muslim hendaknya senantiasa mempersiapkan diri untuk menghadapi utusan tersebut.

Kematian adalah kepastian yang akan dialami oleh setiap manusia sebagaimana yang telah ditegaskan dalam firman Allah SWT, Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (QS Ali Imran [3]: 185).

Karena itu, kita berharap agar saat menghadapi kematian dalam keadaan tunduk dan patuh kepada-Nya. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran [3]: 102).

Tidaklah terlalu penting kita akan mati, tapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu. Rasulullah SAW mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal saleh. Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan. (HR Tirmidzi).
Bekal adalah suatu persiapan, tanpa persiapan tentu akan kesulitan dalam mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Oleh karena itu, Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Redaktur: Heri Ruslan



Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/12/m5ia3z-inilah-tiga-tanda-kematian

Cinta Dunia

Senin, 11 Juni 2012, 08:26 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Oni Sahroni MA

Cinta dunia pada umumnya bermakna negatif. Cinta dunia bermakna haus jabatan, ambisi dengan kekayaan dan sejenisnya.

Di sisi lain, dunia telah menemani keseharian setiap orang. Fasilitas seperti rumah, makanan, kendaraan, praktis telah menjadi pendamping hidupnya. Hari-harinya untuk mengais rezeki; untuk mendapatkan sarana dan fasilitas hidupnya.

Kesan paradoks di atas menyisakan pertanyaan mendasar, bolehkah mencari dan mengumpulkan dunia? bolehkah mencintai dunia?.

Jika merujuk kepada al-Qur’an, maka akan ditemukan banyak nash-nash al-Qur’an yang menjadi tuntunan dalam masalah ini. Di antaranya, firman Allah Swt. yang artinya : “dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S ali ‘Imran ; 14).

Ayat di atas menegaskan bahwa mencintai dunia seperti wanita, anak, harta dan sejenisnya adalah fitrah setiap orang. Maka, Islam tidak melarang mereka untuk mencari dan mengumpulkan dunia karena dunia adalah fitrah manusia, oleh karena itu wajar kalau senang memilikinya. Bahkan Islam menganggap mal (harta) adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia (dharuriyatul khamsah).

Dalam ayat lain, Allah Swt. menegaskan hal yang sama, bahwa dunia dengan segala isinya telah di sediakan oleh Allah swt untuk dimanfaatkan dan dimakmurkan oleh manusia. Sebagaimana firman Allah Swt, yang artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”(Q.S al-Baqarah ; 29)

Tetapi Islam mengarahkan dan membimbing kecintaan manusia terhadap dunia itu agar sesuai dengan tuntunan Allah swt. Islam membedakan kecintaan terhadap dunia menjadi dua hal :

Pertama, tertipu oleh dunia sehingga ia menjadi hamba dunia, abdi harta dan kekuasaan yang dimilikinya. Harta dan jabatan menyebabkannya jauh dari Allah Swt. Sosok – sosok seperti Qarun ; pecinta harta, Firaun; pecinta jabatan adalah contoh dari orang – orang yang tertipu dengan dunia. Inilah cara pandang yang salah terhadap dunia.

Oleh karena itu dalam Quran, kata dunia sering kali diidentifikasi sebagai la’bun dan lahwun (melalaikan). Ungkapan tersebut sebagai warning bahwa dunia rentan membuat manusia tertipu, terlena, dan lupa akan tujuan hidupnya sebagai hamba Allah Swt.

Kedua, menempatkan dunia sebagai alat dan sarana untuk dikapitalisasi agar bisa beribadah kepada Allah Swt. dengan optimal. Bukan sebaliknya, menempatkan dunia sebagai tujuan yang akan memperbudak pemiliknya. Inilah cara pandang yang benar terhadap dunia.

Oleh karena itu Islam menjelaskan bahwa selayaknya meletakan dunia di tangan bukan di hati. Selalu berniat, dengan harta yang dimiliki, bisa melahirkan anak yang sholeh. Dengan jabatan yang dimiliki, bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat. Maka, sebenarnya bukan dunia yang menjadi masalah, tetapi yang menjadi masalah adalah niat, persepsi dan cara mendapatkan dunia.

Sosok – sosok seperti Utsman (pengusaha), Umar Bin Abdul Aziz (Pejabat) adalah contoh dari orang– orang yang memanfaatkan harta dan jabatannya untuk kepentingan masyarakat. Dengan begitu dunia menjadi hamba manusia, bukan manusia menjadi hamba dunia.

Redaktur: Heri Ruslan



Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/11/m5fiod-cinta-dunia

Tiga Musuh Allah di Hari Akhir

Senin, 11 Juni 2012, 15:06 WIB

Oleh: Ina Salma F

Dalam sebuah Hadis Qudsi, Allah SWT berfirman, “Ada tiga golongan di hari kiamat nanti yang akan menjadi musuh-Ku. Barangsiapa yang menjadi musuh-Ku, maka Aku akan memusuhinya. Pertama, seorang yang berjanji setia kepada-Ku, namun mengkhianatinya. Kedua, seorang yang menjual orang lalu memakan hasil penjualannya. Ketiga, seorang yang mempekerjakan seorang buruh, namun setelah pekerja tersebut menyelesaikan pekerjaannya, orang tersebut tidak memberinya upah.” (HR. Ibnu Majah).

Hadis Qudsi di atas menyiratkan beberapa adab dan kesalehan baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, berarti kesalehan manusia di hadapan Rabb semesta alam.

Sedangkan secara horizontal, berarti kesalehan sosial hamba Allah yang harus ditunaikan pada sesamanya. Allah membuka Hadis Qudsi, bahwa yang pertama termasuk tiga golongan yang kelak akan menjadi musuh Allah adalah orang yang ingkar janji.

Dalam Islam, janji dianalogikan sebagai sebuah hutang. Konsep al-wa’du dainun (janji adalah hutang) menjadi penting sebab hutang harus ditunaikan (dilunasi). Sedangkan orang yang mengingkari janji, dalam sebuah hadis termasuk dalam kategori orang munafik. Beberapa ciri orang munafik itu ialah: pendusta, pengingkar janji, dan pengkhianat.

Perintah menunaikan janji, Allah berfirman, ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya...” (QS. An-Nisaa’: 58). Atau dalam hadis, ”Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji.” (HR. Ahmad dan Al-Bazzaar).

Perintah melaksanakan amanah dan menunaikan janji berarti bukti bahwa manusia tersebut menjaga hak-hak baik kepada Tuhannya maupun sesamanya. Sedangkan hadis tersebut berarti bahwa yang diperintahkan Allah kepada kita adalah bukti iman, sedangkan lawannya, yaitu mengkhianati amanah, merupakan bukti kemunafikan.

Golongan kedua, yakni golongan yang menjual orang lalu memakan hasil penjualannya. Golongan ini mengingatkan kita kembali akan praktik perbudakan yang telah terjadi sejak zaman pra Islam.

Adapun korban orang yang diperjualbelikan ialah para budak perempuan. Budak perempuan kala itu diperdagangkan dengan harga murah. Tidak sedikit dari mereka yang dipaksa melacurkan diri oleh para majikannya.

Dalam konteks kekinian, praktik perbudakan itu terorganisir secara rapi dan lebih mengerikan sebab terjadi pada orang yang merdeka atau lebih dikenal dengan istilah human trafficking. Praktik pemaksaan budak untuk melacurkan diri ini tertera dalam Surah An-Nuur ayat 33.

“Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, padahal mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan siapa saja yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (terhadap mereka yang dipaksa) sesudah mereka dipaksa itu,” (QS An-Nisaa; 24: 33).

Golongan ketiga yang kelak akan menjadi musuh Allah ialah seorang atasan yang tidak menunaikan kewajibannya. Kewajiban tersebut berupa penunaian hak-hak pekerja dengan memberinya gaji (upah). Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak, tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin.

Nabi SAW bersabda, "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari).

Bekerja dalam islam, diartikan sebagai bentuk pengabdian seseorang baik pada Tuhan maupun bentuk usahanya untuk mendapatkan penghasilan, sehingga ia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadis: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).

Semoga kita semua terhidar dari ketiga golongan tersebut dan senantiasa berusaha menunaikan amanah dalam tiap sendi kehidupan, baik terhadap Allah maupun sesama. Wallahua’lam bish shawwab.

Redaktur: Chairul Akhmad



Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/11/m5g17d-tiga-musuh-allah-di-hari-akhir

Tahajud Cinta

Home > Dunia Islam > Hikmah

Tuesday, 05 June 2012, 19:24 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Toto Tasmara

Rasulullah SAW adalah manusia yang tak pernah meninggalkan shalat malam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Qois, ia berkata, “Aisyah RA berkata kepadaku, ‘Janganlah engkau meninggalkan shalat malam sebab Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya. Apabila sakit atau lelah, beliau shalat dengan duduk.” (HR Abu Dawud).

Suatu saat orang-orang di Madinah ingin melihat wajah sejuk Rasulullah dan menyaksikan sosok manusia yang tidak pernah berdusta sepanjang hidupnya. Setelah mereka berkumpul, Rasulullah menyampaikan pesan kepada orang yang hadir. “Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan orang yang fakir, sambungkanlah tali persaudaraan, dan shalatlah pada malam hari ketika orang-orang tidur lelap agar kalian masuk surga dengan selamat.” (HR Tirmidzi).

Bagi orang-orang yang haus akan dahaga menggapai rida Ilahi, yang rindunya tak terperikan mengharap taman surgawi, shalat tahajud seakan sebuah kewajiban. Karena mereka mengartikannya sebagai sebuah perintah. “Dan pada sebagian malam, bertahajudlah sebagai ibadah tambahan bagimu, semoga Tuhanmu akan mengangkat ke tempat terpuji.” (QS [17]: 79).

Tiada kelezatan melaksanakan shalat malam kecuali Allah akan menempatkan diri manusia di tempat mulia (maqamam mahmuda). Para penempuh jalan kemuliaan itu, bangun pada sepertiga malam sampai menjelang fajar untuk menumpahkan hasratnya beraudiensi dan bertatap batin dengan Allah SWT.

Ketika tengah malam pekat membuai lelap, seakan mereka merintihkan segala harapan, seraya berharap petunjuk Allah. “Wahai Ilahi, Engkaulah pelita yang menerangi hamba-hamba yang tersesat di lembah kegelapan. Engkaulah petunjuk para musafir yang tersesat di padang pasir. Engkaulah mutiara yang tersembunyi dan terus kuselami, betapa pun ombak gelombang menggulung dan mengempas tubuhku. Inilah air mataku yang memburai dari hatiku yang basah. Setiap tetesan air mataku adalah harap cemas, penyesalan tiada tara akan dosa-dosaku, dan berharap akan maghfirah (ampunan)-Mu.”

Dalam tahajud, tidak ada lagi permohonan yang mendunia, tetapi yang ada hanyalah desah rindu untuk berjumpa dengan Allah semata (liqa'a li robbihi). Cinta telah memikat hati mereka untuk terbang membubung mencari Sang Pemilik Cinta. Jiwanya melayang menjulang bagaikan serpihan kapas tertiup angin pagi diiringi petikan dawai halus yang mendendangkan hasrat kerinduan tak terperikan, seraya berkata, “Wahai Tuhanku, Engkaulah segala akhir dari tujuanku, Engkaulah yang selalu kurindu dalam pencarianku.”

Cinta mereka yang makrifat telah merenggut seluruh perhatiannya hanya kepada Allah sehingga tidak lagi ada ruang kosong untuk dendam dan benci. Cinta tak mengenal itu semua, yang ia kenal hanya memberi, bukan meminta. Betapa pun rombongan dendam dan benci berkendaraan emas kencana, merayu mampir barang sejenak. Akan aku katakan kepada mereka, "Wahai musafir yang tersesat, kamar-kamar di hatiku telah penuh oleh tamu-tamu cinta. Tidak mungkin aku mengusirnya karena mereka akan tinggal sepanjang hidupku.”


Redaktur: Heri Ruslan



Sumber :
Republika Online : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/05/m5594v-tahajud-cinta

Menjauhi Empat Larangan

Home > Dunia Islam > Hikmah

Wednesday, 06 June 2012, 06:14 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc

Dalam sebuah hadis sahih, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menjauhi empat hal dalam kehidupan di dunia ini, maka kelak di hari kiamat dia akan masuk ke dalam surga, yakni darah, harta, kemaluan, dan minuman.”

Rasulullah SAW adalah pemimpin yang sangat menyayangi umatnya dan memberikan arahan dengan ucapan dan pernyataan. Rasul juga memberikan keteladanan agar umatnya hidup dalam selamat di dunia dan akhirat.

Hadis tersebut di atas adalah contoh kasih sayang Rasul agar umatnya masuk ke dalam surga dan terbebas dari siksa api neraka. Di dunia ini pun mereka mendapat keselamatan, ketenangan, kedamaian, dan kesejahteraan.

Pertama, darah. Maksudnya adalah tidak boleh seseorang dengan mudahnya mengalirkan darah orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariah, seperti melukai apalagi membunuhnya. Karena dalam pandangan Islam, menghilangkan nyawa seseorang sama dengan menghilangkan nyawa seluruh umat manusia. Sebaliknya, menyelamatkan kehidupan seseorang sama dengan menyelamatkan kehidupan seluruh umat manusia. (QS al-Maidah [5]: 32).

Fenomena yang terjadi sekarang sungguh sangat memprihatinkan dan menyedihkan. Karena dengan mudahnya sekelompok orang melukai dan membunuh orang lain tanpa alasan yang jelas. Terkadang hanya karena masalah sepele bisa mengakibatkan pembunuhan.

Tawuran antarpelajar, tawuran antarkampung dan antarkelompok, bahkan antara suporter sepak bola sering mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Inilah perbuatan keji yang termasuk kategori al-fasad (kerusakan). Pelakunya harus dihukum dengan hukuman yang berat. (QS al-Maidah [5]: 33).

Kedua, harta. Jangan menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan materi, jabatan, dan kekuasaan. Sebab, hal ini akan mengakibatkan kerusakan moral, akhlak, dan perilaku. Jika seseorang terbiasa mengonsumsi barang-barang haram, baik bendanya maupun cara mendapatkannya, akan menyebabkan kegelisahan sekaligus kehancuran hidupnya di dunia maupun akhirat.

Para koruptor, sebagai contoh, merupakan kelompok orang yang tidak akan pernah merasakan nikmat dan bau harumnya surga. Bahkan jika menghalalkan perbuatan korupsinya itu, dia akan kekal di dalam neraka.

Ketiga, kemaluan. Maksudnya adalah agar setiap orang berusaha menghindari perbuatan zina dan hal-hal yang mendekati perbuatan zina. Karena perbuatan ini termasuk kategori perbuatan yang sangat buruk, yang menghancurkan tatanan kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa. (QS al-Isra’ [17]: 31).

Keempat, minuman keras. Setiap orang wajib berusaha menjauhi minuman keras yang memabukkan (khamar), termasuk di dalamnya benda-benda yang merusak, seperti narkoba, sabu, ataupun ekstasi.

Jika seseorang menghindari keempat perbuatan tersebut, insya Allah dia akan dijauhkan dari siksa neraka dan Allah akan memberikan tempat yang mulia, yakni surga. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Redaktur: Heri Ruslan



Sumber :
Republika Online : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/06/m5637o-menjauhi-empat-larangan

Optimalisasi Kesabaran

Home > Dunia Islam > Hikmah

Senin, 04 Juni 2012, 15:20 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr H Dindin Jamaluddin MAg

Sebagai umat Islam, kita harus senantiasa menjaga dan meningkatkan keimanan. Salah satunya adalah dengan memelihara dan mengoptimalkan kesabaran. Dalam Alquran, Allah menegaskan, kesabaran akan senantiasa menolong dan menjadi solusi atas berbagai persoalan. Bahkan, Allah akan senantiasa bersama orang-orang yang sabar. (QS al-Anfal [8]: 66).

Ayat di atas mengindikasikan bagaimana kesabaran harus dimaknai sebagai sebuah proses aktif menanggulangi permasalahan yang menimpa. Dalam perspektif Islam, musibah diinisiasi oleh dua hal.

Pertama, musibah muncul akibat kesalahan manusia pada Allah. Musibah seperti ini dimaknai sebagai teguran Allah. Kedua, musibah lahir karena kita tengah menghadapi ujian. Tujuannya, untuk menaikkan derajat keimanan. Kesabaran yang ditopang oleh semangat keimanan, niscaya akan mampu meminimalkan tindakan destruktif.

Hazrat Inayat Khan mengatakan, kenikmatan dan kenyamanan hidup dapat menghalangi munculnya inspirasi dan ilham. Sebaliknya, rintangan dan cobaan (musibah) justru dapat membantu setiap orang memunculkan solusi.

Pun begitu dengan cobaan yang kita hadapi saat ini. Baik itu soal kemiskinan, merebaknya kasus korupsi, hingga bencana kemanusiaan. Ketika semua itu menimpa kita, penting dihadapi dengan kesabaran. Makna kesabaran, tidak hanya pasrah sumerah pada keadaan atau menerima kondisi apa adanya, tetapi dengan kesabaran itu kita berupaya menghidupkan semangat untuk keluar dari keadaan yang sedang menghimpit.

Dalam surah al-Anfal [8] ayat 66, Allah SWT menginformasikan bahwa di dalam kesabaran terkandung kekuatan transformatif bila kita lapang dada menyikapi kehidupan yang terjadi.

Bagi orang-orang yang sabar, ketika bencana kekeringan dan gempa menimpa, misalnya, dia tidak larut dalam kesedihan berkepanjangan tanpa melakukan usaha keluar dari musibah tersebut. Ketika kekurangan harta menjadi persoalan signifikan bagi pendidikan anaknya, hal itu tidak lantas mematikan semangat dirinya untuk terus berusaha.
Kekuatan usaha inilah yang menjadi sumber dasar dari Islam. Term usaha lebih dekat dengan konsep “amaliyah” dalam Islam, yang menyatukan antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik yang tecermin dalam perbuatan.

Bagi seorang Muslim sejati, musibah dipahami sebagai ujian yang wajib dilalui untuk mengokohkan keimanan pada-Nya. Kerangka paradigmatik ubûdiyah digunakan untuk melewati cobaan Ilahi. (QS al-Ankabut [29]: 2).

Tonggak awal perubahan hidup diawali dari seberapa piawai kita keluar dari impitan masalah, sehingga menerpanya menjadi individu taat, takwa, sabar, dan tawakkal. Dengan hal inilah umat akan lebih bijaksana menyikapi aneka musibah yang seolah tak pernah berhenti menguji keimanan.

Merintih, meratap, dan terus larut dalam kekesalan tanpa berusaha bukanlah hakikat kesabaran. Al-shabru, ialah sebuah kerangka ketabahan jiwa yang menyertakan optimalisasi perbuatan aktif, sehingga terjadi perubahan hidupnya. Wallahu a’lam.


Redaktur: Heri Ruslan


Sumber :
Republika Online : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/04/m5336t-optimalisasi-kesabaran

Keberkahan Taubat

Home > Dunia Islam > Pojok Arifin Ilham

Senin, 04 Juni 2012, 16:56 WIB

Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu

Inilah kabar berita gembira bagi hamba Allah yang bertaubat dengan sungguh-sungguh:

1. Hamba pilihan Allah, karena tidak semua makhluk-Nya bertaubat (QS An Nur 21)
2. Diampuni Allah seluruh dosanya (QS Az Zumar 53), "Bila kalian melakukan dosa seluas langit dan bumi, lalu kalian menyesal, lalu kalian bertaubat dengan sungguh-sungguh, maka Allah menerima taubat kalian" (Hadist Qudsi)
3. Allah akan mengubah keadaan hidupnya menjadi lebih baik, lebih tenang dan lebih bahagia (QS Al Furqon 70)
4. Hatipun bersih (QS Asy Syams 9-10)
5. Rizki berlimpah berkah (QS Nuh 10-12)
6. Karakteristik bertaqwa (QS Ali Imron 135)
7. Menolak bala bencana (QS Al Anfal 33)
8. Kunci sukses (QS Al Qoshosh 67 dan An Nur 31)
9. Tenang bahagia (QS Hud 3)
10.Dicintai Allah (QS Al Baqoroh 22)
11.Dimuliakan Allah (QS Yasin 27), didoakan para Malaikat (QS Al Mu'min 7-8)
12.Terbebas dari siksa neraka (QS Al Mu'min 9)
13.Meraih syurga Allah (QS At Tahrim 8)... "Subhanallah, begitu besar keutamaan dan kemuliaan taubat.

Tunggu apalagi sahabatku, ayo segera raih keberkahan taubat mumpung jantung masih berdenyut!... do it right now, sahabatku!".

Redaktur: Slamet Riyanto



Sumber :
Republika Online: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/06/04/m537mp-keberkahan-taubat

Inilah Nilai-Nilai Shalat

Sunday, 03 June 2012, 08:45 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imam Nur Suharno

Peristiwa Isra Mi’raj menjadi bukti perjalanan Nabi SAW menembus dimensi waktu dan tempat, dalam rangka menerima langsung perintah shalat dari Allah SWT, tanpa melalui malaikat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan shalat bagi kehidupan kaum Muslimin.

“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Isra’ [17]: 1).

Peringatan Isra Mi’raj merupakan momentum bagi kaum Muslimin untuk mengevaluasi kualitas dan mengambil pelajaran (ibrah) dari nilai-nilai shalat. Sehingga, shalat yang dilakukan mampu mengubah seseorang menjadi lebih bermakna dalam kehidupan pribadi dan sosial.

Di antara nilai-nilai shalat itu adalah pertama, shalat mendidik untuk menyucikan diri dari sifat-sifat buruk. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45).

Kedua, shalat mendidik kesatuan dan persatuan umat. Orang shalat menghadap ke satu tempat yang sama, yaitu Baitullah. Hal ini menunjukkan pentingnya mewujudkan persatuan dan kesatuan umat. Perasaan persatuan ini akan menimbulkan saling pengertian dan saling melengkapi antarsesama.

Ketiga, shalat mendidik disiplin waktu. Setiap yang shalat selalu memeriksa masuknya waktu shalat, berusaha menunaikannya tepat waktu, sesuai ketentuan, dan menaklukkan nafsunya untuk tidak tenggelam dalam kesibukan duniawi.

Keempat, shalat mendidik tertib organisasi. Menyangkut tertibnya jamaah shalat yang baris lurus di belakang imam dengan tanpa adanya celah kosong (antara yang satu dan jamaah di kanan kirinya) mengembalikan kaum Muslimin pada perlunya nidzam (tertib organisasi).

Kelima, shalat mendidik ketaatan kepada pemimpin. Mengikuti gerakan imam, tidak mendahuluinya walau sesaat, menunjukkan adanya ketaatan dan komitmen atau loyal, serta meniadakan penolakan terhadap perintahnya, selama perintah itu tidak untuk bermaksiat. “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah SWT.” (HR Ahmad).

Keenam, shalat mendidik keberanian mengingatkan pimpinan. Jika imam lupa, makmum mengingatkannya (membaca subhanallah), hal ini menunjukkan keharusan rakyat untuk mengingatkan pemimpinnya jika melakukan kesalahan.

Ketujuh, shalat mendidik persamaan hak. Pada shalat berjamaah, dalam mengisi shaf tidak didasarkan pada status sosial jamaah, tidak pula memandang kekayaan atau pangkat, walau dalam shaf terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak tanpa memedulikan tinggi kedudukan maupun tua umurnya.

Kedelapan, shalat mendidik hidup sehat. Shalat memberikan kesan kesehatan, yang diwujudkan dalam gerakan di setiap rakaat, yang setiap harinya minimal 17 rakaat secara seimbang. Hal ini merupakan olahraga fisik dengan cara sederhana dan mudah gerakannya.

Jika nilai-nilai shalat tersebut di atas diejawantahkan dalam kehidupan setiap Muslim maka tidak menutup kemungkinan perubahan ke arah yang lebih baik akan dapat terwujud.


Redaktur: Heri Ruslan



Sumber :
Republika Online: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/06/03/m50q76-inilah-nilainilai-shalat