Jumat, 28 September 2012, 10:35 WIB
Oleh: Ina Salma Febriani
Allah memiliki sifat-sifat yang mulia. Sifat-sifat Allah tersebut dikenal dengan Asmaul Husna, salah satunya Al-Wahhab (Maha Pemberi Anugerah).
Tanpa melihat status sosial, suku, tingkat materi, jenjang pendidikan, agama, Allah tunjukkan sifat kasih dan sayangnya kepada semua makhluk hidup di muka bumi.
Sang pemberi anugerah ini senantiasa melimpahkan nikmat-Nya tak hanya bagi para ahli ibadah namun juga untuk ahli maksiat.
Berbicara perihal maksiat— semua manusia pada dasarnya berpotensi untuk melakukan dosa. Sebab Allah telah mengaruniakannya hawa nafsu. Namun dengan adanya hawa nafsu itu, bukan berarti manusia seenaknya berbuat dosa dengan harapan Allah pasti memberikan ampunan.
Sebaliknya, manusia dikaruniai hawa nafsu agar ia kian cerdas mengontrol diri dari dorongan-dorongan jahat dengan mempertebal keimanan dan ibadah pada Allah
Kendati banyak manusia yang berbuat dosa, karena sifat Rahman dan Rahim-Nya, Allah tidak ‘membenci’ orang-orang yang mengotori dirinya dengan dosa—jika mereka mau kembali, membersihkan diri, melakukan perbaikan, juga berjanji setia dengan Allah bahwa takkan pernah mengulangi dosa yang senada.
Dalam Surah An-Nisaa ayat 27 dan 28, Allah Swt berfirman: “Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
Sa’ad bin Hilal pernah berkata, “Bila manusia (umat Muhammad SAW) berbuat dosa, maka Allah tetap memberikan empat anugerah padanya, yaitu:
Pertama, ia tidak terhalang untuk mendapatkan rezeki. Kedua, ia tidak terhalang untuk mendapatkan kesehatan badan. Ketiga, Allah tidak akan memperlihatkan dosanya selama di dunia. Keempat, Allah tidak serta-merta mengazabnya.
Keempat ‘anugerah’ ini semestinya betul-betul disadari oleh kita—makhluk yang sering terperdaya untuk melakukan dosa, agar malu di hadapan Allah. Malu karena memakan nikmat Allah, tapi shalat tak kunjung khusyuk.
Malu karena merasakan nikmat Allah tapi ibadah pas-pasan dan malu telah mendapatkan fasilitas gratis dari Allah—penglihatan, pendengaran, hati, harta, jabatan, pasangan hidup—tapi posisi di hadapan Allah belum jelas. Hamba-Nya kah? Atau sekedar makhluk-Nya? Atau keduanya? Yang harus kita sadari bersama ialah bahwa tugas kita sebagai khalifah di bumi hanyalah untuk beribadah.
“Dan tiada kuciptakan jin dan manusia, selain untuk beribadah kepadaKu.” (Qs Adz-Zariyat: 56). Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kita harus berlomba-lomba mencari perhatian Allah, mencari posisi strategis di hadapan Allah, mencari dan mengejar cinta-Nya—bukan mencari itu semua pada selainNya yang berakhir kefanaan.
Diriwayatkan bahwa Nabi Adam AS telah berkata, “Allah memberikan empat macam kemuliaan kepada umat Muhammad yang tidak Allah berikan kepadaku, yaitu:
1. Allah menerima taubatku di Makkah, sedangkan umat Muhammad diterima taubatnya—dimana pun ia berada.
2. Ketika aku melakukan dosa, Allah menghilangkan pakaianku seketika, sedangkan umat Muhammad tetap diberi pakaian meskipun durhaka pada Allah.
3. Ketika aku berbuat dosa, Allah pisahkan aku dengan istriku, sedangkan umat Muhammad ketika ia berbuat dosa—tidak dipisahkan oleh istrinya.
4. Aku berbuat dosa di surga, lalu Allah mengusirku dari surga ke dunia, sedangkan umat Muhammad yang berbuat dosa di luar surga, lalu Allah memasukkan mereka ke surga bila mereka mau bertaubat.
Itulah empat keutamaan umat Nabi Muhammad SAW yang manusia pertama saja tidak mendapatkannya. Marilah bersama perbaiki diri agar kita layak mendapatkan nikmat Allah. Wallahu a’lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/28/mb1jbp-empat-anugerah-bagi-pendosa
Membaca Hati
Minggu, 23 September 2012, 12:57 WIB
Oleh: A Riawan Amin
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia.” (QS [96]: 1-3).
Setiap saat kita membaca banyak hal. Yang tertulis maupun yang tersirat. Dari membaca berita sampai membaca apa yang terjadi pada lingkungan kita. Namun, sering kita lupa membaca dan menyimak apa-apa yang berlangsung di dalam diri kita.
Manusia diciptakan dari segumpal darah ('alaq) dan di dalam dadanya ada segumpal daging (mudghah). Kata Nabi SAW, bila segumpal daging itu baik maka baik diri keseluruhannya. Namun, bila segumpal daging itu buruk, buruk diri keseluruhannya. Itulah yang dinamakan hati.
Karenanya, bacalah setiap saat kondisi hati kita. Sedang was-waskah dia? Sedang gelisahkah dia? Sedang takutkah dia? Sedang dengkikah dia? Iqra, iqra, iqra! Seperti penggalan lagu religi bertajuk “Jagalah Hati”: jagalah hati jangan kau nodai, jagalah hati pelita hidup ini.
Kita tidak mungkin menjaga sesuatu yang tidak kita sadari keberadaannya. Karena itu, bacalah hati setiap saat, agar kita sadar akan keberadaan dan aktivitasnya. Karena kondisi hati yang baik membuat diri menjadi baik keseluruhannya.
Jika hati kita terasa bersih, bersyukurlah. Sebaliknya, jika hati sedang terasa buruk, akuilah sebagai amanah, akuilah sebagai ujian, akuilah bahwa perasaan negatif hanyalah ilusi. Semata-mata kita yang membuatnya. Karena tidak selayaknya makhluk Allah yang sempurna ini (“sempurna” dalam skala dunia) mempunyai jiwa yang tidak sempurna.
Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS [95]: 4), dan meniupkan ruh-Nya yang mulia kepada nenek moyang kita Adam, sehingga bersujudlah seluruh alam semesta kepada Adam. Jika bersih hati kita, itulah fitrah. Jika kotor hati kita berarti ada dusta sedang berlangsung.
Kita sedang tidak menjadi diri sejati kita. Dan, harus ada ikhtiar yang kita lakukan untuk mengembalikannya kepada fitrahnya. Dengan zikrullah, dengan berulang-ulang meyakinkan diri bahwa perasaan-perasaan kita-baik yang nyaman maupun tak nyaman, semuanya adalah amanah sekaligus ujian. Dan, bahwa kalau tak nyaman berarti kita sedang tak sesuai fitrah.
Maka, perlahan-lahan tapi pasti, kita sedang meninggikan ruh kita yang mulia di atas perasaan-perasaan kita. Dan, meninggikan kehendak Allah di atas keinginan-keinginan kita. Jika tidak, alih-alih menjadi ciptaan paling mulia, kita justru jatuh kepada derajat binatang ternak. (QS [25]: 43-44). “Sungguh berbahagia orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS [91]: 9-10).
Jika kita terus-menerus membaca hati kita dan membersihkannya, insya Allah kita akan sampai pada derajat jiwa yang muthmainnah dan kelak kembali menghadap Allah dalam keadaan puas dan diridai-Nya. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS [89]: 27-30). Bacalah alam semesta, bacalah segala yang baik-baik. Agar mulia, jangan pernah lupa setiap waktu, bacalah hati!
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/23/masgk6-membaca-hati
Oleh: A Riawan Amin
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia.” (QS [96]: 1-3).
Setiap saat kita membaca banyak hal. Yang tertulis maupun yang tersirat. Dari membaca berita sampai membaca apa yang terjadi pada lingkungan kita. Namun, sering kita lupa membaca dan menyimak apa-apa yang berlangsung di dalam diri kita.
Manusia diciptakan dari segumpal darah ('alaq) dan di dalam dadanya ada segumpal daging (mudghah). Kata Nabi SAW, bila segumpal daging itu baik maka baik diri keseluruhannya. Namun, bila segumpal daging itu buruk, buruk diri keseluruhannya. Itulah yang dinamakan hati.
Karenanya, bacalah setiap saat kondisi hati kita. Sedang was-waskah dia? Sedang gelisahkah dia? Sedang takutkah dia? Sedang dengkikah dia? Iqra, iqra, iqra! Seperti penggalan lagu religi bertajuk “Jagalah Hati”: jagalah hati jangan kau nodai, jagalah hati pelita hidup ini.
Kita tidak mungkin menjaga sesuatu yang tidak kita sadari keberadaannya. Karena itu, bacalah hati setiap saat, agar kita sadar akan keberadaan dan aktivitasnya. Karena kondisi hati yang baik membuat diri menjadi baik keseluruhannya.
Jika hati kita terasa bersih, bersyukurlah. Sebaliknya, jika hati sedang terasa buruk, akuilah sebagai amanah, akuilah sebagai ujian, akuilah bahwa perasaan negatif hanyalah ilusi. Semata-mata kita yang membuatnya. Karena tidak selayaknya makhluk Allah yang sempurna ini (“sempurna” dalam skala dunia) mempunyai jiwa yang tidak sempurna.
Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS [95]: 4), dan meniupkan ruh-Nya yang mulia kepada nenek moyang kita Adam, sehingga bersujudlah seluruh alam semesta kepada Adam. Jika bersih hati kita, itulah fitrah. Jika kotor hati kita berarti ada dusta sedang berlangsung.
Kita sedang tidak menjadi diri sejati kita. Dan, harus ada ikhtiar yang kita lakukan untuk mengembalikannya kepada fitrahnya. Dengan zikrullah, dengan berulang-ulang meyakinkan diri bahwa perasaan-perasaan kita-baik yang nyaman maupun tak nyaman, semuanya adalah amanah sekaligus ujian. Dan, bahwa kalau tak nyaman berarti kita sedang tak sesuai fitrah.
Maka, perlahan-lahan tapi pasti, kita sedang meninggikan ruh kita yang mulia di atas perasaan-perasaan kita. Dan, meninggikan kehendak Allah di atas keinginan-keinginan kita. Jika tidak, alih-alih menjadi ciptaan paling mulia, kita justru jatuh kepada derajat binatang ternak. (QS [25]: 43-44). “Sungguh berbahagia orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS [91]: 9-10).
Jika kita terus-menerus membaca hati kita dan membersihkannya, insya Allah kita akan sampai pada derajat jiwa yang muthmainnah dan kelak kembali menghadap Allah dalam keadaan puas dan diridai-Nya. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS [89]: 27-30). Bacalah alam semesta, bacalah segala yang baik-baik. Agar mulia, jangan pernah lupa setiap waktu, bacalah hati!
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/23/masgk6-membaca-hati
Hadapi Cercaan dengan Shalawat
Kamis, 20 September 2012, 14:24 WIB
Oleh: Ina Salma Febriani
Entah yang sudah ke berapa kalinya, umat Islam kembali menghadapi cobaan melalui penghinaan pada Rasulullah.
Dicerca, dihina, dilecehkan, direndahkan, bahkan tindak kekerasan fisik dan verbal sekali pun adalah makanan sehari-hari Rasulullah di awal dakwah beliau.
Sebenarnya ada faktor lain yang menyebabkan mereka melakukan penghinaan tersebut—bukan sekadar benci atau dendam kesumat. Tapi lebih dari itu, mereka sangat tahu betapa mulianya Rasulullah. Karena sangat mengagumi Rasulullah, mereka tidak dapat mengekspresikan kekaguman tersebut. Maka dapat dimaklumi mereka berbuat demikian.
Rasulullah SAW pun demikian, selalu membalas kejahatan dengan pengungkapan ampunan pada Tuhan, karena kuffar Quraisy ‘belum tahu’ hakikat kebenaran. Rasulullah hanya berdoa, “Maafkan mereka ya Allah, karena ketidaktahuan mereka.”
Ketidaktahuan itu muncul salah satunya karena di dalam hati mereka ada ‘penyakit’. Penyakit itu timbul karena mereka yang ingkar dan dengki sehingga Allah mengunci hati mereka dan sulit menerima kebenaran. “Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah penyakit mereka dengan apa yang mereka dustakan,” (QS Al-Baqarah: 10).
Dari keingkaran tersebut, lahirlah sebuah godaan untuk mencerca, menghina dan melecehkan pemeluk agama lain, motifnya memang berbeda-beda. Ada yang karena tidak suka bumi Allah ini dipenuhi oleh pemeluk Islam yang kian hari makin banyak, ada pula yang ingin menghancurkan persatuan umat Islam yang satu dengan yang lainnya.
Apa pun motif terselubung dari fenomena ‘pelecehan’ ini, Rasulullah hanya menganjurkan untuk melawan perbuatan oknum yang tidak bertanggung jawab itu dengan pembuktian keimanan. Buktikan bahwa sedahsyat apa pun agama, Nabi, ajaran Allah ini dihina, kita tetap teguh dan bersatu. Karena memang, jalan anarkistis justru lebih merugikan umat Islam itu sendiri.
Dengan peristiwa ini, mungkin kita bisa memetik hikmah, antara lain, teguhkan dan kuatkan keimanan dan persatuan kita di antara sesama umat Muslim—sebab sampai kapan pun, non-Muslim tidak akan pernah ridha dengan agama Islam, hingga kita mengikuti kepercayaan mereka.
Hal ini telah Allah firmankan dalam Surah Al-Baqarah ayat 120, “Dan tidak akan pernah ridha kepadamu (Muhammad) orang-orang Yahudi maupun Nasrani, hingga engkau mengikuti agama mereka…”
Kedua, biarlah Allah bertindak sesuai dengan kehendaknya, sebab Allah Mahamenghakimi dan Menghukumi setiap insan yang berdosa, jika tidak di dunia—maka siksaan tersebut Allah tangguhkan di hari Kiamat kelak, saat dimana kuffar memohon, memelas, meminta, mengemis, agar siksaan nan pedih dihilangkan darinya.
“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata meliputi manusia. Inilah azab yang pedih. Mereka berdoa, “Ya Allah, lenyapkanlah kami dari azab itu. Sesungguhnya kami akan beriman. ‘Bagaimanakah mereka dapat menerima peringatan, padahal mereka telah datang kepada mereka Rasul yang memberi peringatan kemudian mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata, ‘Dia adalah penerima ajaran dari orang dan ia adalah orang gila. Sungguh, jika Kami lenyapkan siksaan itu sebentar saja, pasti mereka akan (kembali) ingkar’.” (QS Ad-Dukhan: 10-15)
Ketiga, rutinkan diri memberikan ‘hadiah’ untuk Rasulullah SAW dengan bershalawat kepadanya. “Sungguh, Allah dan para malaikat bershalawat untuk Nabi, wahai orang yang beriman, bershalawatlah pada (Nabi) dan mohonlah keselamatan dengan keselamatan sesungguhnya.” (QS Al-Ahzab: 56). Wallahu a’lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/20/man0kd-hadapi-cercaan-dengan-shalawat
Oleh: Ina Salma Febriani
Entah yang sudah ke berapa kalinya, umat Islam kembali menghadapi cobaan melalui penghinaan pada Rasulullah.
Dicerca, dihina, dilecehkan, direndahkan, bahkan tindak kekerasan fisik dan verbal sekali pun adalah makanan sehari-hari Rasulullah di awal dakwah beliau.
Sebenarnya ada faktor lain yang menyebabkan mereka melakukan penghinaan tersebut—bukan sekadar benci atau dendam kesumat. Tapi lebih dari itu, mereka sangat tahu betapa mulianya Rasulullah. Karena sangat mengagumi Rasulullah, mereka tidak dapat mengekspresikan kekaguman tersebut. Maka dapat dimaklumi mereka berbuat demikian.
Rasulullah SAW pun demikian, selalu membalas kejahatan dengan pengungkapan ampunan pada Tuhan, karena kuffar Quraisy ‘belum tahu’ hakikat kebenaran. Rasulullah hanya berdoa, “Maafkan mereka ya Allah, karena ketidaktahuan mereka.”
Ketidaktahuan itu muncul salah satunya karena di dalam hati mereka ada ‘penyakit’. Penyakit itu timbul karena mereka yang ingkar dan dengki sehingga Allah mengunci hati mereka dan sulit menerima kebenaran. “Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah penyakit mereka dengan apa yang mereka dustakan,” (QS Al-Baqarah: 10).
Dari keingkaran tersebut, lahirlah sebuah godaan untuk mencerca, menghina dan melecehkan pemeluk agama lain, motifnya memang berbeda-beda. Ada yang karena tidak suka bumi Allah ini dipenuhi oleh pemeluk Islam yang kian hari makin banyak, ada pula yang ingin menghancurkan persatuan umat Islam yang satu dengan yang lainnya.
Apa pun motif terselubung dari fenomena ‘pelecehan’ ini, Rasulullah hanya menganjurkan untuk melawan perbuatan oknum yang tidak bertanggung jawab itu dengan pembuktian keimanan. Buktikan bahwa sedahsyat apa pun agama, Nabi, ajaran Allah ini dihina, kita tetap teguh dan bersatu. Karena memang, jalan anarkistis justru lebih merugikan umat Islam itu sendiri.
Dengan peristiwa ini, mungkin kita bisa memetik hikmah, antara lain, teguhkan dan kuatkan keimanan dan persatuan kita di antara sesama umat Muslim—sebab sampai kapan pun, non-Muslim tidak akan pernah ridha dengan agama Islam, hingga kita mengikuti kepercayaan mereka.
Hal ini telah Allah firmankan dalam Surah Al-Baqarah ayat 120, “Dan tidak akan pernah ridha kepadamu (Muhammad) orang-orang Yahudi maupun Nasrani, hingga engkau mengikuti agama mereka…”
Kedua, biarlah Allah bertindak sesuai dengan kehendaknya, sebab Allah Mahamenghakimi dan Menghukumi setiap insan yang berdosa, jika tidak di dunia—maka siksaan tersebut Allah tangguhkan di hari Kiamat kelak, saat dimana kuffar memohon, memelas, meminta, mengemis, agar siksaan nan pedih dihilangkan darinya.
“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata meliputi manusia. Inilah azab yang pedih. Mereka berdoa, “Ya Allah, lenyapkanlah kami dari azab itu. Sesungguhnya kami akan beriman. ‘Bagaimanakah mereka dapat menerima peringatan, padahal mereka telah datang kepada mereka Rasul yang memberi peringatan kemudian mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata, ‘Dia adalah penerima ajaran dari orang dan ia adalah orang gila. Sungguh, jika Kami lenyapkan siksaan itu sebentar saja, pasti mereka akan (kembali) ingkar’.” (QS Ad-Dukhan: 10-15)
Ketiga, rutinkan diri memberikan ‘hadiah’ untuk Rasulullah SAW dengan bershalawat kepadanya. “Sungguh, Allah dan para malaikat bershalawat untuk Nabi, wahai orang yang beriman, bershalawatlah pada (Nabi) dan mohonlah keselamatan dengan keselamatan sesungguhnya.” (QS Al-Ahzab: 56). Wallahu a’lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/20/man0kd-hadapi-cercaan-dengan-shalawat
Hakikat Menyelami Nikmat Allah
Rabu, 19 September 2012, 17:42 WIB
Oleh: Makmun Nawawi
Dikisahkan, suatu hari di sebuah negeri, matahari tidak terbit. Para petani bangun pagi-pagi agar bisa berangkat ke sawah dan ladangnya, namun keadaan gelap gulita.
Para pegawai dan pekerja pun demikian, bangun sejak awal agar mereka bisa berangkat ke tempat tugasnya. Namun, kegelapan benar-benar pekat.
Hal yang sama juga menimpa pelajar dan mahasiswa di mana mereka tidak bisa berangkat ke tempat studinya karena gelap begitu mencekam.
Sepanjang hari itu, semua orang tidak ada yang melakukan aktivitas. Mereka semua menganggur dan kehidupan pun terhenti. Keadaan benar-benar chaos dan kacau balau. Bayi-bayi, tubuhnya menggigil dan lemas karena kedinginan. Kecemasan dan ketakutan menghantui semua orang.
Begitu tiba malam hari, bulan pun tidak tampak! Orang-orang pun semuanya berangkat ke tempat ibadahnya, meneriakkan selawat dan menghamburkan doa. Mereka berteriak histeris seraya merunduk berdoa agar matahari bisa kembali bersinar. Malam itu tidak ada seorang pun yang bisa memejamkan mata.
Keesokan harinya, saat pagi menjelang, ternyata matahari kembali bersinar dari orbitnya. Orang-orang pun saling bersahutan mengekspresikan kegirangan yang tiada terperi. Sambil mengangkat tangan ke langit, mereka pun tak henti-hentinya menggemakan puji syukur kepada Allah, seraya saling memberikan ucapan selamat satu sama lain di antara mereka.
Kemudian, salah seorang bijak bestari di negeri itu pun berujar, “Mengapa kalian hanya bersyukur kepada Allah lantaran terbitnya matahari di hari ini saja? Bukankah matahari itu bersinar setiap pagi (hari)? Bukankah kalian tahu kalau kalian sudah mereguk beragam nikmat Allah sepanjang masa?”
Itulah sebagian watak asli sekaligus kealpaan dan kelalaian manusia ketika mereka didera oleh berbagai macam kesulitan dan kepanikan, baru mereka kembali pada Allah (An-Nahl [16]: 53), seraya mengakui nikmat-Nya. Itu pun hanya terhadap sebagian kecil nikmat, padahal sudah teramat banyak nikmat Allah yang dicurahkan padanya (Ibrahim [14]: 32-34), yang tanpa disadarinya.
Kita baru bisa menyelami nikmat Allah jika bertalian dengan hal-hal material atau yang kasat mata, misalnya, diberikan harta melimpah, jabatan dan posisi yang enak, terbebas dari kecelakaan, lulus dalam testing sekolah atau pekerjaan, dan pendamping atau pasangan hidup yang setia.
Padahal, nikmat Allah itu terus dikucurkan pada hamba-Nya di setiap tarikan napas mereka, yang sekaligus menjadi penopang utama kehidupan mereka, tanpa mereka sadari. Misalnya, jantung yang terus berdetak, napas yang terus menghirup udara bebas, mata yang bisa menatap, mulut yang bisa bicara, hidung yang bisa mengendus rupa-rupa aroma, kuping yang bisa mendengar, kulit yang bisa merasakan dingin atau panas, kita bisa tidur, terjaga, jalan ke mana suka, dan seterusnya.
Tidak cukupkah kita dengan gugahan Allah yang berkali-kali dalam Surah Ar-Rahman, “Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Maka, betapa lancungnya dan tidak etis sekali jika kita hanya mau taat dan beribadah kepada Allah di kala kita didera kesulitan dan menyimpan segudang keinginan.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/19/malens-hakikat-menyelami-nikmat-allah
Oleh: Makmun Nawawi
Dikisahkan, suatu hari di sebuah negeri, matahari tidak terbit. Para petani bangun pagi-pagi agar bisa berangkat ke sawah dan ladangnya, namun keadaan gelap gulita.
Para pegawai dan pekerja pun demikian, bangun sejak awal agar mereka bisa berangkat ke tempat tugasnya. Namun, kegelapan benar-benar pekat.
Hal yang sama juga menimpa pelajar dan mahasiswa di mana mereka tidak bisa berangkat ke tempat studinya karena gelap begitu mencekam.
Sepanjang hari itu, semua orang tidak ada yang melakukan aktivitas. Mereka semua menganggur dan kehidupan pun terhenti. Keadaan benar-benar chaos dan kacau balau. Bayi-bayi, tubuhnya menggigil dan lemas karena kedinginan. Kecemasan dan ketakutan menghantui semua orang.
Begitu tiba malam hari, bulan pun tidak tampak! Orang-orang pun semuanya berangkat ke tempat ibadahnya, meneriakkan selawat dan menghamburkan doa. Mereka berteriak histeris seraya merunduk berdoa agar matahari bisa kembali bersinar. Malam itu tidak ada seorang pun yang bisa memejamkan mata.
Keesokan harinya, saat pagi menjelang, ternyata matahari kembali bersinar dari orbitnya. Orang-orang pun saling bersahutan mengekspresikan kegirangan yang tiada terperi. Sambil mengangkat tangan ke langit, mereka pun tak henti-hentinya menggemakan puji syukur kepada Allah, seraya saling memberikan ucapan selamat satu sama lain di antara mereka.
Kemudian, salah seorang bijak bestari di negeri itu pun berujar, “Mengapa kalian hanya bersyukur kepada Allah lantaran terbitnya matahari di hari ini saja? Bukankah matahari itu bersinar setiap pagi (hari)? Bukankah kalian tahu kalau kalian sudah mereguk beragam nikmat Allah sepanjang masa?”
Itulah sebagian watak asli sekaligus kealpaan dan kelalaian manusia ketika mereka didera oleh berbagai macam kesulitan dan kepanikan, baru mereka kembali pada Allah (An-Nahl [16]: 53), seraya mengakui nikmat-Nya. Itu pun hanya terhadap sebagian kecil nikmat, padahal sudah teramat banyak nikmat Allah yang dicurahkan padanya (Ibrahim [14]: 32-34), yang tanpa disadarinya.
Kita baru bisa menyelami nikmat Allah jika bertalian dengan hal-hal material atau yang kasat mata, misalnya, diberikan harta melimpah, jabatan dan posisi yang enak, terbebas dari kecelakaan, lulus dalam testing sekolah atau pekerjaan, dan pendamping atau pasangan hidup yang setia.
Padahal, nikmat Allah itu terus dikucurkan pada hamba-Nya di setiap tarikan napas mereka, yang sekaligus menjadi penopang utama kehidupan mereka, tanpa mereka sadari. Misalnya, jantung yang terus berdetak, napas yang terus menghirup udara bebas, mata yang bisa menatap, mulut yang bisa bicara, hidung yang bisa mengendus rupa-rupa aroma, kuping yang bisa mendengar, kulit yang bisa merasakan dingin atau panas, kita bisa tidur, terjaga, jalan ke mana suka, dan seterusnya.
Tidak cukupkah kita dengan gugahan Allah yang berkali-kali dalam Surah Ar-Rahman, “Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Maka, betapa lancungnya dan tidak etis sekali jika kita hanya mau taat dan beribadah kepada Allah di kala kita didera kesulitan dan menyimpan segudang keinginan.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/19/malens-hakikat-menyelami-nikmat-allah
Mengharap Berkah Allah
Sabtu, 08 September 2012, 18:23 WIB
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Berkah berarti selamat, tetap, langgeng baik, bertambah, tumbuh dan membahagiakan. Keberkahan datangnya dari Allah bukan dari manusia. Oleh karenanya, meminta keberkahan harus pula kepada-Nya, bukan kepada selain diri-Nya.
Di dalam Alquran, Allah SWT telah memberikan keberkahan pada bumi, seperti tersebut dalam firman-Nya, "Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya." (QS. Fushshsilat: 10).
Manusia pada umumnya hanya minta keberkahan kepada Allah SWT dalam masalah rezeki. “Ya Allah, berikan kepada kami keberkahan atas rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (HR. Thabrani).
Padahal, keberkahan seharusnya diminta dalam segala hal, sebagaimana petunjuk Rasulullah SAW yang mendoakan keberkahan bagi banyak sahabat-nya.
Tiba di suatu tempat, rumah, kota atau negara hendaknya seseorang berdoa, "Ya Tuhanku, tempatkanlah aku di tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang Memberi Tempat." (QS. Al Mukminun: 29).
Mendengar karib kerabat menikah, hendaknya kita memberikan ucapan selamat dengan mendoakan keberkahan, "Semoga keberkahan Allah untukmu dan atasmu serta semoga kalian berdua dikumpulkan dalam kebaikan." (HR. Abu Daud).
Bila Allah menganugerahkan keturunan kepada seseorang, hendaknya kita juga mengucapkan selamat dan doa keberkahan, "Engkau telah berterima kasih kepada Yang Mahapemberi, keberkahan bagimu pada pemberian ini, semoga anak itu mencapai dewasa dan kamu mendapatkan bakti darinya.” (Musnad Ibnu Al-Ja’d).
Singkat kata, keberkahan merupakan doa dan permintaan seorang Muslim kepada Allah SWT. Sebab, Rasulullah SAW senantiasa mendoakan orang yang dicintainya dengan keberkahan, baik dalam masalah umur, keturunan, rezeki, harta, tempat, pernikahan, kelahiran dan lain sebagainya.
Rasul SAW berdoa untuk Anas RA, “Ya Allah, berilah rezeki, harta dan keturunan dan berikan keberkahan kepadanya.” (HR. Bukhari). Doa Rasul dikabulkan, sehingga Anas termasuk di antara kaum Anshar yang paling banyak harta dan keturunannya.
Setiap orang tidak akan terlepas dari keberkahan yang datangnya dari Allah SWT semiskin apa pun keadaannya, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dalam mengisahkan cerita Nabi Ayyub AS, "Ya Tuhan, aku tidak akan terlepas dari keberkahan-Mu." (HR. Bukhari).
Di dalam keberkahan terdapat makna keimanan dan kesyukuran, sehingga jika keberkahan diberikan kepada seseorang maka rezekinya akan bertambah; keturunannya akan dijaga; fisiknya akan akan dilindungi dan disehatkan; umurnya menjadi lebih bermanfaat; istrinya akan menyenangkan dan taat; serta kehidupannya akan tenang, tentram dan bahagia. Maka di dalam setiap keberkahan senantiasa teriringi empat sifat: kebaikan, kebahagiaan, tumbuh dan berkembang. Wallahu a'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/08/ma1192-mengharap-berkah-allah
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Berkah berarti selamat, tetap, langgeng baik, bertambah, tumbuh dan membahagiakan. Keberkahan datangnya dari Allah bukan dari manusia. Oleh karenanya, meminta keberkahan harus pula kepada-Nya, bukan kepada selain diri-Nya.
Di dalam Alquran, Allah SWT telah memberikan keberkahan pada bumi, seperti tersebut dalam firman-Nya, "Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya." (QS. Fushshsilat: 10).
Manusia pada umumnya hanya minta keberkahan kepada Allah SWT dalam masalah rezeki. “Ya Allah, berikan kepada kami keberkahan atas rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (HR. Thabrani).
Padahal, keberkahan seharusnya diminta dalam segala hal, sebagaimana petunjuk Rasulullah SAW yang mendoakan keberkahan bagi banyak sahabat-nya.
Tiba di suatu tempat, rumah, kota atau negara hendaknya seseorang berdoa, "Ya Tuhanku, tempatkanlah aku di tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang Memberi Tempat." (QS. Al Mukminun: 29).
Mendengar karib kerabat menikah, hendaknya kita memberikan ucapan selamat dengan mendoakan keberkahan, "Semoga keberkahan Allah untukmu dan atasmu serta semoga kalian berdua dikumpulkan dalam kebaikan." (HR. Abu Daud).
Bila Allah menganugerahkan keturunan kepada seseorang, hendaknya kita juga mengucapkan selamat dan doa keberkahan, "Engkau telah berterima kasih kepada Yang Mahapemberi, keberkahan bagimu pada pemberian ini, semoga anak itu mencapai dewasa dan kamu mendapatkan bakti darinya.” (Musnad Ibnu Al-Ja’d).
Singkat kata, keberkahan merupakan doa dan permintaan seorang Muslim kepada Allah SWT. Sebab, Rasulullah SAW senantiasa mendoakan orang yang dicintainya dengan keberkahan, baik dalam masalah umur, keturunan, rezeki, harta, tempat, pernikahan, kelahiran dan lain sebagainya.
Rasul SAW berdoa untuk Anas RA, “Ya Allah, berilah rezeki, harta dan keturunan dan berikan keberkahan kepadanya.” (HR. Bukhari). Doa Rasul dikabulkan, sehingga Anas termasuk di antara kaum Anshar yang paling banyak harta dan keturunannya.
Setiap orang tidak akan terlepas dari keberkahan yang datangnya dari Allah SWT semiskin apa pun keadaannya, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dalam mengisahkan cerita Nabi Ayyub AS, "Ya Tuhan, aku tidak akan terlepas dari keberkahan-Mu." (HR. Bukhari).
Di dalam keberkahan terdapat makna keimanan dan kesyukuran, sehingga jika keberkahan diberikan kepada seseorang maka rezekinya akan bertambah; keturunannya akan dijaga; fisiknya akan akan dilindungi dan disehatkan; umurnya menjadi lebih bermanfaat; istrinya akan menyenangkan dan taat; serta kehidupannya akan tenang, tentram dan bahagia. Maka di dalam setiap keberkahan senantiasa teriringi empat sifat: kebaikan, kebahagiaan, tumbuh dan berkembang. Wallahu a'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/08/ma1192-mengharap-berkah-allah
Berkah dan Balasan Sedekah
Senin, 10 September 2012, 06:25 WIB
Oleh: Moch Hisyam
Dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Abdullah ibnu Mubarak, ulama termasyhur abad ke-12 (1118 M/797 H) singgah di Kota Kufah, Irak. Di kota itu, ia melihat seorang wanita sedang mencabuti bulu itik di tempat sampah.
Dalam hatinya, Ibnu Mubarak merasa bahwa itik itu sudah mati dan telah menjadi bangkai. Ia pun menanyakan hal tersebut kepada si. “Apakah itik ini bangkai atau sudah disembelih?”
Wanita itu menjawab dengan tegas bahwa hewan itu sudah menjadi bangkai dan ia akan tetap mengambilnya untuk dimakan bersama keluarganya.
Karena tak ingin hal itu menimbulkan kemudharatan kepada wanita tersebut maka Ibnu Mubarak terus menanyakan. “Bukankah Nabi SAW telah mengharamkan daging bangkai?” ujar Ibnu Mubarak. Namun demikian, wanita itu tetap pada pendiriannya.
Ia pun membentak dan memerintahkan Ibnu Mubarak untuk meninggalkan dirinya dengan bangkai tersebut. “Sudah, pergilah kau dari sini!
Tapi, Ibnu Mubarak tetap bertahan dan terus menanyakannya, hingga akhirnya wanita itu membuka rahasianya. Wanita itu menjawab, “Aku mempunyai putra yang masih kecil-kecil, sudah tiga hari mereka tidak makan, sehingga aku terpaksa memberi mereka daging bangkai ini.”
Mendengar jawaban sedih wanita itu, Abdullah bin Mubarak segera pergi kembali mengambil makanan dan pakaian, yang diangkut dengan menggunakan keledainya. Kemudian, ia kembali ke tempat wanita itu. Setelah bertemu muka, ia berkata, “Ini uang, pakaian, dan makanan. Ambillah berikut keledai dan segala yang ada padanya!”
Kemudian, Ibnu Mubarak tinggal di kota itu karena waktu haji telah lewat. Akhirnya, ketika orang-orang telah menunaikan haji pulang kembali ke negeri mereka, maka Abdullah pulang juga bersama mereka.
Setelah tiba di kotanya, orang-orang datang kepadanya sambil mengucapkan selamat karena telah menunaikan ibadah haji. Tetapi, Ibnu Mubarak menjawab, “Tahun ini aku tidak jadi naik haji!”
Seseorang menegurnya, “Subhanallah, bukankah aku telah menitipkan uangku kepada Anda, lalu aku ambil kembali di Arafah?” Yang lain berkata, “Bukankah Anda telah memberi minum di suatu tempat dulu?” Sementara yang lain berkata pula, “Bukankah Anda telah membelikanku ini dan itu?”
Abdullah menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang kalian katakan, sebab aku tidak jadi naik haji pada tahun ini.” Pada intinya, mereka yang menemui Abdullah ibnu Mubarak menyaksikan dirinya menunaikan ibadah haji.
Pada malam harinya, di kala tidur, Abdullah ibnu Mubarak bermimpi. Ia mendengar suara gaib yang mengatakan, “Hai Abdullah, sesungguhnya Allah telah menerima sedekahmu dan telah mengutus seorang malaikat menyerupai dirimu untuk melaksanakan ibadah haji sebagai ganti dirimu!”
Kisah yang terdapat dalam kitab “An-Nawadir” karya Ahmad Syihabudin bin Salamah Al-Qalyubiy ini memberikan pelajaran kepada kita untuk lebih mendahulukan membantu orang yang membutuhkan uluran tangan, ketimbang melaksanakan haji berkali-kali. Apalagi bila hanya untuk memuaskan nafsu semata. Wallahu a’lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/09/ma30le-berkah-dan-balasan-sedekah
Oleh: Moch Hisyam
Dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Abdullah ibnu Mubarak, ulama termasyhur abad ke-12 (1118 M/797 H) singgah di Kota Kufah, Irak. Di kota itu, ia melihat seorang wanita sedang mencabuti bulu itik di tempat sampah.
Dalam hatinya, Ibnu Mubarak merasa bahwa itik itu sudah mati dan telah menjadi bangkai. Ia pun menanyakan hal tersebut kepada si. “Apakah itik ini bangkai atau sudah disembelih?”
Wanita itu menjawab dengan tegas bahwa hewan itu sudah menjadi bangkai dan ia akan tetap mengambilnya untuk dimakan bersama keluarganya.
Karena tak ingin hal itu menimbulkan kemudharatan kepada wanita tersebut maka Ibnu Mubarak terus menanyakan. “Bukankah Nabi SAW telah mengharamkan daging bangkai?” ujar Ibnu Mubarak. Namun demikian, wanita itu tetap pada pendiriannya.
Ia pun membentak dan memerintahkan Ibnu Mubarak untuk meninggalkan dirinya dengan bangkai tersebut. “Sudah, pergilah kau dari sini!
Tapi, Ibnu Mubarak tetap bertahan dan terus menanyakannya, hingga akhirnya wanita itu membuka rahasianya. Wanita itu menjawab, “Aku mempunyai putra yang masih kecil-kecil, sudah tiga hari mereka tidak makan, sehingga aku terpaksa memberi mereka daging bangkai ini.”
Mendengar jawaban sedih wanita itu, Abdullah bin Mubarak segera pergi kembali mengambil makanan dan pakaian, yang diangkut dengan menggunakan keledainya. Kemudian, ia kembali ke tempat wanita itu. Setelah bertemu muka, ia berkata, “Ini uang, pakaian, dan makanan. Ambillah berikut keledai dan segala yang ada padanya!”
Kemudian, Ibnu Mubarak tinggal di kota itu karena waktu haji telah lewat. Akhirnya, ketika orang-orang telah menunaikan haji pulang kembali ke negeri mereka, maka Abdullah pulang juga bersama mereka.
Setelah tiba di kotanya, orang-orang datang kepadanya sambil mengucapkan selamat karena telah menunaikan ibadah haji. Tetapi, Ibnu Mubarak menjawab, “Tahun ini aku tidak jadi naik haji!”
Seseorang menegurnya, “Subhanallah, bukankah aku telah menitipkan uangku kepada Anda, lalu aku ambil kembali di Arafah?” Yang lain berkata, “Bukankah Anda telah memberi minum di suatu tempat dulu?” Sementara yang lain berkata pula, “Bukankah Anda telah membelikanku ini dan itu?”
Abdullah menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang kalian katakan, sebab aku tidak jadi naik haji pada tahun ini.” Pada intinya, mereka yang menemui Abdullah ibnu Mubarak menyaksikan dirinya menunaikan ibadah haji.
Pada malam harinya, di kala tidur, Abdullah ibnu Mubarak bermimpi. Ia mendengar suara gaib yang mengatakan, “Hai Abdullah, sesungguhnya Allah telah menerima sedekahmu dan telah mengutus seorang malaikat menyerupai dirimu untuk melaksanakan ibadah haji sebagai ganti dirimu!”
Kisah yang terdapat dalam kitab “An-Nawadir” karya Ahmad Syihabudin bin Salamah Al-Qalyubiy ini memberikan pelajaran kepada kita untuk lebih mendahulukan membantu orang yang membutuhkan uluran tangan, ketimbang melaksanakan haji berkali-kali. Apalagi bila hanya untuk memuaskan nafsu semata. Wallahu a’lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/09/ma30le-berkah-dan-balasan-sedekah
Sebab-Sebab Turunnya Keberkahan
Senin, 10 September 2012, 21:10 WIB
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Keberkahan bukanlah pemberian Allah yang tiba-tiba dengan tanpa sebab diturunkan kepada seseorang. Keberkahan merupakan sesuatu yang senantiasa diminta dan harus diupayakan oleh setiap manusia kepada pemiliknya, Allah SWT.
Di antara sebab-sebab turunnya keberkahan adalah: Pertama, mendasari keimanan dan ketakwaan dalam sebuah kegiatan atau usaha. Allah SWT berfirman, "Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS. Al-A'raf: 96).
Kedua, beramal saleh dan berikhtiar memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan semua makhluk-Nya. Allah SWT berfirman, "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97).
Ketiga, memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah karena pada hakikatnya Dialah pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda, "Berkumpullah kalian atas makanan dan sebutlah nama Allah, maka Allah akan memberikan keberkahan pada kalian di dalamnya." (HR. Abu Daud).
Keempat, menyegerakan diri dalam kebaikan dan membuang rasa malas di pagi hari. Rasulullah SAW mendoakan keberkahan bagi orang-orang yang menyegerakan diri dan bersemangat di pagi hari dalam meraih sukses melalui doanya, "Ya Allah, berkahilah umatku yang (bersemangat ) di pagi harinya." (HR. Abu Daud).
Kelima, berlaku jujur dan melayani pelanggan dengan baik dan ihlas. Rasulullah SAW bersabda, “Penjual dan pembeli itu diberi pilihan selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menjelaskan (kondisi barangnya), maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Namun bila keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka akan dihilangkan keberkahan jual beli keduanya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Pada tingkat tertentu, keberkahan tidak selalu bersifat definitif dalam arti selamat, tetap, langgeng, baik, bertambah, dan tumbuh melainkan berati puas dan rela dengan pemberian dan pembagian yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam kategori ini orang-orang yang mendapatkan keberkahan juga merasakan hidup dengan perasaan nyaman dan bahagia.
Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah menguji hamba dengan pemberian-Nya. Barang siapa rela dengan pembagian Allah terhadapnya, maka Allah akan memberikan keberkahan baginya dan akan memperluasnya. Dan barang siapa tidak rela, maka tidak akan mendapatkan keberkahan.” (HR. Ahmad).
Semoga Allah SWT memberikan keberkahan terhadap rezeki, kediaman, keturunan dan semua anugerah yang diamanahkan kepada kita serta memberi kekuatan untuk senantiasa taat menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan melimpahkan kepuasan kepada kita atas pemberian-Nya. Wallahu a'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/10/ma4tr9-sebabsebab-turunnya-keberkahan
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Keberkahan bukanlah pemberian Allah yang tiba-tiba dengan tanpa sebab diturunkan kepada seseorang. Keberkahan merupakan sesuatu yang senantiasa diminta dan harus diupayakan oleh setiap manusia kepada pemiliknya, Allah SWT.
Di antara sebab-sebab turunnya keberkahan adalah: Pertama, mendasari keimanan dan ketakwaan dalam sebuah kegiatan atau usaha. Allah SWT berfirman, "Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS. Al-A'raf: 96).
Kedua, beramal saleh dan berikhtiar memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan semua makhluk-Nya. Allah SWT berfirman, "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97).
Ketiga, memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah karena pada hakikatnya Dialah pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda, "Berkumpullah kalian atas makanan dan sebutlah nama Allah, maka Allah akan memberikan keberkahan pada kalian di dalamnya." (HR. Abu Daud).
Keempat, menyegerakan diri dalam kebaikan dan membuang rasa malas di pagi hari. Rasulullah SAW mendoakan keberkahan bagi orang-orang yang menyegerakan diri dan bersemangat di pagi hari dalam meraih sukses melalui doanya, "Ya Allah, berkahilah umatku yang (bersemangat ) di pagi harinya." (HR. Abu Daud).
Kelima, berlaku jujur dan melayani pelanggan dengan baik dan ihlas. Rasulullah SAW bersabda, “Penjual dan pembeli itu diberi pilihan selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menjelaskan (kondisi barangnya), maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Namun bila keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka akan dihilangkan keberkahan jual beli keduanya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Pada tingkat tertentu, keberkahan tidak selalu bersifat definitif dalam arti selamat, tetap, langgeng, baik, bertambah, dan tumbuh melainkan berati puas dan rela dengan pemberian dan pembagian yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam kategori ini orang-orang yang mendapatkan keberkahan juga merasakan hidup dengan perasaan nyaman dan bahagia.
Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah menguji hamba dengan pemberian-Nya. Barang siapa rela dengan pembagian Allah terhadapnya, maka Allah akan memberikan keberkahan baginya dan akan memperluasnya. Dan barang siapa tidak rela, maka tidak akan mendapatkan keberkahan.” (HR. Ahmad).
Semoga Allah SWT memberikan keberkahan terhadap rezeki, kediaman, keturunan dan semua anugerah yang diamanahkan kepada kita serta memberi kekuatan untuk senantiasa taat menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan melimpahkan kepuasan kepada kita atas pemberian-Nya. Wallahu a'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/10/ma4tr9-sebabsebab-turunnya-keberkahan
Inilah 3 Tugas Utama Imam Mahdi di Hari Akhir
Senin, 10 September 2012, 15:04 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Pada Hari Akhir akan muncul kekacauan yang mengerikan. Menurut cendekiawan Muslim, Harun Yahya, Hari Akhir berarti 'masa terakhir.'
''Menurut kitab-kitab Islam, hal ini berarti sebuah periode waktu yang dekat dengan Hari Kiamat,'' ujarnya.
Ia menuturkan, pada hari akhir itu Allah akan memerintahkan seorang hamba yang mempunyai akhlak yang mulia, yang dikenal sebagai Al Mahdi (pemberi petunjuk ke arah kebenaran).
Imam Mahdi itulah yana akan mengajak umat manusia kembali ke jalan yang benar. Tugas pertama Al Mahdi adalah mengobarkanperang pemikiran di dalam dunia Islam dan mengembalikan umat Muslin yang telah jauh dari intisari Islam sejati, menuju iman dan akhlak sesungguhnya.
''Dalam hal ini, Al Mahdi mempunyai tiga tugas dasar,'' ujar Harun Yahya. Berikut ini ketiga tugas Imam Mahdi itu:
1. Menghancurkan seluruh sistem filsafat yang mengingkari keberadaan Allah SWT.
2. Memerangi takhayul dengan membebaskan Islam penindasan orang-orang munafik yang telah menyimpangkan agama, dan kemudian mengungkap dan melaksanakan akhlak Islam sejati yang didasarkan pada aturan Alquran.
3. Memperkuat seluruh dunia Islam, baik secara politik maupun sosial, dan kemudian mengembangkan perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan serta memecahkan berbagai masalah kemasyarakatan.
''Menurut sejumlah besar hadis, Nabi 'Isa AS akan turun ke bumi pada waktu bersamaan dan akan menyeru seluruh pemeluk Kristen dan Yahudi, khususnya, untuk meninggalkan berbagai kepercayaan takhayul yang diyakini oleh mereka pada saat ini dan hidup menurut Alquran,'' papar Harun Yahya.
Menurut dia, ketika pemeluk Kristen telah mendengarkannya, umat Islam dan Kristen akan bersama di bawah satu keimanan dan dunia ini akan mengalami zaman perdamaian, keamanan, kebahagian, dan kesejahteraan terbesar yang dikenal sebagai Masa Keemasan.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber: harunyahya.com
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/09/10/ma4jr6-inilah-3-tugas-utama-imam-mahdi-di-hari-akhir
REPUBLIKA.CO.ID, Pada Hari Akhir akan muncul kekacauan yang mengerikan. Menurut cendekiawan Muslim, Harun Yahya, Hari Akhir berarti 'masa terakhir.'
''Menurut kitab-kitab Islam, hal ini berarti sebuah periode waktu yang dekat dengan Hari Kiamat,'' ujarnya.
Ia menuturkan, pada hari akhir itu Allah akan memerintahkan seorang hamba yang mempunyai akhlak yang mulia, yang dikenal sebagai Al Mahdi (pemberi petunjuk ke arah kebenaran).
Imam Mahdi itulah yana akan mengajak umat manusia kembali ke jalan yang benar. Tugas pertama Al Mahdi adalah mengobarkanperang pemikiran di dalam dunia Islam dan mengembalikan umat Muslin yang telah jauh dari intisari Islam sejati, menuju iman dan akhlak sesungguhnya.
''Dalam hal ini, Al Mahdi mempunyai tiga tugas dasar,'' ujar Harun Yahya. Berikut ini ketiga tugas Imam Mahdi itu:
1. Menghancurkan seluruh sistem filsafat yang mengingkari keberadaan Allah SWT.
2. Memerangi takhayul dengan membebaskan Islam penindasan orang-orang munafik yang telah menyimpangkan agama, dan kemudian mengungkap dan melaksanakan akhlak Islam sejati yang didasarkan pada aturan Alquran.
3. Memperkuat seluruh dunia Islam, baik secara politik maupun sosial, dan kemudian mengembangkan perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan serta memecahkan berbagai masalah kemasyarakatan.
''Menurut sejumlah besar hadis, Nabi 'Isa AS akan turun ke bumi pada waktu bersamaan dan akan menyeru seluruh pemeluk Kristen dan Yahudi, khususnya, untuk meninggalkan berbagai kepercayaan takhayul yang diyakini oleh mereka pada saat ini dan hidup menurut Alquran,'' papar Harun Yahya.
Menurut dia, ketika pemeluk Kristen telah mendengarkannya, umat Islam dan Kristen akan bersama di bawah satu keimanan dan dunia ini akan mengalami zaman perdamaian, keamanan, kebahagian, dan kesejahteraan terbesar yang dikenal sebagai Masa Keemasan.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber: harunyahya.com
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/09/10/ma4jr6-inilah-3-tugas-utama-imam-mahdi-di-hari-akhir
Enam Keutamaan Silaturahim
Kamis, 06 September 2012, 16:29 WIB
Oleh: Ruswanto
Silaturahim merupakan salah satu kewajiban bagi setiap pribadi Muslim. Dalam Alquran, Allah menegaskan, “Dan bertakwalah kepada Allah yang kalian saling meminta dengan nama-Nya dan sambunglah tali silaturahim.’ (QS. An-Nisa [4]:1).
“Sebarkanlah salam, sambunglah tali silaturahim, dan shalatlah ketika manusia tidur (tahajud) niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga pemutus tali silaturahim.”
Dalil-dalil di atas menunjukkan arti penting akan kewajiban silaturahim. Sebab, di dalamnya terdapat banyak keutamaan dan keistimewaan. Di antaranya, pertama, dengan silaturahim, kita bisa saling mengenal antara yang satu dan yang lainnya (QS Al-Hujurat [49]: 13). Dengan silaturahim, kasih sayang dan kerja sama yang positif bisa diwujudkan.
Kedua, dengan silaturahim, persatuan dan kesatuan (ukhuwah Islamiah) akan dapat dibangun. Dengan silaturahim, akan timbul rasa saling membutuhkan, solidaritas, dialog, pengertian, dan menguatkan kerjasama dalam perjuangan yang kokoh.
Rasulullah SAW bersabda, “Tangan Allah berada di atas jamaah.” Dalam hadis lain dikatakan, “Persatuan (al-jamaah) itu rahmat dan perpecahan (al-firqah) adalah azab.”
Berdasarkan hadis di atas, Allah SWT senantiasa akan menolong hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersatu dan menjauhkan diri dari perpecahan.
Hal ini terbukti dalam sejarah Islam ketika umat Islam bersatu, Allah menolong mereka hingga mampu menguasai sejumlah wilayah bahkan mampu menundukkan dua imperium besar, yakni Romawi dan Persia. Sebaliknya, pada saat umat Islam berpecah belah, terjadilah perang saudara dan saling membunuh hingga merusak kekuatan Islam.
Ketiga, dengan silaturahim, berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat akan mudah diatasi. Baik masalah ekonomi, pendidikan, kebudayaan, maupun lainnya. Keempat, silaturahim juga akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan horizontal yang terjadi di masyarakat.
Sebab, dengan mengedepankan kasih sayang, sikap emosional dalam diri umat yang bisa memicu permusuhan dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian, akar persoalan pun akan ditemukan dan bisa diselesaikan dengan damai.
Kelima, dengan silaturahim, berbagai ide-ide dan gagasan yang brilian, inovasi-inovasi, program-program, dan kegiatan-kegiatan yang positif juga bisa diwujudkan.
Ketika umat Islam berkumpul dalam kasih sayang dan semangat kebersamaan, akan muncul ide-ide kreatif dalam memacu umat untuk mencapai kemakmuran bersama. Kondisi ini jauh lebih bermanfaat di bandingkan sendirian. Dan sesungguhnya, kejayaan umat Islam di masa lalu berawal dari silaturahim.
Keenam, dengan silaturahim, akan banyak ilmu pengetahuan yang tersebar. Dengan demikian, akan banyak pula ilmu dan wawasan yang bisa diserap darinya. Dari sini diketahui bahwa silaturahim menjadi media menumbuhkan wawasan persatuan dan kesatuan.
Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk senantiasa menyambung silaturahim demi memperkuat ukhuwah Islamiah (sesama umat Islam), ukhuwah basyariah (kemanusiaan), dan ukhuwah wathaniah (semangat cinta tanah air).
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/06/m9x914-enam-keutamaan-silaturahim
Oleh: Ruswanto
Silaturahim merupakan salah satu kewajiban bagi setiap pribadi Muslim. Dalam Alquran, Allah menegaskan, “Dan bertakwalah kepada Allah yang kalian saling meminta dengan nama-Nya dan sambunglah tali silaturahim.’ (QS. An-Nisa [4]:1).
“Sebarkanlah salam, sambunglah tali silaturahim, dan shalatlah ketika manusia tidur (tahajud) niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga pemutus tali silaturahim.”
Dalil-dalil di atas menunjukkan arti penting akan kewajiban silaturahim. Sebab, di dalamnya terdapat banyak keutamaan dan keistimewaan. Di antaranya, pertama, dengan silaturahim, kita bisa saling mengenal antara yang satu dan yang lainnya (QS Al-Hujurat [49]: 13). Dengan silaturahim, kasih sayang dan kerja sama yang positif bisa diwujudkan.
Kedua, dengan silaturahim, persatuan dan kesatuan (ukhuwah Islamiah) akan dapat dibangun. Dengan silaturahim, akan timbul rasa saling membutuhkan, solidaritas, dialog, pengertian, dan menguatkan kerjasama dalam perjuangan yang kokoh.
Rasulullah SAW bersabda, “Tangan Allah berada di atas jamaah.” Dalam hadis lain dikatakan, “Persatuan (al-jamaah) itu rahmat dan perpecahan (al-firqah) adalah azab.”
Berdasarkan hadis di atas, Allah SWT senantiasa akan menolong hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersatu dan menjauhkan diri dari perpecahan.
Hal ini terbukti dalam sejarah Islam ketika umat Islam bersatu, Allah menolong mereka hingga mampu menguasai sejumlah wilayah bahkan mampu menundukkan dua imperium besar, yakni Romawi dan Persia. Sebaliknya, pada saat umat Islam berpecah belah, terjadilah perang saudara dan saling membunuh hingga merusak kekuatan Islam.
Ketiga, dengan silaturahim, berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat akan mudah diatasi. Baik masalah ekonomi, pendidikan, kebudayaan, maupun lainnya. Keempat, silaturahim juga akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan horizontal yang terjadi di masyarakat.
Sebab, dengan mengedepankan kasih sayang, sikap emosional dalam diri umat yang bisa memicu permusuhan dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian, akar persoalan pun akan ditemukan dan bisa diselesaikan dengan damai.
Kelima, dengan silaturahim, berbagai ide-ide dan gagasan yang brilian, inovasi-inovasi, program-program, dan kegiatan-kegiatan yang positif juga bisa diwujudkan.
Ketika umat Islam berkumpul dalam kasih sayang dan semangat kebersamaan, akan muncul ide-ide kreatif dalam memacu umat untuk mencapai kemakmuran bersama. Kondisi ini jauh lebih bermanfaat di bandingkan sendirian. Dan sesungguhnya, kejayaan umat Islam di masa lalu berawal dari silaturahim.
Keenam, dengan silaturahim, akan banyak ilmu pengetahuan yang tersebar. Dengan demikian, akan banyak pula ilmu dan wawasan yang bisa diserap darinya. Dari sini diketahui bahwa silaturahim menjadi media menumbuhkan wawasan persatuan dan kesatuan.
Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk senantiasa menyambung silaturahim demi memperkuat ukhuwah Islamiah (sesama umat Islam), ukhuwah basyariah (kemanusiaan), dan ukhuwah wathaniah (semangat cinta tanah air).
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/06/m9x914-enam-keutamaan-silaturahim
Rezeki yang Tertahan
Rabu, 05 September 2012, 13:37 WIB
Oleh: Abu Albi Bambang Wijonarso
Allah SWT menciptakan semua makhluk telah sempurna dengan pembagian rezekinya. Tidak ada satu pun yang akan ditelantarkan-Nya, termasuk kita. Yang dibutuhkan adalah mau atau tidak kita mencarinya. Yang lebih tinggi lagi, benar atau tidak cara mendapatkannya.
Rezeki di sini tentu bukan sekadar uang. Ilmu, kesehatan, ketenteraman jiwa, pasangan hidup, keturunan, nama baik, persaudaraan, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya termasuk pula rezeki, bahkan lebih tinggi nilainya dibanding uang dan lainnya.
Walau demikian, ada banyak orang yang dipusingkan oleh masalah pembagian rezeki ini. Dia merasa rezekinya sedang seret, padahal sudah berusaha maksimal mencarinya.
Ada banyak penyebab, mungkin cara mencarinya yang kurang profesional, kurang serius mengusahakannya, atau ada kondisi yang menyebabkan Allah Azza wa Jalla menahan rezeki yang bersangkutan. Setidaknya ada lima hal yang menghalangi aliran rezeki.
Pertama, lepasnya ketawakalan dari hati. Kita menggantungkan diri kepada selain Allah. Kita berusaha, namun usaha yang kita lakukan tidak dikaitkan dengan-Nya. Padahal, Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya. “Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. Ath-Thalaq [63]: 3).
Kedua, karena dosa. Dosa adalah penghalang datangnya rezeki. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seseorang terjauh dari rezeki disebabkan oleh perbuatan dosanya.” (HR Ahmad).
Ketiga, bermaksiat saat mencari nafkah. Apakah pekerjaan kita dihalalkan agama? Kecurangan dalam mencari nafkah, entah itu korupsi, manipulasi, akan membuat rezeki kita tidak berkah.
Mungkin uang kita dapat, namun berkah dari uang tersebut telah hilang. Apa ciri rezeki yang tidak berkah? Mudah menguap untuk hal sia-sia dan tidak membawa ketenangan, sulit dipakai untuk taat kepada Allah serta membawa penyakit. Bila kita telanjur melakukannya, segera bertobat dan kembalikan harta tersebut kepada yang berhak menerimanya.
Keempat, pekerjaan yang melalaikan kita dari mengingat Allah. Banyak aktivitas kita yang membuat hubungan kita dengan Allah makin menjauh. Kita disibukkan oleh kerja, sehingga lupa shalat, lupa membaca Alquran, lupa mendidik keluarga, lupa menuntut ilmu agama, lupa menjalankan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Akibatnya, pekerjaan kita tidak berkah.
Jika sudah demikian, jangan heran bila rezeki kita akan tersumbat. Idealnya, semua pekerjaan harus membuat kita semakin dekat pada Allah. Sibuk boleh, namun jangan sampai hak-hak Allah kita abaikan. Saudaraku, bencana sesungguhnya bukanlah bencana alam yang menimpa orang lain. Bencana sesungguhnya adalah saat kita semakin jauh dari Allah.
Kelima, enggan bersedekah. Siapa pun yang pelit, niscaya hidupnya akan sempit, rezekinya mampet. Sebaliknya, sedekah adalah penolak bala, penyubur kebaikan, serta pelipat ganda rezeki. Sedekah bagaikan sebutir benih menumbuhkan tujuh butir, yang pada tiap-tiap butir itu terurai seratus biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus kali lipat. (QS al- Baqarah [2]: 261). Wallahu a’lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/05/m9v6eu-rezeki-yang-tertahan
Oleh: Abu Albi Bambang Wijonarso
Allah SWT menciptakan semua makhluk telah sempurna dengan pembagian rezekinya. Tidak ada satu pun yang akan ditelantarkan-Nya, termasuk kita. Yang dibutuhkan adalah mau atau tidak kita mencarinya. Yang lebih tinggi lagi, benar atau tidak cara mendapatkannya.
Rezeki di sini tentu bukan sekadar uang. Ilmu, kesehatan, ketenteraman jiwa, pasangan hidup, keturunan, nama baik, persaudaraan, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya termasuk pula rezeki, bahkan lebih tinggi nilainya dibanding uang dan lainnya.
Walau demikian, ada banyak orang yang dipusingkan oleh masalah pembagian rezeki ini. Dia merasa rezekinya sedang seret, padahal sudah berusaha maksimal mencarinya.
Ada banyak penyebab, mungkin cara mencarinya yang kurang profesional, kurang serius mengusahakannya, atau ada kondisi yang menyebabkan Allah Azza wa Jalla menahan rezeki yang bersangkutan. Setidaknya ada lima hal yang menghalangi aliran rezeki.
Pertama, lepasnya ketawakalan dari hati. Kita menggantungkan diri kepada selain Allah. Kita berusaha, namun usaha yang kita lakukan tidak dikaitkan dengan-Nya. Padahal, Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya. “Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. Ath-Thalaq [63]: 3).
Kedua, karena dosa. Dosa adalah penghalang datangnya rezeki. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seseorang terjauh dari rezeki disebabkan oleh perbuatan dosanya.” (HR Ahmad).
Ketiga, bermaksiat saat mencari nafkah. Apakah pekerjaan kita dihalalkan agama? Kecurangan dalam mencari nafkah, entah itu korupsi, manipulasi, akan membuat rezeki kita tidak berkah.
Mungkin uang kita dapat, namun berkah dari uang tersebut telah hilang. Apa ciri rezeki yang tidak berkah? Mudah menguap untuk hal sia-sia dan tidak membawa ketenangan, sulit dipakai untuk taat kepada Allah serta membawa penyakit. Bila kita telanjur melakukannya, segera bertobat dan kembalikan harta tersebut kepada yang berhak menerimanya.
Keempat, pekerjaan yang melalaikan kita dari mengingat Allah. Banyak aktivitas kita yang membuat hubungan kita dengan Allah makin menjauh. Kita disibukkan oleh kerja, sehingga lupa shalat, lupa membaca Alquran, lupa mendidik keluarga, lupa menuntut ilmu agama, lupa menjalankan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Akibatnya, pekerjaan kita tidak berkah.
Jika sudah demikian, jangan heran bila rezeki kita akan tersumbat. Idealnya, semua pekerjaan harus membuat kita semakin dekat pada Allah. Sibuk boleh, namun jangan sampai hak-hak Allah kita abaikan. Saudaraku, bencana sesungguhnya bukanlah bencana alam yang menimpa orang lain. Bencana sesungguhnya adalah saat kita semakin jauh dari Allah.
Kelima, enggan bersedekah. Siapa pun yang pelit, niscaya hidupnya akan sempit, rezekinya mampet. Sebaliknya, sedekah adalah penolak bala, penyubur kebaikan, serta pelipat ganda rezeki. Sedekah bagaikan sebutir benih menumbuhkan tujuh butir, yang pada tiap-tiap butir itu terurai seratus biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus kali lipat. (QS al- Baqarah [2]: 261). Wallahu a’lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/05/m9v6eu-rezeki-yang-tertahan
Subhanallah, Wudhu Antarkan Bilal bin Rabah Menjadi Penghuni Surga
Selasa, 04 September 2012, 13:33 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Makmun Nawawi
Seorang kiai melakukan perjalanan bersama santri-santrinya. Di tengah perjalanan, ternyata masuk waktu (Zhuhur). Kemudian sang kiai, yang selalu mempunyai wudhu, bertanya kepada para santrinya, “Apa kalian punya wudhu?”
“Tidak, Pak Kiai,” jawab santri-santrinya.
“Wudhu saja kalian tidak punya, apalagi duit …,” seloroh sang kiai.
Canda yang dilontarkan sang kiai tentu bukan tanpa pesan, melainkan menyisipkan nasihat yang menawan. Tidak hanya mempraktikkan gaya nasihat yang cair dan alami, tapi mencoba menggebah motivasi dan menggugah logika santri-santrinya; santri jangan susah, maka raih peluang-peluang yang ada di depan mata. Betapa banyak peluang dan hal-hal yang ringan dan gratis yang tersaji di hadapan mereka.
Sang kiai mengingatkan, kalau hal-hal yang ringan dan gratis saja para santri tidak punya, seperti wudhu, bagaimana dengan hal lainnya yang harus dicari sedemikian rupa, misalnya duit atau kekayaan?
Pesan utama yang dipraktikkan sang kiai kepada para santrinya adalah bagaimana ia terus melazimkan wudhu. Sebab, banyak keutamaan dalam wudhu. Seorang Bilal bin Rabah bisa menjadi penghuni surga karena wudhu, bahkan kabar tersebut sudah ia terima sejak masih menjejakkan kakinya di muka bumi ini alias masih hidup.
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah bertanya kepada Bilal ketika shalat Fajar, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau amalkan dalam Islam, karena aku sungguh telah mendengar gemerincing sandalmu di tengah-tengahku dalam surga.”
Bilal berkata, “Aku tidaklah mengamalkan amalan yang paling kuharapkan di sisiku, hanya aku tidaklah bersuci di waktu malam atau siang, kecuali aku shalat bersama wudhu itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku.” (HR Bukhari).
Secara medis, sudah diakui bahwa wudhu bisa menghilangkan mikroba yang bersarang dalam hidung, yang jika mikroba ini cepat menyebar dan berkembang-biak, akan menyebabkan munculnya berbagai penyakit. Lebih-lebih kalau sampai ke tenggorokan, lalu masuk menerobos ke peredaran darah. Maka, berbahagialah orang yang melazimkan diri berwudhu secara terus-menerus. Karena dengan istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), lalu mengeluarkannya lagi, hidung bersih dari debu, kuman, dan bakteri.
Bahkan, Prof Leopold Werner von Ehrenfels, seorang psikiater sekaligus neurolog berkebangsaan Austria, memeluk Islam lantaran berhasil menguak keajaiban yang ada dalam wudhu karena mampu merangsang pusat syaraf dalam tubuh manusia. Adanya keselarasan air dengan wudhu dan titik-titik syaraf menjadikan kondisi tubuh selalu sehat.
Manfaat secara ilmiah dan medis ini hanya sebagian kecil dari berkah wudhu. Masih begitu banyak hikmah lainnya dari amal yang ringan ini. Wudhu bisa menghapus dosa-dosa kecil dan mengangkat derajat seseorang (HR Muslim).
Wudhu adalah tanda dari pengikut Nabi SAW (HR Muslim). Wudhu bisa mengurai ikatan atau jeratan setan (HR Bukhari-Muslim). Wudhu adalah separuh dari iman (HR Muslim). Dengan wudhu, seorang Muslim juga bisa meraih kecintaan dari Allah: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tobat dan orang-orang yang bersuci.” (al-Baqarah: 222).
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/04/m9tbkd-subhanallah-wudhu-antarkan-bilal-bin-rabah-menjadi-penghuni-surga
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Makmun Nawawi
Seorang kiai melakukan perjalanan bersama santri-santrinya. Di tengah perjalanan, ternyata masuk waktu (Zhuhur). Kemudian sang kiai, yang selalu mempunyai wudhu, bertanya kepada para santrinya, “Apa kalian punya wudhu?”
“Tidak, Pak Kiai,” jawab santri-santrinya.
“Wudhu saja kalian tidak punya, apalagi duit …,” seloroh sang kiai.
Canda yang dilontarkan sang kiai tentu bukan tanpa pesan, melainkan menyisipkan nasihat yang menawan. Tidak hanya mempraktikkan gaya nasihat yang cair dan alami, tapi mencoba menggebah motivasi dan menggugah logika santri-santrinya; santri jangan susah, maka raih peluang-peluang yang ada di depan mata. Betapa banyak peluang dan hal-hal yang ringan dan gratis yang tersaji di hadapan mereka.
Sang kiai mengingatkan, kalau hal-hal yang ringan dan gratis saja para santri tidak punya, seperti wudhu, bagaimana dengan hal lainnya yang harus dicari sedemikian rupa, misalnya duit atau kekayaan?
Pesan utama yang dipraktikkan sang kiai kepada para santrinya adalah bagaimana ia terus melazimkan wudhu. Sebab, banyak keutamaan dalam wudhu. Seorang Bilal bin Rabah bisa menjadi penghuni surga karena wudhu, bahkan kabar tersebut sudah ia terima sejak masih menjejakkan kakinya di muka bumi ini alias masih hidup.
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah bertanya kepada Bilal ketika shalat Fajar, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau amalkan dalam Islam, karena aku sungguh telah mendengar gemerincing sandalmu di tengah-tengahku dalam surga.”
Bilal berkata, “Aku tidaklah mengamalkan amalan yang paling kuharapkan di sisiku, hanya aku tidaklah bersuci di waktu malam atau siang, kecuali aku shalat bersama wudhu itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku.” (HR Bukhari).
Secara medis, sudah diakui bahwa wudhu bisa menghilangkan mikroba yang bersarang dalam hidung, yang jika mikroba ini cepat menyebar dan berkembang-biak, akan menyebabkan munculnya berbagai penyakit. Lebih-lebih kalau sampai ke tenggorokan, lalu masuk menerobos ke peredaran darah. Maka, berbahagialah orang yang melazimkan diri berwudhu secara terus-menerus. Karena dengan istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), lalu mengeluarkannya lagi, hidung bersih dari debu, kuman, dan bakteri.
Bahkan, Prof Leopold Werner von Ehrenfels, seorang psikiater sekaligus neurolog berkebangsaan Austria, memeluk Islam lantaran berhasil menguak keajaiban yang ada dalam wudhu karena mampu merangsang pusat syaraf dalam tubuh manusia. Adanya keselarasan air dengan wudhu dan titik-titik syaraf menjadikan kondisi tubuh selalu sehat.
Manfaat secara ilmiah dan medis ini hanya sebagian kecil dari berkah wudhu. Masih begitu banyak hikmah lainnya dari amal yang ringan ini. Wudhu bisa menghapus dosa-dosa kecil dan mengangkat derajat seseorang (HR Muslim).
Wudhu adalah tanda dari pengikut Nabi SAW (HR Muslim). Wudhu bisa mengurai ikatan atau jeratan setan (HR Bukhari-Muslim). Wudhu adalah separuh dari iman (HR Muslim). Dengan wudhu, seorang Muslim juga bisa meraih kecintaan dari Allah: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tobat dan orang-orang yang bersuci.” (al-Baqarah: 222).
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/04/m9tbkd-subhanallah-wudhu-antarkan-bilal-bin-rabah-menjadi-penghuni-surga
Teman Terbaik di Tiap Keadaan
Selasa, 04 September 2012, 12:39 WIB
Oleh: Ina Salma Febriani
Ada pepatah yang mengatakan, sebaik-baiknya teman adalah buku. Mengapa demikian, sebab buku adalah jendela dunia dan membuka cakrawala. Dengan membaca, pikiran dan wawasan manusia menjadi terbuka.
Dengan membaca pula, secara tidak langsung, siapa pun mereka—telah menjalani perintah pertama (wahyu) yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam Surah Al-Alaq. “Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Menciptakan.”
Tiada tujuan lain dari perintah ‘membaca’ tersebut, selain Allah menghendaki agar hamba-hamba-Nya terus mencari dan menambah ilmu pengetahuan sehingga menjadi Rabbani (ahli ilmu dan pengabdi Allah), serta manusia tersebut menjadi cerdas.
Setidaknya ada beberapa kecerdasan yang harus terus diasah manusia. Baik kecerdasan emosi, intelektual, juga spiritual. Jika buku sebagai ‘vitamin’ wawasan intelektual bagi manusia, maka manusia membutuhkan vitamin lain untuk kondisi spiritualnya. Vitamin tersebut ialah dengan berdzikir.
Dzikir berasal dari kata ‘dza-ka-ra’ yang bermakna mengingat. Mengingat Tuhan dalam tiap keadaan dapat kita lakukan dengan berdzikir. Allah pun banyak mengungkap ayat dzikir yang salah satu di antaranya ialah pengujung Quran Surah Ali-Imran ayat 190-191.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Ayat tersebut diawali dengan keajaiban penciptaan langit dan bumi yang bagi orang-orang berakal, sungguh semua ciptaan-Nya memiliki hikmah dan faedah. Hikmah dari penciptaan keduanya pun menjadikan manusia senantiasa berdzikir dalam tiap keadaan, entah dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring hingga mereka merintih dan berdoa bahwa tiada yang sia-sia atas penciptaan alam lalu berlindung pada-Nya atas siksa neraka.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah saw bersabda bahwa Allah berfirman, “Aku berdasarkan prasangka hamba-hamba-Ku. Aku bersamanya jika ia mengingatku. Apabila dia mengingat-Ku, dalam dirinya, niscaya Aku mengingatnya dalam diri-Ku...” (HR Bukhari Muslim).
Allah senantiasa mengingat kita, jika kita mengingat-Nya dalam tiap keadaan. Membesarkan Dzat-Nya dan menyucikan asma-Nya. Adapun dzikir pilihan yang ringan dilafadzkan namun berat dalam timbangan amal serta Allah suka terhadap lafadz itu ialah “Subhaanallahi wabihamdihi, Subhaanallahil ‘adzhim,” (HR Bukhari Muslim).
Hidup, napas, dan usia adalah anugerah terbesar dari-Nya, sudah sepatutnyalah kita memanfaatkan setiap desahan napas ini dengan bersyukur dan memuji dengan berdzikir pada-Nya.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/04/m9t91y-teman-terbaik-di-tiap-keadaan
Oleh: Ina Salma Febriani
Ada pepatah yang mengatakan, sebaik-baiknya teman adalah buku. Mengapa demikian, sebab buku adalah jendela dunia dan membuka cakrawala. Dengan membaca, pikiran dan wawasan manusia menjadi terbuka.
Dengan membaca pula, secara tidak langsung, siapa pun mereka—telah menjalani perintah pertama (wahyu) yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam Surah Al-Alaq. “Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Menciptakan.”
Tiada tujuan lain dari perintah ‘membaca’ tersebut, selain Allah menghendaki agar hamba-hamba-Nya terus mencari dan menambah ilmu pengetahuan sehingga menjadi Rabbani (ahli ilmu dan pengabdi Allah), serta manusia tersebut menjadi cerdas.
Setidaknya ada beberapa kecerdasan yang harus terus diasah manusia. Baik kecerdasan emosi, intelektual, juga spiritual. Jika buku sebagai ‘vitamin’ wawasan intelektual bagi manusia, maka manusia membutuhkan vitamin lain untuk kondisi spiritualnya. Vitamin tersebut ialah dengan berdzikir.
Dzikir berasal dari kata ‘dza-ka-ra’ yang bermakna mengingat. Mengingat Tuhan dalam tiap keadaan dapat kita lakukan dengan berdzikir. Allah pun banyak mengungkap ayat dzikir yang salah satu di antaranya ialah pengujung Quran Surah Ali-Imran ayat 190-191.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Ayat tersebut diawali dengan keajaiban penciptaan langit dan bumi yang bagi orang-orang berakal, sungguh semua ciptaan-Nya memiliki hikmah dan faedah. Hikmah dari penciptaan keduanya pun menjadikan manusia senantiasa berdzikir dalam tiap keadaan, entah dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring hingga mereka merintih dan berdoa bahwa tiada yang sia-sia atas penciptaan alam lalu berlindung pada-Nya atas siksa neraka.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah saw bersabda bahwa Allah berfirman, “Aku berdasarkan prasangka hamba-hamba-Ku. Aku bersamanya jika ia mengingatku. Apabila dia mengingat-Ku, dalam dirinya, niscaya Aku mengingatnya dalam diri-Ku...” (HR Bukhari Muslim).
Allah senantiasa mengingat kita, jika kita mengingat-Nya dalam tiap keadaan. Membesarkan Dzat-Nya dan menyucikan asma-Nya. Adapun dzikir pilihan yang ringan dilafadzkan namun berat dalam timbangan amal serta Allah suka terhadap lafadz itu ialah “Subhaanallahi wabihamdihi, Subhaanallahil ‘adzhim,” (HR Bukhari Muslim).
Hidup, napas, dan usia adalah anugerah terbesar dari-Nya, sudah sepatutnyalah kita memanfaatkan setiap desahan napas ini dengan bersyukur dan memuji dengan berdzikir pada-Nya.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/04/m9t91y-teman-terbaik-di-tiap-keadaan
Menjauhi Sikap Malas
Selasa, 04 September 2012, 07:14 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Assidiq
''Seandainya...'' Kata ini begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari. Disadari atau tidak, sebagian besar orang boleh jadi biasa mengucapkannya, ''Seandainya aku melakukan begini, tentunya begini dan begini, tidak begini...''
Nabi Muhammad SAW ternyata tak menyukai umatnya mengumbar kata-kata ''seandainya''. Bahkan, dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya, kalimat lau (seandainya) membawa kepada perbuatan setan.''
Syekh Shaleh Ahmad asy-Syaami, menjelaskan, kata ''seandainya'' tidak membawa manfaat sama sekali. Menurutnya, meskipun seseorang mengucapkan ungkapan itu, ia tidak akan mampu mengembalikan apa yang telah berlalu, dan menggagalkan kekeliruan yang telah terjadi.
Syekh asy-Syaami mewanti-wanti bahwa ungkapan 'seandainya' bisa berkonotasi sebagai angan-angan semu, dan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. ''Sikap seperti ini adalah sikap yang lemah dan malas,'' ujarnya.
Bahkan, kata dia, Allah SWT pun membenci sikap lemah, tidak mampu, dan malas. Dalam hadis dinyatakan, ''Allah SWT mencela sikap lemah, tidak bersungguh-sungguh, tetapi kamu harus memiliki sikap cerdas dan cekatan, namun jika kamu tetap terkalahkan oleh suatu perkara, maka kamu berucap 'cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Allah sebaik-baik pelindung.'' (HR Abu Dawud)
Sikap tangkas dan cerdas yang dimaksud, tutur dia, melakukan usaha dan tindakan-tindakan yang bisa membawa pada keberhasilan meraih sesuatu yang bermanfaat, baik di dunia maupun akhirat. Ini, sambung Syekh asy-Syaami, merupakan bentuk aplikasi terhadap hukum kausalitas yang telah Allah tetapkan.
Keutaman dari sikap tangkas dan cerdas yakni bisa menjadi pembuka amal kebaikan. Sebaliknya, sikap lemah dan malas, seperti telah diingatkan Rasulullah SAW, hanya akan mendekatkan diri kepada setan.
''Sebab, jika seseorang tidak mampu atau malas melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya dan masyarakat sekitar, maka ia akan selalu menjadi seseorang yang kerap berangan-angan,'' paparnya.
Perbuatan dan sikap semacam itu, selain kontraproduktif serta tidak akan membawa pada keberhasilan, juga sama saja dengan membuka amal perbuatan setan karena pintu amal setan tidak lain adalah sikap malas dan lemah. Merekalah, tegas as-Syaami, adalah orang yang paling merugi.
Mengapa dikatakan orang yang paling merugi? Sebab, sifat malas dan lemah merupakan kunci segala bencana. Seperti misalnya, perbuatan maksiat sudah pasti terjadi karena lemahnya keimanan dan ketakwaan seseorang sehingga berani melanggar larangan agama.
Jadi, dia menambahkan, seorang hamba yang memiliki dua sifat tercela tadi, berarti ia tidak mampu melaksanakan amal perbuatan ketaatan serta tidak bisa melakukan hal-hal yang bisa membentengi dirinya dari godaan perbuatan jahat maupun maksiat.
Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Barri jilid XI menggarisbawahi, apabila penyakit hati itu telah menjangkiti manusia, maka ia akan mulai mendekati larangan Allah. Dia pun menjadi enggan untuk bertobat.
Untuk itu, Nabi SAW memberikan tuntunan doa bagi umatnya agar terhindar dari dua jenis sifat tercela tadi. Rasulullah SAW berdoa, ''Ya Allah, hamba meminta perlindungan kepada-Mu dari kecemasan dan kesedihan.''
Cemas dan sedih, keduanya juga bersumber dari malas dan lemah. Karena, apa yang telah terjadi, tidak mungkin diubah atau dihapus hanya dengan kesedihan, namun yang perlu dilakukan adalah menerimanya dengan kerelaan, sabar dan iman.
Demikian pula sesuatu yang mungkin terjadi di waktu mendatang, juga tidak mungkin dapat diubah atau dihapus hanya dengan kecemasan atau kekhawatiran. Maka itu, seseorang harus selalu siap membekali diri dengan sikap-sikap yang baik untuk menghadapi segala kemungkinan.
Oleh karenanya, Islam sangat menjunjung tinggi optimisme, kerja keras, dan berusaha sekuat tenaga. Jiwa seorang Muslim sejati adalah yang meyakini bahwa rezeki Allah SWT sangatlah berlimpah, dan disediakan bagi siapapun yang mampu menggapainya dengan semangat dan etos kuat.
''Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.'' (QS al Jumu'ah [62] : 10)
Ada perbedaan antara harapan dan angan-angan. Harapan selalu dibarengi dengan usaha, sementara angan-angan atau kemalasan hanyalah angan-angan kosong. Semoga kita dijauhkan dari sifat malas.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/04/m9stzs-menjauhi-sikap-malas
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Assidiq
''Seandainya...'' Kata ini begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari. Disadari atau tidak, sebagian besar orang boleh jadi biasa mengucapkannya, ''Seandainya aku melakukan begini, tentunya begini dan begini, tidak begini...''
Nabi Muhammad SAW ternyata tak menyukai umatnya mengumbar kata-kata ''seandainya''. Bahkan, dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya, kalimat lau (seandainya) membawa kepada perbuatan setan.''
Syekh Shaleh Ahmad asy-Syaami, menjelaskan, kata ''seandainya'' tidak membawa manfaat sama sekali. Menurutnya, meskipun seseorang mengucapkan ungkapan itu, ia tidak akan mampu mengembalikan apa yang telah berlalu, dan menggagalkan kekeliruan yang telah terjadi.
Syekh asy-Syaami mewanti-wanti bahwa ungkapan 'seandainya' bisa berkonotasi sebagai angan-angan semu, dan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. ''Sikap seperti ini adalah sikap yang lemah dan malas,'' ujarnya.
Bahkan, kata dia, Allah SWT pun membenci sikap lemah, tidak mampu, dan malas. Dalam hadis dinyatakan, ''Allah SWT mencela sikap lemah, tidak bersungguh-sungguh, tetapi kamu harus memiliki sikap cerdas dan cekatan, namun jika kamu tetap terkalahkan oleh suatu perkara, maka kamu berucap 'cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Allah sebaik-baik pelindung.'' (HR Abu Dawud)
Sikap tangkas dan cerdas yang dimaksud, tutur dia, melakukan usaha dan tindakan-tindakan yang bisa membawa pada keberhasilan meraih sesuatu yang bermanfaat, baik di dunia maupun akhirat. Ini, sambung Syekh asy-Syaami, merupakan bentuk aplikasi terhadap hukum kausalitas yang telah Allah tetapkan.
Keutaman dari sikap tangkas dan cerdas yakni bisa menjadi pembuka amal kebaikan. Sebaliknya, sikap lemah dan malas, seperti telah diingatkan Rasulullah SAW, hanya akan mendekatkan diri kepada setan.
''Sebab, jika seseorang tidak mampu atau malas melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya dan masyarakat sekitar, maka ia akan selalu menjadi seseorang yang kerap berangan-angan,'' paparnya.
Perbuatan dan sikap semacam itu, selain kontraproduktif serta tidak akan membawa pada keberhasilan, juga sama saja dengan membuka amal perbuatan setan karena pintu amal setan tidak lain adalah sikap malas dan lemah. Merekalah, tegas as-Syaami, adalah orang yang paling merugi.
Mengapa dikatakan orang yang paling merugi? Sebab, sifat malas dan lemah merupakan kunci segala bencana. Seperti misalnya, perbuatan maksiat sudah pasti terjadi karena lemahnya keimanan dan ketakwaan seseorang sehingga berani melanggar larangan agama.
Jadi, dia menambahkan, seorang hamba yang memiliki dua sifat tercela tadi, berarti ia tidak mampu melaksanakan amal perbuatan ketaatan serta tidak bisa melakukan hal-hal yang bisa membentengi dirinya dari godaan perbuatan jahat maupun maksiat.
Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Barri jilid XI menggarisbawahi, apabila penyakit hati itu telah menjangkiti manusia, maka ia akan mulai mendekati larangan Allah. Dia pun menjadi enggan untuk bertobat.
Untuk itu, Nabi SAW memberikan tuntunan doa bagi umatnya agar terhindar dari dua jenis sifat tercela tadi. Rasulullah SAW berdoa, ''Ya Allah, hamba meminta perlindungan kepada-Mu dari kecemasan dan kesedihan.''
Cemas dan sedih, keduanya juga bersumber dari malas dan lemah. Karena, apa yang telah terjadi, tidak mungkin diubah atau dihapus hanya dengan kesedihan, namun yang perlu dilakukan adalah menerimanya dengan kerelaan, sabar dan iman.
Demikian pula sesuatu yang mungkin terjadi di waktu mendatang, juga tidak mungkin dapat diubah atau dihapus hanya dengan kecemasan atau kekhawatiran. Maka itu, seseorang harus selalu siap membekali diri dengan sikap-sikap yang baik untuk menghadapi segala kemungkinan.
Oleh karenanya, Islam sangat menjunjung tinggi optimisme, kerja keras, dan berusaha sekuat tenaga. Jiwa seorang Muslim sejati adalah yang meyakini bahwa rezeki Allah SWT sangatlah berlimpah, dan disediakan bagi siapapun yang mampu menggapainya dengan semangat dan etos kuat.
''Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.'' (QS al Jumu'ah [62] : 10)
Ada perbedaan antara harapan dan angan-angan. Harapan selalu dibarengi dengan usaha, sementara angan-angan atau kemalasan hanyalah angan-angan kosong. Semoga kita dijauhkan dari sifat malas.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/04/m9stzs-menjauhi-sikap-malas
Langganan:
Postingan (Atom)