Rabu, 19 September 2012, 17:42 WIB
Oleh: Makmun Nawawi
Dikisahkan, suatu hari di sebuah negeri, matahari tidak terbit. Para petani bangun pagi-pagi agar bisa berangkat ke sawah dan ladangnya, namun keadaan gelap gulita.
Para pegawai dan pekerja pun demikian, bangun sejak awal agar mereka bisa berangkat ke tempat tugasnya. Namun, kegelapan benar-benar pekat.
Hal yang sama juga menimpa pelajar dan mahasiswa di mana mereka tidak bisa berangkat ke tempat studinya karena gelap begitu mencekam.
Sepanjang hari itu, semua orang tidak ada yang melakukan aktivitas. Mereka semua menganggur dan kehidupan pun terhenti. Keadaan benar-benar chaos dan kacau balau. Bayi-bayi, tubuhnya menggigil dan lemas karena kedinginan. Kecemasan dan ketakutan menghantui semua orang.
Begitu tiba malam hari, bulan pun tidak tampak! Orang-orang pun semuanya berangkat ke tempat ibadahnya, meneriakkan selawat dan menghamburkan doa. Mereka berteriak histeris seraya merunduk berdoa agar matahari bisa kembali bersinar. Malam itu tidak ada seorang pun yang bisa memejamkan mata.
Keesokan harinya, saat pagi menjelang, ternyata matahari kembali bersinar dari orbitnya. Orang-orang pun saling bersahutan mengekspresikan kegirangan yang tiada terperi. Sambil mengangkat tangan ke langit, mereka pun tak henti-hentinya menggemakan puji syukur kepada Allah, seraya saling memberikan ucapan selamat satu sama lain di antara mereka.
Kemudian, salah seorang bijak bestari di negeri itu pun berujar, “Mengapa kalian hanya bersyukur kepada Allah lantaran terbitnya matahari di hari ini saja? Bukankah matahari itu bersinar setiap pagi (hari)? Bukankah kalian tahu kalau kalian sudah mereguk beragam nikmat Allah sepanjang masa?”
Itulah sebagian watak asli sekaligus kealpaan dan kelalaian manusia ketika mereka didera oleh berbagai macam kesulitan dan kepanikan, baru mereka kembali pada Allah (An-Nahl [16]: 53), seraya mengakui nikmat-Nya. Itu pun hanya terhadap sebagian kecil nikmat, padahal sudah teramat banyak nikmat Allah yang dicurahkan padanya (Ibrahim [14]: 32-34), yang tanpa disadarinya.
Kita baru bisa menyelami nikmat Allah jika bertalian dengan hal-hal material atau yang kasat mata, misalnya, diberikan harta melimpah, jabatan dan posisi yang enak, terbebas dari kecelakaan, lulus dalam testing sekolah atau pekerjaan, dan pendamping atau pasangan hidup yang setia.
Padahal, nikmat Allah itu terus dikucurkan pada hamba-Nya di setiap tarikan napas mereka, yang sekaligus menjadi penopang utama kehidupan mereka, tanpa mereka sadari. Misalnya, jantung yang terus berdetak, napas yang terus menghirup udara bebas, mata yang bisa menatap, mulut yang bisa bicara, hidung yang bisa mengendus rupa-rupa aroma, kuping yang bisa mendengar, kulit yang bisa merasakan dingin atau panas, kita bisa tidur, terjaga, jalan ke mana suka, dan seterusnya.
Tidak cukupkah kita dengan gugahan Allah yang berkali-kali dalam Surah Ar-Rahman, “Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Maka, betapa lancungnya dan tidak etis sekali jika kita hanya mau taat dan beribadah kepada Allah di kala kita didera kesulitan dan menyimpan segudang keinginan.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/09/19/malens-hakikat-menyelami-nikmat-allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar