Puasa Ramadhan Mengikis Budaya Malas

Jumat, 20 Juli 2012, 10:51 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

Akhir pekan ini, seluruh umat Islam dipastikan sudah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Hampir seluruh umat Islam yang beriman menjalankan ibadah di bulan penuh berkah ini.

Namun, biasanya kita juga melihat ada yang kontras ketika Ramadhan tiba. Masjid-masjid penuh. Bukan untuk beribadah membaca al-Quran, tetapi banyak umat Islam yang berleha-leha, tidur-tiduran menghabiskan waktu siang mereka.

Produktivitas kerja menurun. Nuansa bermalas-malasan kentara. Seakan-akan puasa menjadi legitimasi sebagian dari kita untuk bermalas-malasan dan mengurangi aktivitas sepanjang menjalankan ibadah puasa. Pengurangan aktivitas itu tentu saja berujung pada berkurangnya kreativitas. Jika demikian terjadi maka sungguh disayangkan.

Sepantasnya, Ramadhan menjadi momentum meningkatkan produktivitas dan berkarya, bukan bermalas-malasan.bila dihayati secara mendalam, Ramadhan seperti madrasatun mada al-hayah (madrasah sepanjang hayat) yang berkelanjutan mendidik dan mengedukasi generasi demi generasi setiap tahun. Ramadhan memuat makna-makna iman pada jiwa manusia, mengilhami mereka arti agama yang hanif, dan memantapkan kepribadian Muslim yang hakiki.

Kesempatan Ramadhan yang di dalamnya dijanjikan rahmat (karunia), maghfirah (ampunan), dan itqun min al-nar(pembebasan dari api neraka), sesungguhnya momentum ideal menemukan solusi banyak hal bagi umat. Puasa yang benar dapat membangunkan hati Mukmin yang ‘tertidur’ sehingga merasakan muraqabatullah (perasaan diawasi Allah).

Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW, Ramadhan menjadi bulan jihad. Banyak peristiwa bersejarah yang mencatat bahwa Ramadhan menjadi bulan jihad umat Islam. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 hijriah, umat Islam mengalami perang Badar.

Perang ini terjadi di gurun pasir yang melibatkan 314 muslimin melawan 1000-an orang kafir dari Makkah. Peperangan ini adalah salah tonggak penting dalam sejarah Islam, karena sejak itulah umat Islam memulai era peperangan secara fisik, yang tentunya membutuhkan kemampuan yang lebih berat. Kalau mentalitas mereka seperti umat Islam zaman sekarang yang hobi tidur siang di bulan Ramadhan, tentunya sulit memenangkan peperangan.

Dan kota Mekkah dibebaskan juga pada bulan Ramadhan pada tahun ke-8 hijriah. Rasulullah SAW menyiapkan tidak kurang dari 10 ribu pasukan lengkap dengan senjata yang berjalan dari Madinah dan mengepung kota Makkah. Makkah menyerah tanpa syarat, namun semua diampuni dan dibebaskan.

Pada abad pertengahan atau tahun 15 Hijriah terjadi perang perang Qadisiyyah dimana orang-orang Majusi di Persia (saat ini wilayah Republik Islam Iran) ditumbangkan. Demikiran juga pertama kali Islam menaklukkan Spanyol di bawah pimpinan Thariq bin Ziad dan Musa bin Nushair, juga terjadi di bulan Ramadhan tahun 92 hijriyah. dan sekian banyak kerja keras yang lain, terjadi di bulan Ramadhan.

Ramadhan seharusnya menjadi sarana yang sangat efektif menghadirkan internalisasi nilai kebajikan guna menghadapi berbagai tantangan yang muncul di tengah masyarakat. Ramadhan satu bulan penuh, Muslim di-training oleh SuperTrainer-nya, yaitu Allah SWT, Dzat yang Maha segala-galanya. Tentu hasilnya akan juga luar biasa, bila itu dilakukan dengan penuh keseriusan dan mendamba ridha Allah.

Karena itu, sepantasnya Ramadhan dimanfaatkan secara optimal oleh semua unsur untuk meningkatkan kreatifitas dan karya. Sikap dan kepribadian positif, produktif, empatik, dan menghadirkan keputusan win-win solution adalah sosok pribadi yang lulus secara gemilang dari madrasah Ramadhan yang penuh solusi.

Perlu bagi umat untuk kembali merenungkan ungkapan terakhir dari surat al-Baqarah:183, bahwa yang mewajibkan puasa adalah la’allakum tattaqun dalam kata kerja mudhari yang hendaknya dimaknai agar dapat merealisasikan nilai-nilai muraqabatullah, ketaatan, dan kasih sayang secara terus-menerus, tidak hanya di saat bulan Ramadhan.

Redaktur: Heri Ruslan


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/07/20/m7fxd9-puasa-ramadhan-mengikis-budaya-malas

Tidak ada komentar: