Tuntunan Islam: Meraih Kemuliaan Iktikaf (1)
Senin, 30 Juli 2012, 07:07 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Ada satu aktivitas yang tidak pernah di tinggalkan oleh Rasulullah sejak berpindah ke Madinah, terutama selama Ramadhan.
Amalan itu memiliki faedah dan hikmah melimpah. Kegiatan itu tak lain ialah beriktikaf di masjid saat Ramadhan.
Bahkan, saat Ramadhan terakhir sebelum Rasulullah wafat, intensitasnya meningkat. Tidak hanya di 10 akhir di bulan suci itu, tetapi juga 10 hari pertengahan Ramadhan. Ini seperti yang dinukil oleh Imam Bukhari di dalam Kitab Sahih-nya.
Namun, meminjam pernyataan salah seorang tabi’in, Syibuddin Az-Zuhri, iktikaf yang pelaksanaannya dihukumi sunah tersebut, semakin dilupakan dan beranjak ditinggalkan oleh umat Islam.
Entah karena satu atau lain hal, peminatnya kian surut. Meskipun demikian, upaya penggalakannya kembali di sejumlah masjid di kota-kota besar, termasuk Jakarta, patut diapresiasi. Seperti apakah etika beriktikaf?
Syekh Ahmad Az-Zauman menguraikan hal ihwal iktikaf di esainya yang berjudul Al-I’tikaf Hikmatuhu wa Ahkamuhu, yang memuat beberapa adab terkait iktikaf.
Hal pertama yang ia garis bawahi ialah soal penempatan niat. Niat iktikaf menjadi unsur utama yang mendasari sah atau tidaknya iktikaf. Ini sebagaimana hadis dari Umar bin Khathab perihal urgensi niat di setiap tindakan.
Unsur penting iktikaf selanjutnya ialah lokasi beriktikaf. Pelaksanaan iktikaf hanya boleh dilaksanakan di masjid-masjid utama. Artinya, masjid-masjid aktif yang difungsikan untuk shalat jamaah lima waktu atau shalat Jumat. Ini seperti pernyataan Nafi’ bahwa tempat iktikaf satu-satunya Rasulullah ialah masjid.
Lantas bagaimana dengan iktikaf bagi perempuan? Bagi perempuan yang telah memperoleh izin, baik dari keluarga maupun suaminya, diperbolehkan beriktikaf. Lokasinya tak mesti masjid dengan kriteria seperti di atas.
Tiap-tiap masjid bisa dipakai sebagai iktikaf. Ini berarti bukan mushala dalam rumah. Iktikaf tidak diperbolehkan dilaksanakan di rumah. Ini berlaku di Mazhab Syafi’i, seperti dikutip Al-Baghafi dalam Syarh As-Sunnah dan Nawawi di Al-Majmu'.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Nashih Nashrullah
Tuntunan Islam: Meraih Kemuliaan Iktikaf (2-habis)
Senin, 30 Juli 2012, 08:18 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Terkait waktu, Syekh Ahmad menjelaskan hari-hari paling utama ialah 10 hari terakhir Ramadhan. Ini seperti yang ditegaskan riwayat Aisyah.
Penekanan waktu pada 10 hari terakhir, karena malam Lailatur Qadar, diprediksikan jatuh di sela hari-hari tersebut.
Sedangkan mengenai waktunya, Ibnu Rusyd di Bidayat Al-Mujtahid menjelaskan, iktikaf boleh dilangsungkan di semua waktu, baik siang maupun malam. Tidak ada batas minimal waktu pelaksanaannya. Walau sebentar, sudah dikategorikan iktikaf.
Kecuali jika kasusnya ialah nazar. Artinya, waktu pelaksanaannya bisa terikat jika yang bersangkutan bernazar. Misal, ia nazar beriktikaf pada pagi hari. Maka itu, wajib dilakukan pada waktu yang telah ia pilih tersebut.
Konon, Abdullah bin Umar pernah bernazar malam hari di Masjidil Haram. Rasul pun memerintahkan ia menepati nazarnya itu.
Khusus terkait iktikaf Ramadhan, jelas Imam Nawawi dalam Al-Majmu’, pelaksanaannya ada di 10 hari terakhir. Persisnya, sebelum matahari terbenam di hari ke-20, atau malam 21 Ramadhan. Iktikaf tersebut berjalan hingga terbenamnya matahari pada hari terakhir Ramadhan.
Kualitas
Agar lebih berkualitas, iktikaf tidak hanya dimaknai dengan berdiam diri. Maksudnya, tanpa disertai dengan kegiatan positif atau menjaga dari perkara-perkara negatif.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengemukakan bahwa untuk mengisi agar iktikaf berbobot ialah menyempurnakannya dengan bacaan Alquran, zikir, dan shalat-shalat sunah.
Ia juga menyarankan agar selama beriktikaf menahan diri dari perkataan dan perbuatan tak pantas. Tidak menggunjing, berdebat kusir, mengumpat, atau mencaci maki. Meski tidak membatalkan iktikafnya, hal itu dihukumi makruh dan mengurangi muatan iktikafnya.
Terakhir, Syekh Ahmad menggarisbawahi satu hal, yaitu agar siapa pun yang ingin beriktikaf mengedepankan prioritas. Hukum iktikaf ialah sunah, tetap tidak boleh meninggalkan kewajiban yang utama.
Misalnya, jika seseorang beriktikaf selama 10 hari penuh di Ramadhan, sementara ia memiliki tanggungan anak istri untuk dinafkahi, tanggung jawab keluarganya harus diutamakan.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Nashih Nashrullah
Sumber : Republika Online
01. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/07/29/m7xdky-tuntunan-islam-meraih-kemuliaan-iktikaf-1
02. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/07/29/m7xgv9-tuntunan-islam-meraih-kemuliaan-iktikaf-2habis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar