Rabu, 29 Agustus 2012, 13:13 WIB
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Islam merupakan satu-satunya agama yang memberikan perhatian utama terhadap kesehatan manusia. Setiap Muslim wajib secara agama menjaga kesehatannya dan menyeimbangkannya dengan kebutuhan rohaninya.
Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh, badanmu memiliki hak atas dirimu." (HR. Muslim). Di antara hak badan adalah memberikan makanan pada saat lapar, memenuhi minuman pada saat haus, memberikan istirahat pada saat lelah, membersihkan pada saat kotor dan mengobati pada saat sakit.
Sedemikian besar perhatian Islam terhadap kesehatan badan pemeluknya, sampai-sampai di dalam beberapa ayat Alquran, As-sunnah dan kitab-kitab fikih terdapat bahasan khusus mengenai kesehatan, penyakit dan petunjuk Rasul SAW dalam hal pengobatan.
Bahkan, penjagaan dan pemeliharaan kesehatan menjadi bagian pemeliharaan kedua dari prinsip-prinsip pemeliharaan pokok dalam syariat Islam yang terdiri dari; pemeliharaan agama, kesehatan, keturunan, harta dan jiwa.
Sebaliknya, Islam melarang berbagai tindakan yang membahayakan fisik/badan atas nama pendekatan keagamaan sekalipun sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kerusakan." (QS. Al-Baqarah: 195) dan "Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Mahapenyayang kepadamu." (QS. An-Nisaa': 29).
Demi penjagaan terhadap kesehatan, syariat Islam juga memberikan berbagai keringanan di dalam beribadah dengan tujuan meringankan, memudahkan dan tidak membuat payah badan.
Dalam pemberian keringanan berbuka bagi orang yang sakit dan bepergian, Allah SWT berfirman, "Allah menghendaki kelonggaran dan tidak menghendaki kesempitan bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185). Dalam kaitannya dengan keringanan bertayamum, Allah SWT berfirman, "Allah tidak menghendaki kesulitan bagimu, tetapi hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur." (QS. Al Maidah: 6).
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah SAW mengutus Amr bin Ash RA sebagai Amir di Suriah. Pada saat kembali ke Madinah, Amr bin Ash mengadukan masalah menyucikan diri dari hadas besar melalui tayamum dengan pertanyaannya, "Wahai Rasul, malam itu cuaca sangat dingin dan aku ingat firman Allah SWT: "Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Mahapenyayang kepadamu." (QS. An-Nisaa': 29). Rasulullah SAW lantas menjawab pengaduan Amr bin Ash tersebut dengan senyuman yang menegaskan persetujuannya atas tindakan yang diambil.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa seorang Muslim wajib memelihara kesehatan badannya, sebagaimana kewajiban negara menjaga kesehatan masyarakatnya dan menanggulangi wabah penyakit yang menyerang rakyatnya. Sehingga di kalangan kaum Muslimin telah masyhur penyataan yang menyebutkan "kesehatan badan/ fisik didahulukan dari kesehatan beragama karena Tuhan Mahapengampun dan Penyayang".
Bahkan, dalam kaitannya dengan penghindaran diri dari penyakit yang mewabah pada suatu kawasan, seorang Muslim diperkenankan untuk menghindarkan diri dari kawasan tersebut menuju kawasan lain yang lebih aman dengan istilah "pindah dari qadar (ketentuan) Allah menuju pada qadar yang lain."
Lebih jauh, seorang Muslim harus senantiasa berupaya untuk menyembuhkan penyakit yang sedang dideritanya dengan asumsi semua penyakit ada obatnya. Lebih dari itu, sebagaimana penyakit merupakan qadar dari Allah, maka upaya mencari kesembuhan dan obat pun juga merupakan bagian dari qadar Allah SWT. Dengan demikian seorang Muslim senantiasa berupaya menghadapi qadar Allah dengan qadar Allah yang lain. Wallahu A'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/29/m9hsly-kewajiban-menjaga-kesehatan
Inilah Tiga Tingkat Kenikmatan Manusia
Selasa, 28 Agustus 2012, 17:09 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri
Dalam shalat kita memanjatkan doa kepada Allah. “Ya Allah, tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yakni, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan orang-orang yang sesat.” (QS al-Fatihah [1]: 6-7).
Siapakah orang-orang yang telah diberi nikmat itu? Allah SWT mempertegasnya dalam surah an-Nisa’ ayat 69, yakni an-nabiyyin(para nabi), ashshiddiqin( orang-orang yang benar dan jujur), asy-syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan ash-shalihin(orang-orang saleh).
Tentu saja, kenikmatan yang mereka peroleh tidak pada bendawi, tapi nikmat iman dan Islam. Itulah nikmat yang paling tinggi nilainya. Nikmat yang menjadikan segala nikmat duniawi menjadi berharga dan maslahat. Jika tanpa nikmat iman dan Islam, semuanya bisa menjadi malapetaka yang menjerumuskan.
Sungguh nikmat Allah SWT begitu banyak tak terhingga. Sekiranya kita menghitung, tak sanggup menghitungnya. Karena itulah, Allah SWT tak menyuruh kita menghitung, tapi bersyukur. (QS [2]: 152,172, [31]: 12). Kenyataannya, sedikit sekali manusia yang bersyukur. (QS [7]: 10, [14]: 34, [23]: 78, [67]: 23). “Lalu nikmat Tuhanmu mana lagi yang kaudustakan?” Sebanyak 31 kali diulang dalam surah ar-Rahman.
Ada tiga kategori kenikmatan yang sekaligus menjadi tingkatan yang ingin diraih manusia. Pertama, kenikmatan fisik. Kategori ini paling rendah dan menjadi kebutuhan dasar manusia ( basic needs). Kenikmatan fisik (material) berhubungan dengan jasmaniah, yakni makan dan minum (termasuk buang hajat), harta, tidur, dan seks. Tidak jauh dari sejengkal dari pusar ke atas (perut) dan ke bawah (kemaluan).
Kedua, kenikmatan sosial. Kalau manusia meraih nikmat fisik, berarti dia telah memperoleh kelezatan dunia wi (lazaat) yang sifatnya individual. Tapi, dia belum meraih kebahagian ( assa’adah). Sebenarnya, binatang juga tidak bisa hidup tenang hanya dengan fisik belaka. Mereka membutuhkan keluarga dan komunitas (sosial). Demikian pula manusia. Nikmat sekali hidup seorang yang masih punya istri/suami, orang tua, anak, anggota keluarga, sahabat, dan tetangga yang baik. Jika tak bertemu, rasa rindu tak terkira. Keletihan dan penderitan sepanjang mudik pada Hari Lebaran terabaikan.
Ketiga, kenikmatan spiritual. Ketika seseorang memiliki harta, kedudukan, sehat, rumah yang indah, kendaraan yang bagus, istri dan anak yang saleh, peduli pada tetangga dan kaum dhuafa, serta mustadh‘afin. Masya Allah, nikmat sekali hidupnya. Tapi, kedua kenikmatan tersebut masih nisbi dan bisa hilang tak berbekas dalam sekejap. Kedua kenikmatan itu akan lebih bermakna lagi jika kita meraih kenikmatan spiritual.
Kenikmatan spiritual bersifat ruhaniah (ilahiah) yang didapat ketika seseorang berhasil membersihkan hati, pikiran, dan perbuatannya dari segala macam keburukan (QS [91]: 9-10). Sehingga, cahaya ilahi merasuk ke dalam kalbu, pikiran, dan perbuatan.
Dia akan merasakan nikmat menjalani keadaan apa pun. Musibah bukan lagi derita, melainkan jalan bahagia. Tidak hanya merasa nikmat ketika lapang, tetapi dalam derita dan perjuangan. Wallahu a’lam.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/28/m9gmvf-inilah-tiga-tingkat-kenikmatan-manusia
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri
Dalam shalat kita memanjatkan doa kepada Allah. “Ya Allah, tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yakni, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan orang-orang yang sesat.” (QS al-Fatihah [1]: 6-7).
Siapakah orang-orang yang telah diberi nikmat itu? Allah SWT mempertegasnya dalam surah an-Nisa’ ayat 69, yakni an-nabiyyin(para nabi), ashshiddiqin( orang-orang yang benar dan jujur), asy-syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan ash-shalihin(orang-orang saleh).
Tentu saja, kenikmatan yang mereka peroleh tidak pada bendawi, tapi nikmat iman dan Islam. Itulah nikmat yang paling tinggi nilainya. Nikmat yang menjadikan segala nikmat duniawi menjadi berharga dan maslahat. Jika tanpa nikmat iman dan Islam, semuanya bisa menjadi malapetaka yang menjerumuskan.
Sungguh nikmat Allah SWT begitu banyak tak terhingga. Sekiranya kita menghitung, tak sanggup menghitungnya. Karena itulah, Allah SWT tak menyuruh kita menghitung, tapi bersyukur. (QS [2]: 152,172, [31]: 12). Kenyataannya, sedikit sekali manusia yang bersyukur. (QS [7]: 10, [14]: 34, [23]: 78, [67]: 23). “Lalu nikmat Tuhanmu mana lagi yang kaudustakan?” Sebanyak 31 kali diulang dalam surah ar-Rahman.
Ada tiga kategori kenikmatan yang sekaligus menjadi tingkatan yang ingin diraih manusia. Pertama, kenikmatan fisik. Kategori ini paling rendah dan menjadi kebutuhan dasar manusia ( basic needs). Kenikmatan fisik (material) berhubungan dengan jasmaniah, yakni makan dan minum (termasuk buang hajat), harta, tidur, dan seks. Tidak jauh dari sejengkal dari pusar ke atas (perut) dan ke bawah (kemaluan).
Kedua, kenikmatan sosial. Kalau manusia meraih nikmat fisik, berarti dia telah memperoleh kelezatan dunia wi (lazaat) yang sifatnya individual. Tapi, dia belum meraih kebahagian ( assa’adah). Sebenarnya, binatang juga tidak bisa hidup tenang hanya dengan fisik belaka. Mereka membutuhkan keluarga dan komunitas (sosial). Demikian pula manusia. Nikmat sekali hidup seorang yang masih punya istri/suami, orang tua, anak, anggota keluarga, sahabat, dan tetangga yang baik. Jika tak bertemu, rasa rindu tak terkira. Keletihan dan penderitan sepanjang mudik pada Hari Lebaran terabaikan.
Ketiga, kenikmatan spiritual. Ketika seseorang memiliki harta, kedudukan, sehat, rumah yang indah, kendaraan yang bagus, istri dan anak yang saleh, peduli pada tetangga dan kaum dhuafa, serta mustadh‘afin. Masya Allah, nikmat sekali hidupnya. Tapi, kedua kenikmatan tersebut masih nisbi dan bisa hilang tak berbekas dalam sekejap. Kedua kenikmatan itu akan lebih bermakna lagi jika kita meraih kenikmatan spiritual.
Kenikmatan spiritual bersifat ruhaniah (ilahiah) yang didapat ketika seseorang berhasil membersihkan hati, pikiran, dan perbuatannya dari segala macam keburukan (QS [91]: 9-10). Sehingga, cahaya ilahi merasuk ke dalam kalbu, pikiran, dan perbuatan.
Dia akan merasakan nikmat menjalani keadaan apa pun. Musibah bukan lagi derita, melainkan jalan bahagia. Tidak hanya merasa nikmat ketika lapang, tetapi dalam derita dan perjuangan. Wallahu a’lam.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/28/m9gmvf-inilah-tiga-tingkat-kenikmatan-manusia
Kabar Gembira Bagi yang Bertakwa
Senin, 27 Agustus 2012, 07:05 WIB
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Takwa merupakan wasiat Allah kepada orang-orang terdahulu, saat ini dan akan datang. (QS. An-Nisa': 131). Takwa sekaligus wasiat Rasulullah SAW kepada para sahabat dan umatnya, melalui sabdanya, "Hendaknya kalian bertakwa kepada Allah.” (HR. Ibnu Majah).
Takwa yang berarti menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, lebih jauh merupakan derajat keimanan tertinggi. Ia adalah kata agung yang mencakup semua sisi kebajikan. Ia menjadi penghalang antara kita dengan amarah dan azab Allah SWT.
Jalan menuju ketakwaan antara lain dilakukan dengan selalu merasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap kegiatan dan keadaan; menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya; meninggalkan hal-hal yang meragukan (syubhat); memelihara sikap jujur dalam ucapan dan perbuatan; serta mewujudkan niat ihlas dalam semua amal ibadah.
Takwa bukan hanya bekal keselamatan kehidupan akhirat. Namun ia merupakan modal utama kehidupan dunia yang memberikan manfaat dan berkah di dunia maupun di akhirat. Sehingga ia harus nyata dalam segala gerak kehidupan dan bukan hanya tampak saat berada di tempat-tempat suci dan bulan Ramadhan.
Alqur'an dan As-sunah menjamin lima kabar gembira bagi orang-orang yang bertakwa: Pertama, orang yang bertakwa akan senantiasa mendapatkan solusi terbaik dalam menghadapi masalah/persoalan.
Allah SWT berfirman, "Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya." (QS. At-Thalaq: 2). Hal tersebut karena orang yang bertakwa memiliki sifat sabar dan tawakal melebihi sifat normal manusia lainnya oleh sebab ketakwaannya. Kisah Ya'qub AS membuktikan fenomena tersebut.
Kedua, orang yang bertakwa senantiasa merasa dilapangkan rezekinya. Allah SWT berfirman, "Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak di duga-duga." (QS. At-Thalaq: 3). Mendapatkan rezeki yang berkah dan dari arah yang tidak diduga merupakan buah ketakwaan, sedangkan rezeki yang diduga perkiraannya dari jalan sebab-akibat merupakan kelaziman bagi semua manusia. Kisah Maryam AS yang mendapat jamuan dari langit merupakan fenomena yang membuktikan teori dimaksud.
Ketiga, orang yang bertakwa senantiasa diterima amal perbuatannya di sisi Allah. Allah SWT berfirman, "(Habil) berkata: "Sungguh, Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Maidah: 27). Kisah Qabil dan Habil membuktikan penolakan dan penerimaan amal perbuatan di sisi Allah SWT karena yang satu tidak didasari oleh ketakwaan sedang yang lain (diterima) dilandasi oleh ketakwaan. Ketakwaan dengan demikian merupakan jaminan diterimanya amal perbuatan.
Keempat, orang yang bertakwa dan mewariskan ketakwaannya menjamin keturunannya dari segala bahaya dan api neraka, (QS. An Nisaa': 9). Takwa merupakan wasiat terbaik yang jika dipegangi oleh sanak keturunan akan mengantarkan mereka selamat dunia-akhirat, sebagaimana wasiat takwa Ya'qub kepada anak-anaknya.
Kelima, orang yang bertakwa senantiasa diberikan tambahan petunjuk serta diampuni dosa dan kesalahannya oleh Allah. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan petunjuk kepadamu dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu serta mengampuni dosa-dosamu." (QS. Al Anfal: 29).
Berbahagialah orang-orang yang menghiasi perilakunya dengan sifat-sifat takwa sebab kendati terasa berat, namun Allah SWT akan menjamin lima kabar gembira baginya dan Allah adalah Dzat yang tidak akan mengingkari janji-janji-Nya. Wallahua'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/27/m9dwai-kabar-gembira-bagi-yang-bertakwa
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Takwa merupakan wasiat Allah kepada orang-orang terdahulu, saat ini dan akan datang. (QS. An-Nisa': 131). Takwa sekaligus wasiat Rasulullah SAW kepada para sahabat dan umatnya, melalui sabdanya, "Hendaknya kalian bertakwa kepada Allah.” (HR. Ibnu Majah).
Takwa yang berarti menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, lebih jauh merupakan derajat keimanan tertinggi. Ia adalah kata agung yang mencakup semua sisi kebajikan. Ia menjadi penghalang antara kita dengan amarah dan azab Allah SWT.
Jalan menuju ketakwaan antara lain dilakukan dengan selalu merasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap kegiatan dan keadaan; menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya; meninggalkan hal-hal yang meragukan (syubhat); memelihara sikap jujur dalam ucapan dan perbuatan; serta mewujudkan niat ihlas dalam semua amal ibadah.
Takwa bukan hanya bekal keselamatan kehidupan akhirat. Namun ia merupakan modal utama kehidupan dunia yang memberikan manfaat dan berkah di dunia maupun di akhirat. Sehingga ia harus nyata dalam segala gerak kehidupan dan bukan hanya tampak saat berada di tempat-tempat suci dan bulan Ramadhan.
Alqur'an dan As-sunah menjamin lima kabar gembira bagi orang-orang yang bertakwa: Pertama, orang yang bertakwa akan senantiasa mendapatkan solusi terbaik dalam menghadapi masalah/persoalan.
Allah SWT berfirman, "Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya." (QS. At-Thalaq: 2). Hal tersebut karena orang yang bertakwa memiliki sifat sabar dan tawakal melebihi sifat normal manusia lainnya oleh sebab ketakwaannya. Kisah Ya'qub AS membuktikan fenomena tersebut.
Kedua, orang yang bertakwa senantiasa merasa dilapangkan rezekinya. Allah SWT berfirman, "Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak di duga-duga." (QS. At-Thalaq: 3). Mendapatkan rezeki yang berkah dan dari arah yang tidak diduga merupakan buah ketakwaan, sedangkan rezeki yang diduga perkiraannya dari jalan sebab-akibat merupakan kelaziman bagi semua manusia. Kisah Maryam AS yang mendapat jamuan dari langit merupakan fenomena yang membuktikan teori dimaksud.
Ketiga, orang yang bertakwa senantiasa diterima amal perbuatannya di sisi Allah. Allah SWT berfirman, "(Habil) berkata: "Sungguh, Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Maidah: 27). Kisah Qabil dan Habil membuktikan penolakan dan penerimaan amal perbuatan di sisi Allah SWT karena yang satu tidak didasari oleh ketakwaan sedang yang lain (diterima) dilandasi oleh ketakwaan. Ketakwaan dengan demikian merupakan jaminan diterimanya amal perbuatan.
Keempat, orang yang bertakwa dan mewariskan ketakwaannya menjamin keturunannya dari segala bahaya dan api neraka, (QS. An Nisaa': 9). Takwa merupakan wasiat terbaik yang jika dipegangi oleh sanak keturunan akan mengantarkan mereka selamat dunia-akhirat, sebagaimana wasiat takwa Ya'qub kepada anak-anaknya.
Kelima, orang yang bertakwa senantiasa diberikan tambahan petunjuk serta diampuni dosa dan kesalahannya oleh Allah. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan petunjuk kepadamu dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu serta mengampuni dosa-dosamu." (QS. Al Anfal: 29).
Berbahagialah orang-orang yang menghiasi perilakunya dengan sifat-sifat takwa sebab kendati terasa berat, namun Allah SWT akan menjamin lima kabar gembira baginya dan Allah adalah Dzat yang tidak akan mengingkari janji-janji-Nya. Wallahua'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/27/m9dwai-kabar-gembira-bagi-yang-bertakwa
Makanlah yang Halal, agar Doa diijabah
Home > Dunia Islam > Pojok Arifin Ilham
Minggu, 26 Agustus 2012, 01:00 WIB
Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu
Dibacakan ayat disisi Rasulullah, "Wahai sekalian manusia makanlah oleh kalian apa-apa yang ada dimuka bumi secara halal lagi baik".
Lalu Sa'ad bin Abi Waqqash berdiri seraya berkata, "Ya Rasulullah doakan aku agar Allah menjadikan aku sebagai hamba yang dikabulkan doanya". Maka nabi Muhammad bersabda kepadanya, "Wahai Sa'ad makanlah yang halal (baik zat atau caranya), niscaya doa-doanya diijabah Allah".
"Demi Dzat yang jiwa Nabi Muhammad berada dalam genggaman kuasaNya, seorang hamba apabila ia memasukkan sesuap barang haram dalam mulutnya, maka amal ibadahnya tidak akan diterima selama 40 hari, dan siapa saja seorang hamba yang tumbuh dagingnya dari barang yang haram, maka nerakalah yang lebih pantas jadi tempat tinggalnya" (HR Thabarani).
Jadi rizki dan makanan yang halal membuat Allah Ridho untuk mengijabah doa-doa kita dan hidup selalu dalam berkah Allah, sebaliknya yang haram walau sesuap membuat doa dan semua amal ibadah tidak berkah dunia akhirat.
Inilah jawaban mengapa doa dan hidup kita tidak berkah, "Allahumma ya Allah berkahi kami dengan rizki dan makanan yang halal...aamiin".
Redaktur: Slamet Riyanto
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/08/24/m990aw-makanlah-yang-halal-agar-doa-diijabah
Minggu, 26 Agustus 2012, 01:00 WIB
Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu
Dibacakan ayat disisi Rasulullah, "Wahai sekalian manusia makanlah oleh kalian apa-apa yang ada dimuka bumi secara halal lagi baik".
Lalu Sa'ad bin Abi Waqqash berdiri seraya berkata, "Ya Rasulullah doakan aku agar Allah menjadikan aku sebagai hamba yang dikabulkan doanya". Maka nabi Muhammad bersabda kepadanya, "Wahai Sa'ad makanlah yang halal (baik zat atau caranya), niscaya doa-doanya diijabah Allah".
"Demi Dzat yang jiwa Nabi Muhammad berada dalam genggaman kuasaNya, seorang hamba apabila ia memasukkan sesuap barang haram dalam mulutnya, maka amal ibadahnya tidak akan diterima selama 40 hari, dan siapa saja seorang hamba yang tumbuh dagingnya dari barang yang haram, maka nerakalah yang lebih pantas jadi tempat tinggalnya" (HR Thabarani).
Jadi rizki dan makanan yang halal membuat Allah Ridho untuk mengijabah doa-doa kita dan hidup selalu dalam berkah Allah, sebaliknya yang haram walau sesuap membuat doa dan semua amal ibadah tidak berkah dunia akhirat.
Inilah jawaban mengapa doa dan hidup kita tidak berkah, "Allahumma ya Allah berkahi kami dengan rizki dan makanan yang halal...aamiin".
Redaktur: Slamet Riyanto
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/08/24/m990aw-makanlah-yang-halal-agar-doa-diijabah
Hikmah Puasa Syawal
Home > Dunia Islam > Pojok Arifin Ilham
Selasa, 28 Agustus 2012, 07:00 WIB
Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu.
Sahabatku yang merindukan ridho Allah dan Syurga-Nya, kuulangi kembali hikmah shoum enam hari di bulan Syawal. Simaklah sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang telah berpuasa Ramadhan dan kemudian dia mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti orang yang berpuasa selama satu tahun.” [HR Muslim).
Diantara keutamaan shoum enam hari dibulan syawal adalah:
Maka nilai puasanya setahun penuh
Dicintai Allah dan meraih ampunan dosa (QS 3:31)
Meraih syafaat Rasulullah dan bersama beliau karena menghidupkan sunnah beliau, "Siapa yang menghidupkan sunnahku maka sungguh ia mencintaiku dan siapa yang mencintaiku bersamaku di Syurga"
Tanda meningkat iman dan taqwanya karena itulah disebut "Syawal" bulan peningkatan
Menutupi kekurangan selama shoum Romadhon
Diantara tanda ikhlas, gemar dengan amal sunnah, kalau wajib ya kewajiban tetapi kalau sunnah adalah kerelaan seorang hamba mengabdi kepada Allah
Cara terbaik memupuk keimanan kepada Allah dan kecintaan kepada NabiNya
Hamba Allah yang beriman cerdas adalah semua sunnah dihidupkan sebagai bekal di akhirat kelak.
Puasa syawal bisa dengan dua cara, boleh berturut-turut enam hari setelah Idul Fitri atau puasa enam hari selama di bulan Syawal. Bagi muslimat yang berhutang lebih utama bayar puasa dulu.
Semoga Allah selalu hiasi hidup kita dengan kesenangan ibadah dan kemuliaan akhlak... Aamiin".
Redaktur: Slamet Riyanto
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/08/26/m9dacq-hikmah-puasa-syawal
Selasa, 28 Agustus 2012, 07:00 WIB
Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu.
Sahabatku yang merindukan ridho Allah dan Syurga-Nya, kuulangi kembali hikmah shoum enam hari di bulan Syawal. Simaklah sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang telah berpuasa Ramadhan dan kemudian dia mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti orang yang berpuasa selama satu tahun.” [HR Muslim).
Diantara keutamaan shoum enam hari dibulan syawal adalah:
Maka nilai puasanya setahun penuh
Dicintai Allah dan meraih ampunan dosa (QS 3:31)
Meraih syafaat Rasulullah dan bersama beliau karena menghidupkan sunnah beliau, "Siapa yang menghidupkan sunnahku maka sungguh ia mencintaiku dan siapa yang mencintaiku bersamaku di Syurga"
Tanda meningkat iman dan taqwanya karena itulah disebut "Syawal" bulan peningkatan
Menutupi kekurangan selama shoum Romadhon
Diantara tanda ikhlas, gemar dengan amal sunnah, kalau wajib ya kewajiban tetapi kalau sunnah adalah kerelaan seorang hamba mengabdi kepada Allah
Cara terbaik memupuk keimanan kepada Allah dan kecintaan kepada NabiNya
Hamba Allah yang beriman cerdas adalah semua sunnah dihidupkan sebagai bekal di akhirat kelak.
Puasa syawal bisa dengan dua cara, boleh berturut-turut enam hari setelah Idul Fitri atau puasa enam hari selama di bulan Syawal. Bagi muslimat yang berhutang lebih utama bayar puasa dulu.
Semoga Allah selalu hiasi hidup kita dengan kesenangan ibadah dan kemuliaan akhlak... Aamiin".
Redaktur: Slamet Riyanto
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/08/26/m9dacq-hikmah-puasa-syawal
Islam Agama Moderat
Jumat, 24 Agustus 2012, 16:36 WIB
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Islam adalah agama moderat dan seimbang. Kemoderatan dan keseimbangan merupakan jalan hidup (way of live) yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW selama hidupnya.
Kemoderatan dan keseimbangan dengan demikian tumbuh dari pemahaman Islam yang murni dan hakiki sebelum Islam dipahami secara parsial sebagaimana yang terjadi dalam beberapa dasawarsa akhir-akhir ini.
Rasulullah SAW bersabda, "Jauhkanlah kalian dari sikap melampaui batas dalam beragama. Sungguh orang-orang sebelummu musnah disebabkan oleh sikap pelampauan batas dalam beragama." (HR. Hakim).
Rasulullah SAW lantas membuat contoh perihal dimaksud dengan membentuk satu garis lurus di tengah dan dua garis lainnya di samping kiri dan kanannya. Lalu beliau meletakkan tangannya di garis tengah seraya bersabda, "Ini adalah jalan Allah."
Rasulullah SAW meneruskan sabdanya dengan membaca ayat, "Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah engkau mengikuti jalan-jalan (lain) yang mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya." (QS. Al An'am: 153).
Moderat berkaitan erat dengan paham toleran yang dalam istilah bahasa berarti luwes, adaptif dan mudah dalam pergaulan. Moderat lawan katanya ekstrem yang dalam istilah bahasa berarti pelampauan batas-batas moderasi dan jauh dari sikap seimbang.
Ekstrem (al-tatharruf) berkaitan erat dengan pelampauan batas (al-ghullu) baik dalam perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
Sikap melampaui batas ini dalam beragama tercela, sebagaimana firman Allah SWT, "Katakalah (Muhammad): "Wahai Ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam beragama dengan cara yang tidak benar, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus." (QS. Al Maaidah: 77).
Termasuk dalam arti moderat di sini adalah berbuat sesuai dengan kadar kemampuan dan mencegah diri dari memaksakan sesuatu di luar batas kesanggupan secara umum. Sikap moderat inilah yang senantiasa ditekankan oleh Alquran dalam berbagai firman-Nya. Di antaranya firman Allah SWT, "Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah: 286).
Termasuk lagi dalam arti moderat di sini adalah bersikap luwes, adaptif dan mudah sebagaimana pemberian berbagai keringanan (rukhsyah) dalam pelaksanaan syariat seperti adanya jamak dan qashar shalat, tayamum, pembolehan berbuka bagi orang yang sakit dan bepergian serta lain sebagainya.
Sikap tersebut dikuatkan dalam berbagai kaidah kemudahan dalam hukum fikih di antaranya, "kondisi sulit memperkenankan 'yang mudah' ", "kondisi darurat memperkenankan 'yang terlarang' " dan lain semacamnya.
Intinya, Islam datang sebagai agama moderat baik dalam penyampaian ajaran-ajarannya maupun dalam pembentukan karakter para pemeluknya. Moderat dan seimbang merupakan jalan hidup (way of live) Islam yang mencakup semua bidang dalam kehidupan manusia tanpa kecuali. Wallahua'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/24/m994vy-islam-agama-moderat
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Islam adalah agama moderat dan seimbang. Kemoderatan dan keseimbangan merupakan jalan hidup (way of live) yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW selama hidupnya.
Kemoderatan dan keseimbangan dengan demikian tumbuh dari pemahaman Islam yang murni dan hakiki sebelum Islam dipahami secara parsial sebagaimana yang terjadi dalam beberapa dasawarsa akhir-akhir ini.
Rasulullah SAW bersabda, "Jauhkanlah kalian dari sikap melampaui batas dalam beragama. Sungguh orang-orang sebelummu musnah disebabkan oleh sikap pelampauan batas dalam beragama." (HR. Hakim).
Rasulullah SAW lantas membuat contoh perihal dimaksud dengan membentuk satu garis lurus di tengah dan dua garis lainnya di samping kiri dan kanannya. Lalu beliau meletakkan tangannya di garis tengah seraya bersabda, "Ini adalah jalan Allah."
Rasulullah SAW meneruskan sabdanya dengan membaca ayat, "Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah engkau mengikuti jalan-jalan (lain) yang mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya." (QS. Al An'am: 153).
Moderat berkaitan erat dengan paham toleran yang dalam istilah bahasa berarti luwes, adaptif dan mudah dalam pergaulan. Moderat lawan katanya ekstrem yang dalam istilah bahasa berarti pelampauan batas-batas moderasi dan jauh dari sikap seimbang.
Ekstrem (al-tatharruf) berkaitan erat dengan pelampauan batas (al-ghullu) baik dalam perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
Sikap melampaui batas ini dalam beragama tercela, sebagaimana firman Allah SWT, "Katakalah (Muhammad): "Wahai Ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam beragama dengan cara yang tidak benar, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus." (QS. Al Maaidah: 77).
Termasuk dalam arti moderat di sini adalah berbuat sesuai dengan kadar kemampuan dan mencegah diri dari memaksakan sesuatu di luar batas kesanggupan secara umum. Sikap moderat inilah yang senantiasa ditekankan oleh Alquran dalam berbagai firman-Nya. Di antaranya firman Allah SWT, "Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah: 286).
Termasuk lagi dalam arti moderat di sini adalah bersikap luwes, adaptif dan mudah sebagaimana pemberian berbagai keringanan (rukhsyah) dalam pelaksanaan syariat seperti adanya jamak dan qashar shalat, tayamum, pembolehan berbuka bagi orang yang sakit dan bepergian serta lain sebagainya.
Sikap tersebut dikuatkan dalam berbagai kaidah kemudahan dalam hukum fikih di antaranya, "kondisi sulit memperkenankan 'yang mudah' ", "kondisi darurat memperkenankan 'yang terlarang' " dan lain semacamnya.
Intinya, Islam datang sebagai agama moderat baik dalam penyampaian ajaran-ajarannya maupun dalam pembentukan karakter para pemeluknya. Moderat dan seimbang merupakan jalan hidup (way of live) Islam yang mencakup semua bidang dalam kehidupan manusia tanpa kecuali. Wallahua'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/24/m994vy-islam-agama-moderat
Orang Kafir pun Percaya Tuhan
Sabtu, 25 Agustus 2012, 06:35 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Riawan Amin
“Karena itu, janganlah kalian mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” (QS 2: 2)
Seorang anak bertanya kepada bapaknya, “Ayah, percayakah kafir Quraisy kepada Allah? Jika tidak, mengapa ayah Rasulullah, bernama Abdullah, sang hamba Allah?”
Ternyata pengikut Allah bukan monopoli yang mengaku beriman. Kafirpun percaya dan mengikut kepada One Supreme being, Satu Tuhan Utama. Pencipta (Khalik) dan pengatur (Rabb) alam semesta.
Dari awal umat Islam diajarkan Syahadat Tauhid, Laa Ilah (tidak ada Tuhan) sebagai penafian kepada Ilah-ilah atau tandingan-tandingan. Dilanjutkan illallah (kecuali Allah ), yang merupakan peneguhan kepada satu-satunya Pencipta dan Penguasa.
Ujian yang sama berlaku hari ini. Pintu-pintu syirik terbuka bukan melalui penentangan kepada Allah sebagai Ilah, bukan karena lemahnya ruh illallah. Tetapi melalui peneguhan Ilah-ilah lain tandingan Allah, melalui lemahnya ruh Laa Ilah.
Ada sebagian yang menyebut diri Muslim Indonesia, Muslim Sunda, Jawa, Melayu dan lain-lain. Yang sebetulnya memenuhi kualifikasi sebagai Kafir Indonesia, Kafir Sunda, Kafir Jawa dan lain-lain. Mengapa? Sebab prilaku mereka mirip Kafir Quraisy, yakni membesarkan Ilah-ilah selain Allah.
Keris, harta, tahta, dukun, ajengan bahkan Ilah-ilah yang bersembunyi di balik jubah keislaman. Di balik khadam dan ajian, adalah The New Lata, Uza dan Hubbal – berhala-hala yang disembah oleh kaum Kafir Quraisy. Demikian pula Ilah waktu membayar joki di Masjidil Haram, mendesak, menyikut saudara seiman demi mencium sebuah batu hitam bernama Hajar Aswad. Padahal, mencium Hajar Aswad hukumnya adalah sunnah, sedangkan menghormati dan menjaga sesama Muslim hukumnya wajib.
Makan siang di bulan Ramadhan adalah peng-Ilah-an kepada perut sendiri. Demikian pula kecanduan nasi, sampai berkata belum buka atau belum makan, jika belum nasi. Inilah contoh peng- Ilah-an, yang membuat negara selalu kekurangan dan harus impor beras. Konsumsi beras rakyat Indonesia sudah mencapai sekitar 130 kg/kapita/tahun, sedangkan idealnya sekitar 80 kg/kapita/tahun. Padahal di Indonesia begitu banyak nikmat Allah dalam bentuk lain, umbi-umbian, pisang, jagung, sagu, dan buah-buahan sebagai alternatif kecanduan nasi atau beras tersebut.
Tak ada prilaku buruk, bahkan yang kelihatan baik -- dari korupsi sampai sedekah karena riya -- yang tak luput dari campur tangan kemusyrikan. Korupsi demi anak cucu adalah peng –Ilah-an kepada keturunan. Riya adalah pengilahan kepada diri sendiri.
Tak heran jika syirik begitu samar. Laiknya semut hitam, di atas batu hitam, di malam yang sangat kelam. Alquran bertabur dengan ratusan ayat yang mengingatkan umat manusia akan bahaya syirik, larangan berbuat syirik, sebab-sebab syirik dan bentuk-bentuk kemusyrikan.
Ramadhan dan Idul Fitri yang baru saja berlalu merupakan momentum bagi umat Islam untuk meneguhkan kalimat Laa Ilaha illallah. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, shaum ku, hidup dan matiku bagi Allah. Wa maa anaa minal kaafirin. Jadikan aku ya Allah bagian dari pengikut-Mu, yang bukan kafir. Wallahua’lam.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/25/m9a9je-orang-kafir-pun-percaya-tuhan
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Riawan Amin
“Karena itu, janganlah kalian mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” (QS 2: 2)
Seorang anak bertanya kepada bapaknya, “Ayah, percayakah kafir Quraisy kepada Allah? Jika tidak, mengapa ayah Rasulullah, bernama Abdullah, sang hamba Allah?”
Ternyata pengikut Allah bukan monopoli yang mengaku beriman. Kafirpun percaya dan mengikut kepada One Supreme being, Satu Tuhan Utama. Pencipta (Khalik) dan pengatur (Rabb) alam semesta.
Dari awal umat Islam diajarkan Syahadat Tauhid, Laa Ilah (tidak ada Tuhan) sebagai penafian kepada Ilah-ilah atau tandingan-tandingan. Dilanjutkan illallah (kecuali Allah ), yang merupakan peneguhan kepada satu-satunya Pencipta dan Penguasa.
Ujian yang sama berlaku hari ini. Pintu-pintu syirik terbuka bukan melalui penentangan kepada Allah sebagai Ilah, bukan karena lemahnya ruh illallah. Tetapi melalui peneguhan Ilah-ilah lain tandingan Allah, melalui lemahnya ruh Laa Ilah.
Ada sebagian yang menyebut diri Muslim Indonesia, Muslim Sunda, Jawa, Melayu dan lain-lain. Yang sebetulnya memenuhi kualifikasi sebagai Kafir Indonesia, Kafir Sunda, Kafir Jawa dan lain-lain. Mengapa? Sebab prilaku mereka mirip Kafir Quraisy, yakni membesarkan Ilah-ilah selain Allah.
Keris, harta, tahta, dukun, ajengan bahkan Ilah-ilah yang bersembunyi di balik jubah keislaman. Di balik khadam dan ajian, adalah The New Lata, Uza dan Hubbal – berhala-hala yang disembah oleh kaum Kafir Quraisy. Demikian pula Ilah waktu membayar joki di Masjidil Haram, mendesak, menyikut saudara seiman demi mencium sebuah batu hitam bernama Hajar Aswad. Padahal, mencium Hajar Aswad hukumnya adalah sunnah, sedangkan menghormati dan menjaga sesama Muslim hukumnya wajib.
Makan siang di bulan Ramadhan adalah peng-Ilah-an kepada perut sendiri. Demikian pula kecanduan nasi, sampai berkata belum buka atau belum makan, jika belum nasi. Inilah contoh peng- Ilah-an, yang membuat negara selalu kekurangan dan harus impor beras. Konsumsi beras rakyat Indonesia sudah mencapai sekitar 130 kg/kapita/tahun, sedangkan idealnya sekitar 80 kg/kapita/tahun. Padahal di Indonesia begitu banyak nikmat Allah dalam bentuk lain, umbi-umbian, pisang, jagung, sagu, dan buah-buahan sebagai alternatif kecanduan nasi atau beras tersebut.
Tak ada prilaku buruk, bahkan yang kelihatan baik -- dari korupsi sampai sedekah karena riya -- yang tak luput dari campur tangan kemusyrikan. Korupsi demi anak cucu adalah peng –Ilah-an kepada keturunan. Riya adalah pengilahan kepada diri sendiri.
Tak heran jika syirik begitu samar. Laiknya semut hitam, di atas batu hitam, di malam yang sangat kelam. Alquran bertabur dengan ratusan ayat yang mengingatkan umat manusia akan bahaya syirik, larangan berbuat syirik, sebab-sebab syirik dan bentuk-bentuk kemusyrikan.
Ramadhan dan Idul Fitri yang baru saja berlalu merupakan momentum bagi umat Islam untuk meneguhkan kalimat Laa Ilaha illallah. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, shaum ku, hidup dan matiku bagi Allah. Wa maa anaa minal kaafirin. Jadikan aku ya Allah bagian dari pengikut-Mu, yang bukan kafir. Wallahua’lam.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/25/m9a9je-orang-kafir-pun-percaya-tuhan
Harga Segelas Air
Kamis, 23 Agustus 2012, 20:04 WIB
Oleh: Hasan Basri Tanjung
Suatu ketika, Khalifah Harun Al-Rasyid duduk gelisah. Untuk meringankan beban pikirannya, ia mengundang ulama terkemuka pada masanya, Abu As-Sammak. “Nasihatilah aku!” pinta Khalifah.
Pada saat yang sama, pelayan membawa segelas air untuk Khalifah. Sebelum minum, Abu As-Sammak berkata, “Tunggu sebentar. Seandainya dalam keadaan sangat haus, sedangkan segelas air ini tidak kau peroleh, berapakah harga yang kau siap bayar? Jawablah dengan jujur!”
“Setengah dari kekayaanku,” jawab Khalifah.
Sang ulama pun mempersilakan khalifah minum. Selesai minum, Abu As-Sammak bertanya lagi, “Seandainya air tadi mendesak untuk dikeluarkan, tapi kau tak mampu mengeluarkannya, berapakah yang akan engkau bayarkan agar ia keluar?”
Khalifah menjawab, “Setengah dari kekayaanku.”
“Kalau demikian, sadarilah bahwa seluruh kekayaan dan kekuasaan yang ada di sisimu, nilainya hanya segelas air. Tidak wajar diperebutkan dan dipertahankan tanpa hak. Ketahuilah, betapa banyak nikmat Allah selain segelas air itu yang telah engkau nikmati sehingga tidak wajar jika engkau tidak mensyukurinya,” nasihat Abu As-Sammak kepada Harun Al-Rasyid.
Dialog singkat di atas memberikan pelajaran berharga. Pertama, hendaklah para penguasa negeri (umara) dalam seluruh tingkat untuk senantiasa meminta dan mendengar nasihat para ulama. Selagi para umara masih mendengar nasihat ulama, negeri ini akan selamat dari murka Allah.
Kedua, nilai segelas air. Air sangat berharga dalam kehidupan manusia. Manusia akan mati jika kekurangan cairan (dehidrasi). Air adalah awal dan sumber kehidupan alam semesta. Allah turunkan air yang tidak asin dengan kadar tertentu agar mendatangkan kebaikan kepada manusia dan alam semesta. (QS Al-Waqi’ah [56]: 68-70).
Bumi yang kering akan kembali subur, binatang yang kehausan dan kepanasan akan tersenyum dengan air, dan tanam-tanaman akan tumbuh dengan subur serta rezeki akan melimpah tumbuh dari perut bumi. (QS [2]: 22, [7]: 57,dan [14]: 32).
Kapan makan dan minum yang paling nikmat? Yakni, ketika lapar dan haus. Itulah sebabnya Allah SWT mewajibkan kita puasa. Salah satunya, agar enak makan dan minum. Tetaplah lapar, karena hanya orang lapar yang mengerti arti sebutir nasi. Tetaplah haus karena hanya orang haus yang mengerti arti setetes air. Itulah makna bersyukur sebagai salah satu tujuan puasa. (QS [2]: 185).
Meskipun lapar dan haus, makan dan minumlah seperlunya (kebutuhan) dan jangan berlebihan. (QS [2]: 60, [7]: 31, [20]: 81). Bagi yang tidak enak makan, tak perlu minum obat nafsu makan. Tapi cukup dengan berpuasa, niscaya baik akibatnya (QS [2]: 184).
Makna berikutnya, makan yang enak adalah ketika makan bersama orang-orang lapar, baik karena puasa maupun kemiskinan. Memberi hidangan berbuka akan dibalas dengan pahala orang yang berpuasa. Begitu juga memberi makan anak yatim dan dhuafa. (QS [76]: 8-10).
Jangan makan bersama orang yang kenyang. Sebab, kenikmatan akan hilang dan akhirnya makanan dibuang-buang. Itulah kekufuran (QS [2]: 152) dan perbuatan setan (QS [17]: 26).
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online -
Oleh: Hasan Basri Tanjung
Suatu ketika, Khalifah Harun Al-Rasyid duduk gelisah. Untuk meringankan beban pikirannya, ia mengundang ulama terkemuka pada masanya, Abu As-Sammak. “Nasihatilah aku!” pinta Khalifah.
Pada saat yang sama, pelayan membawa segelas air untuk Khalifah. Sebelum minum, Abu As-Sammak berkata, “Tunggu sebentar. Seandainya dalam keadaan sangat haus, sedangkan segelas air ini tidak kau peroleh, berapakah harga yang kau siap bayar? Jawablah dengan jujur!”
“Setengah dari kekayaanku,” jawab Khalifah.
Sang ulama pun mempersilakan khalifah minum. Selesai minum, Abu As-Sammak bertanya lagi, “Seandainya air tadi mendesak untuk dikeluarkan, tapi kau tak mampu mengeluarkannya, berapakah yang akan engkau bayarkan agar ia keluar?”
Khalifah menjawab, “Setengah dari kekayaanku.”
“Kalau demikian, sadarilah bahwa seluruh kekayaan dan kekuasaan yang ada di sisimu, nilainya hanya segelas air. Tidak wajar diperebutkan dan dipertahankan tanpa hak. Ketahuilah, betapa banyak nikmat Allah selain segelas air itu yang telah engkau nikmati sehingga tidak wajar jika engkau tidak mensyukurinya,” nasihat Abu As-Sammak kepada Harun Al-Rasyid.
Dialog singkat di atas memberikan pelajaran berharga. Pertama, hendaklah para penguasa negeri (umara) dalam seluruh tingkat untuk senantiasa meminta dan mendengar nasihat para ulama. Selagi para umara masih mendengar nasihat ulama, negeri ini akan selamat dari murka Allah.
Kedua, nilai segelas air. Air sangat berharga dalam kehidupan manusia. Manusia akan mati jika kekurangan cairan (dehidrasi). Air adalah awal dan sumber kehidupan alam semesta. Allah turunkan air yang tidak asin dengan kadar tertentu agar mendatangkan kebaikan kepada manusia dan alam semesta. (QS Al-Waqi’ah [56]: 68-70).
Bumi yang kering akan kembali subur, binatang yang kehausan dan kepanasan akan tersenyum dengan air, dan tanam-tanaman akan tumbuh dengan subur serta rezeki akan melimpah tumbuh dari perut bumi. (QS [2]: 22, [7]: 57,dan [14]: 32).
Kapan makan dan minum yang paling nikmat? Yakni, ketika lapar dan haus. Itulah sebabnya Allah SWT mewajibkan kita puasa. Salah satunya, agar enak makan dan minum. Tetaplah lapar, karena hanya orang lapar yang mengerti arti sebutir nasi. Tetaplah haus karena hanya orang haus yang mengerti arti setetes air. Itulah makna bersyukur sebagai salah satu tujuan puasa. (QS [2]: 185).
Meskipun lapar dan haus, makan dan minumlah seperlunya (kebutuhan) dan jangan berlebihan. (QS [2]: 60, [7]: 31, [20]: 81). Bagi yang tidak enak makan, tak perlu minum obat nafsu makan. Tapi cukup dengan berpuasa, niscaya baik akibatnya (QS [2]: 184).
Makna berikutnya, makan yang enak adalah ketika makan bersama orang-orang lapar, baik karena puasa maupun kemiskinan. Memberi hidangan berbuka akan dibalas dengan pahala orang yang berpuasa. Begitu juga memberi makan anak yatim dan dhuafa. (QS [76]: 8-10).
Jangan makan bersama orang yang kenyang. Sebab, kenikmatan akan hilang dan akhirnya makanan dibuang-buang. Itulah kekufuran (QS [2]: 152) dan perbuatan setan (QS [17]: 26).
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online -
Bahaya Memutus Tali Persaudaraan
Rabu, 15 Agustus 2012, 23:13 WIB
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Banyak orang memutus tapi persaudaraan dengan alasan masalah rumah tangga, berebut warisan, pertengkaran dan percekcokan. Akan tetapi kenyataan yang sebenarnya pemutusan tali persaudaraan karena tidak adanya ilmu pengetahuan seseorang mengenai hebat dan dahsyatnya menyambung tali persaudaraan; tidak adanya pengetahuan yang mendalam mengenai hubungan keluarga; dan tidak pahamnya seseorang akan karakteristik hubungan persaudaraan dalam kaitannya dengan hubungan ketuhanan.
Andaikata setiap orang mengetahui dengan baik bahaya memutus tali persaudaraan, maka ia akan berupaya sungguh-sungguh menyambung tali persaudaraan karena beberapa hal:
Pertama, memutus tali persaudaraan menjadikan hidup seseorang terasa sempit, tidak nyaman dan jauh dari berkah Allah SWT. Dari Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dimudahkan urusannya, maka hendaknya ia menyambung tali persaudaraan." (HR. Bukhari-Muslim).
Kedua, amal perbuatan mingguan orang yang memutus tali persaudaraan tidak diterima oleh Allah SWT. Dari Abu Hurairah RA berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya amal perbuatan anak Adam dihadapkan kehadirat Allah SWT pada setiap Kamis malam Jumat. Dan Allah tidak menerima amal perbuatan orang yang memutus tali persaudaraan."
Ketiga, pemutus tali persaudaraan mendapatkan laknat dari Allah SWT sebab merupakan sifat dari orang-orang fasik. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya disambungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk." (QS. Ar-Ra'd: 25).
Keempat, pemutus tali persaudaraan termasuk perbuatan dosa besar dan siksanya disegerakan oleh Allah SWT di dunia maupun di akhirat. Dari Abu Bakar RA dari Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih cepat balasannya dari Allah di dunia dan akhirat dari pada permusuhan dan memutus tali persaudaraan."
Kelima, pemutus tali persaudaraan tidak akan masuk surga karena perbuatannya bertentangan dengan prinsip-prinsip kebajikan dan sifat orang-orang yang berilmu. Dari Jabir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan keluarga." (HR. Bukhari).
Keenam, pemutus tali silaturahim menjauh dari tanda-tanda keimanan. Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-nya, maka hendaknya memuliakan tamunya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hendaknya menyambung tali persaudaraan." (HR. Bukhari-Muslim).
Ketujuh, pemutus tali persaudaraan merenggangkan hubungan dengan Sang Pencipta. Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Silaturahim berkaitan erat dengan Arsy dan berkata, ‘Barang siapa menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa memutusku, maka Allah akan memutusnya’." (HR. Bukhari-Muslim).
Sedemikian bahayanya tindakan memutus hubungan tali persaudaraan sehingga dapat mengakibatkan seseorang terisolasi dalam hubungan kemanusiaan dan ketuhanan serta menjauh dari sifat-sifat kebajikan dan takwa. Maka setiap Muslim hendaknya menjadikan silaturahim sebagai pembuka dan penutup kebajikan, sebagaimana contoh ideal yang telah diteladankan oleh Rasulullah SAW dalam sikapnya terhadap keluarga, kerabat, kaum Muslimin, umatnya. Wallahua'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online -
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Banyak orang memutus tapi persaudaraan dengan alasan masalah rumah tangga, berebut warisan, pertengkaran dan percekcokan. Akan tetapi kenyataan yang sebenarnya pemutusan tali persaudaraan karena tidak adanya ilmu pengetahuan seseorang mengenai hebat dan dahsyatnya menyambung tali persaudaraan; tidak adanya pengetahuan yang mendalam mengenai hubungan keluarga; dan tidak pahamnya seseorang akan karakteristik hubungan persaudaraan dalam kaitannya dengan hubungan ketuhanan.
Andaikata setiap orang mengetahui dengan baik bahaya memutus tali persaudaraan, maka ia akan berupaya sungguh-sungguh menyambung tali persaudaraan karena beberapa hal:
Pertama, memutus tali persaudaraan menjadikan hidup seseorang terasa sempit, tidak nyaman dan jauh dari berkah Allah SWT. Dari Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dimudahkan urusannya, maka hendaknya ia menyambung tali persaudaraan." (HR. Bukhari-Muslim).
Kedua, amal perbuatan mingguan orang yang memutus tali persaudaraan tidak diterima oleh Allah SWT. Dari Abu Hurairah RA berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya amal perbuatan anak Adam dihadapkan kehadirat Allah SWT pada setiap Kamis malam Jumat. Dan Allah tidak menerima amal perbuatan orang yang memutus tali persaudaraan."
Ketiga, pemutus tali persaudaraan mendapatkan laknat dari Allah SWT sebab merupakan sifat dari orang-orang fasik. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya disambungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk." (QS. Ar-Ra'd: 25).
Keempat, pemutus tali persaudaraan termasuk perbuatan dosa besar dan siksanya disegerakan oleh Allah SWT di dunia maupun di akhirat. Dari Abu Bakar RA dari Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih cepat balasannya dari Allah di dunia dan akhirat dari pada permusuhan dan memutus tali persaudaraan."
Kelima, pemutus tali persaudaraan tidak akan masuk surga karena perbuatannya bertentangan dengan prinsip-prinsip kebajikan dan sifat orang-orang yang berilmu. Dari Jabir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan keluarga." (HR. Bukhari).
Keenam, pemutus tali silaturahim menjauh dari tanda-tanda keimanan. Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-nya, maka hendaknya memuliakan tamunya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hendaknya menyambung tali persaudaraan." (HR. Bukhari-Muslim).
Ketujuh, pemutus tali persaudaraan merenggangkan hubungan dengan Sang Pencipta. Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Silaturahim berkaitan erat dengan Arsy dan berkata, ‘Barang siapa menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa memutusku, maka Allah akan memutusnya’." (HR. Bukhari-Muslim).
Sedemikian bahayanya tindakan memutus hubungan tali persaudaraan sehingga dapat mengakibatkan seseorang terisolasi dalam hubungan kemanusiaan dan ketuhanan serta menjauh dari sifat-sifat kebajikan dan takwa. Maka setiap Muslim hendaknya menjadikan silaturahim sebagai pembuka dan penutup kebajikan, sebagaimana contoh ideal yang telah diteladankan oleh Rasulullah SAW dalam sikapnya terhadap keluarga, kerabat, kaum Muslimin, umatnya. Wallahua'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online -
Mahkota Kejujuran
Selasa, 14 Agustus 2012, 15:05 WIB
Oleh: Toto Tasmara
Kejujuran ( shiddiq) adalah salah satu dari sifat agung Rasulullah Muhammad SAW. Kejujuran adalah mahkota kepribadian orang-orang mulia yang telah dijanjikan Allah akan memperoleh limpahan nikmat dari-Nya. Kedudukannya disejajarkan dengan para nabi (al-anbiya) dan dijadikan rujukan untuk menjadi teman dalam meningkatkan kualitas hidup.
“Dan barang siapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka bersama-sama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shadiqin, syuhada, dan orang-orang saleh, dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa [4]: 69).
Kejujuran adalah komponen batin yang memantulkan berbagai sikap terpuji yang akan menempatkan orang tersebut pada tempat kemuliaan (maqomam mahmuda). Mereka berani menyatakan sikap secara transparan, terbebas dari segala kepalsuan dan penipuan. Hatinya terbuka dan selalu bertindak lurus dan karenanya mereka memiliki keberanian moral yang sangat kuat.
Seorang sufi terkenal Al-Qusyairi mengatakan, shiddiq adalah orang yang benar dalam semua kata-kata, perbuatan, dan keadaan batinnya. Hati nuraninya menjadi bagian dari kekuatan dirinya. Karena dia sadar bahwa segala hal yang akan mengganggu ketenteraman jiwanya merupakan dosa.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari An-Nuwas bin Sam’an, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah tentang dosa. Beliau bersabda, “Al-ismu maa haaka fii shodrika wa karihta an-yath tholi’an naasu ‘alaihi, (dosa ialah yang merisaukan hatimu dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya).”
Dengan demikian, kejujuran bukanlah datang dari luar, melainkan bisikan hati yang secara terus-menerus mengetuk dan memberikan percikan cahaya Ilahi. Bisikan moral luhur yang didorong gelora cinta kepada Allah (mahabbatu lilllah). Kejujuran bukan sebuah keterpaksaan, melainkan panggilan dari dalam, sebuah keterikatan (aqad, i’tiqad).
Sedangkan, orang yang tidak jujur atau pembohong (kadzib) adalah orang yang menipu dirinya sendiri, menghancurkan atau menghapuskan seluruh nilai-nilai moral yang dimilikinya. Orang yang tidak jujur berarti tipikal manusia yang tega membunuh suara hatinya.
Kita tidak pernah mendengar setan korupsi atau berzina karena setan tidak membutuhkannya. Tugas setan hanya menggoda manusia sehingga manusia yang korup atau berzina itu sesungguhnya lebih sesat dari setan.
Karenanya, jangan beranggapan bahwa korupsi itu budaya atau sebuah lingkaran setan. Justru, mereka yang dalam hatinya masih ada nyala api shiddiq harus berupaya memutuskannya. Harus ada dalam pemikirannya untuk membenci dan memberontak bahwa korupsi dan koruptor itu tidak pantas dihormati.
Koruptor itu lebih buas dari binatang buas. Koruptor itu bukan hanya harus dihukum sebagai proses penjeraan agar kapok, melainkan seharusnya mereka itu dikucilkan secara sosial. Kiranya, setiap pribadi Muslim jangan terstigma berpikir bahwa korupsi itu sudah membudaya. Tidak. Korupsi adalah kebatilan paling mungkar yang dapat diberantas. Dan, itu bisa dilakukan bila ada sifat shiddiq (jujur).
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/14/m8qjts-mahkota-kejujuran
Oleh: Toto Tasmara
Kejujuran ( shiddiq) adalah salah satu dari sifat agung Rasulullah Muhammad SAW. Kejujuran adalah mahkota kepribadian orang-orang mulia yang telah dijanjikan Allah akan memperoleh limpahan nikmat dari-Nya. Kedudukannya disejajarkan dengan para nabi (al-anbiya) dan dijadikan rujukan untuk menjadi teman dalam meningkatkan kualitas hidup.
“Dan barang siapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka bersama-sama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shadiqin, syuhada, dan orang-orang saleh, dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa [4]: 69).
Kejujuran adalah komponen batin yang memantulkan berbagai sikap terpuji yang akan menempatkan orang tersebut pada tempat kemuliaan (maqomam mahmuda). Mereka berani menyatakan sikap secara transparan, terbebas dari segala kepalsuan dan penipuan. Hatinya terbuka dan selalu bertindak lurus dan karenanya mereka memiliki keberanian moral yang sangat kuat.
Seorang sufi terkenal Al-Qusyairi mengatakan, shiddiq adalah orang yang benar dalam semua kata-kata, perbuatan, dan keadaan batinnya. Hati nuraninya menjadi bagian dari kekuatan dirinya. Karena dia sadar bahwa segala hal yang akan mengganggu ketenteraman jiwanya merupakan dosa.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari An-Nuwas bin Sam’an, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah tentang dosa. Beliau bersabda, “Al-ismu maa haaka fii shodrika wa karihta an-yath tholi’an naasu ‘alaihi, (dosa ialah yang merisaukan hatimu dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya).”
Dengan demikian, kejujuran bukanlah datang dari luar, melainkan bisikan hati yang secara terus-menerus mengetuk dan memberikan percikan cahaya Ilahi. Bisikan moral luhur yang didorong gelora cinta kepada Allah (mahabbatu lilllah). Kejujuran bukan sebuah keterpaksaan, melainkan panggilan dari dalam, sebuah keterikatan (aqad, i’tiqad).
Sedangkan, orang yang tidak jujur atau pembohong (kadzib) adalah orang yang menipu dirinya sendiri, menghancurkan atau menghapuskan seluruh nilai-nilai moral yang dimilikinya. Orang yang tidak jujur berarti tipikal manusia yang tega membunuh suara hatinya.
Kita tidak pernah mendengar setan korupsi atau berzina karena setan tidak membutuhkannya. Tugas setan hanya menggoda manusia sehingga manusia yang korup atau berzina itu sesungguhnya lebih sesat dari setan.
Karenanya, jangan beranggapan bahwa korupsi itu budaya atau sebuah lingkaran setan. Justru, mereka yang dalam hatinya masih ada nyala api shiddiq harus berupaya memutuskannya. Harus ada dalam pemikirannya untuk membenci dan memberontak bahwa korupsi dan koruptor itu tidak pantas dihormati.
Koruptor itu lebih buas dari binatang buas. Koruptor itu bukan hanya harus dihukum sebagai proses penjeraan agar kapok, melainkan seharusnya mereka itu dikucilkan secara sosial. Kiranya, setiap pribadi Muslim jangan terstigma berpikir bahwa korupsi itu sudah membudaya. Tidak. Korupsi adalah kebatilan paling mungkar yang dapat diberantas. Dan, itu bisa dilakukan bila ada sifat shiddiq (jujur).
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/14/m8qjts-mahkota-kejujuran
Maknai Takbir, Lahirkan Syukur, Sirnakan Takabur
Senin, 20 Agustus 2012, 14:01 WIB
Oleh: Ina Salma Febriani
Ramadhan telah pergi meninggalkan kita. Syawal pun hadir dan seluruh umat Islam menyambutnya dengan sukacita. Kesukacitaan itu juga menuai kesedihan yang tampak nyata, melalui tradisi salam-salaman, mohon maaf kepada sesama, hingga nuansa haru biru mewarnai jutaan umat Muslim dunia.
Itulah jejak indah selepas Ramadhan, disadari maupun tidak, manusia berusaha membuka diri untuk saling introspeksi dan bersedia meminta juga memberi maaf.
Ramadhan dan Syawal bagai dua sisi mata uang. Jika dalam bulan Ramadhan, Allah menghendaki kita untuk melatih jasmani dan rohani melalui puasa, maka di bulan Syawal inilah kita dikehendaki oleh Allah untuk membesarkannya.
Perintah untuk membesarkan asma Allah ini tertuang dalam Quran Surah Al-Baqarah ayat 185, “.... dan agar kalian menyempurnakan hitungan (bilangan) hari puasa dan agar kalian mengagungkan (memuji) Allah atas apa yang Dia telah tunjukkan kepada kaliannn dan agar kalian dapat bersyukur.”
Pengagungan asma Allah melalui gemuruh takbir sudah terdengar tepat setelah diresmikannya Idul Fitri tahun ini jatuh pada Ahad, 19 Agustus. Sesaat itu pula umat Muslim dari berbagai penjuru mengumandangkan lafadz yang sama dengan kebahagiaan dan perayaan yang berbeda-beda di tiap sudut ibukota.
Namun, kebesaran Tuhan tidak cukup hanya ramai dilafadzkan saat malam takbiran dan Idul Fitri. Lebih dari itu, memaknai takbir juga harus disertakan dengan niat sungguh dalam hati dan menyadari betul bahwa hanya Allah saja yang Mahabesar dan selalu melibatkan Allah dalam segala perkara duniawi.
Makna takbir yang sesungguhnya juga melahirkan rasa syukur. Syukur dalam perspektif luas yang dikategorikan menjadi dua, kepada Khalik juga pada makhluk. Syukur kepada Khalik adalah syukur yang dilafadzkan melalui lisan (Alhamdulillahi Rabbil alamin)—dalam segala kondisi.
Atau dalam suatu riwayat, jika kita mendapatkan hal yang kurang kita sukai, maka kita tetap harus memuji Allah dengan lafadz “Alhamdulillah ala kulli haal”. Syukur dengan lafadz akhirnya disertai oleh niat dalam hati untuk memanifestasikan syukur itu agar tidak berbuat dosa (maksiat) pada-Nya.
Sedangkan syukur kepada makhluk, diaplikasikan dengan kemurahan hati untuk berbagi dengan sesama. Baik berbagi hal-hal yang bersifat materi maupun nonmateri. Bagi orang yang memiliki kelebihan harta, maka dalam hartanya tersebut tersimpan hak-hak orang miskin yang meminta-minta, maupun miskin yag tidak meminta (Lis saaili wal mahruum).
Itulah sebabnya mengapa Ramadhan ditutup dengan pemberian zakat fitrah, sebab ada nilai sosial dalam tiap ibadah yang Allah perintahkan untuk segenap hamba-Nya. Dan, bagi orang yang diberi kelebihan non materi (ilmu), selayaknya mengamalkan ilmu tersebut agar oranglain dapat bertambah ilmunya dan si pengajar bertambah keihlasan dan pahalanya.
Sendi-sendi ibadah yang Allah perintahkan dalam Quran, selalu mengandung nilai-nilai sosial. Dalam Quran, Allah selalu merangkai zakat, seusai lafadz shalat (Wa aqiimush shaalah wa aatuz zakaah), tujuannya jelas, agar kita tidak hanya menyibukkan diri bersama-Nya, namun juga bersama makhluk sekeliling yang Allah ciptakan untuk kelangsungan hidup kita.
Dan akhirnya, takbir yang melahirkan tasyakur itu bertujuan untuk membuang jauh-jauh sifat takabur. Takabur dalam arti sempit bahwa jangan sampai selepas bertakbir, membesarkan Allah, justru hati ini berpaling untuk membesarkan hal-hal lain selain Allah, baik itu harta, tahta, jiwa, atau bahkan hawa nafsu buruk. Na’udzubillah. Wallahua’lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/20/m91ius-maknai-takbir-lahirkan-syukur-sirnakan-takabur
Oleh: Ina Salma Febriani
Ramadhan telah pergi meninggalkan kita. Syawal pun hadir dan seluruh umat Islam menyambutnya dengan sukacita. Kesukacitaan itu juga menuai kesedihan yang tampak nyata, melalui tradisi salam-salaman, mohon maaf kepada sesama, hingga nuansa haru biru mewarnai jutaan umat Muslim dunia.
Itulah jejak indah selepas Ramadhan, disadari maupun tidak, manusia berusaha membuka diri untuk saling introspeksi dan bersedia meminta juga memberi maaf.
Ramadhan dan Syawal bagai dua sisi mata uang. Jika dalam bulan Ramadhan, Allah menghendaki kita untuk melatih jasmani dan rohani melalui puasa, maka di bulan Syawal inilah kita dikehendaki oleh Allah untuk membesarkannya.
Perintah untuk membesarkan asma Allah ini tertuang dalam Quran Surah Al-Baqarah ayat 185, “.... dan agar kalian menyempurnakan hitungan (bilangan) hari puasa dan agar kalian mengagungkan (memuji) Allah atas apa yang Dia telah tunjukkan kepada kaliannn dan agar kalian dapat bersyukur.”
Pengagungan asma Allah melalui gemuruh takbir sudah terdengar tepat setelah diresmikannya Idul Fitri tahun ini jatuh pada Ahad, 19 Agustus. Sesaat itu pula umat Muslim dari berbagai penjuru mengumandangkan lafadz yang sama dengan kebahagiaan dan perayaan yang berbeda-beda di tiap sudut ibukota.
Namun, kebesaran Tuhan tidak cukup hanya ramai dilafadzkan saat malam takbiran dan Idul Fitri. Lebih dari itu, memaknai takbir juga harus disertakan dengan niat sungguh dalam hati dan menyadari betul bahwa hanya Allah saja yang Mahabesar dan selalu melibatkan Allah dalam segala perkara duniawi.
Makna takbir yang sesungguhnya juga melahirkan rasa syukur. Syukur dalam perspektif luas yang dikategorikan menjadi dua, kepada Khalik juga pada makhluk. Syukur kepada Khalik adalah syukur yang dilafadzkan melalui lisan (Alhamdulillahi Rabbil alamin)—dalam segala kondisi.
Atau dalam suatu riwayat, jika kita mendapatkan hal yang kurang kita sukai, maka kita tetap harus memuji Allah dengan lafadz “Alhamdulillah ala kulli haal”. Syukur dengan lafadz akhirnya disertai oleh niat dalam hati untuk memanifestasikan syukur itu agar tidak berbuat dosa (maksiat) pada-Nya.
Sedangkan syukur kepada makhluk, diaplikasikan dengan kemurahan hati untuk berbagi dengan sesama. Baik berbagi hal-hal yang bersifat materi maupun nonmateri. Bagi orang yang memiliki kelebihan harta, maka dalam hartanya tersebut tersimpan hak-hak orang miskin yang meminta-minta, maupun miskin yag tidak meminta (Lis saaili wal mahruum).
Itulah sebabnya mengapa Ramadhan ditutup dengan pemberian zakat fitrah, sebab ada nilai sosial dalam tiap ibadah yang Allah perintahkan untuk segenap hamba-Nya. Dan, bagi orang yang diberi kelebihan non materi (ilmu), selayaknya mengamalkan ilmu tersebut agar oranglain dapat bertambah ilmunya dan si pengajar bertambah keihlasan dan pahalanya.
Sendi-sendi ibadah yang Allah perintahkan dalam Quran, selalu mengandung nilai-nilai sosial. Dalam Quran, Allah selalu merangkai zakat, seusai lafadz shalat (Wa aqiimush shaalah wa aatuz zakaah), tujuannya jelas, agar kita tidak hanya menyibukkan diri bersama-Nya, namun juga bersama makhluk sekeliling yang Allah ciptakan untuk kelangsungan hidup kita.
Dan akhirnya, takbir yang melahirkan tasyakur itu bertujuan untuk membuang jauh-jauh sifat takabur. Takabur dalam arti sempit bahwa jangan sampai selepas bertakbir, membesarkan Allah, justru hati ini berpaling untuk membesarkan hal-hal lain selain Allah, baik itu harta, tahta, jiwa, atau bahkan hawa nafsu buruk. Na’udzubillah. Wallahua’lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/20/m91ius-maknai-takbir-lahirkan-syukur-sirnakan-takabur
Konsistensi Ibadah di Luar Ramadhan
Sabtu, 18 Agustus 2012, 18:01 WIB
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Berbahagialah orang-orang yang telah menunaikan puasa Ramadhan dan memelihara hawa nafsunya dari peringai kehinaan dan keinginan buruk setan. Berbahagialah orang-orang yang memasukkan kebahagiaan kepada anak yatim dan fakir-miskin di bulan Ramadhan.
Berbahagialah orang-orang yang memulai pengalaman baru dengan intensif beribadah di bulan suci. Berbahagialah orang-orang yang diringankan Allah SWT dalam berbuat kebaikan. Berbahagialah orang-orang yang memperbanyak doa dan pengharapan kepada Allah SWT di bulan termulia.
Berbahagialah dan berbahagialah orang-orang yang puasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah yang diterima oleh Allah SWT. Hal tersebut tidak lain karena Malaikat Jibril AS mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang berpuasa dengan berbagai upaya kebaikan yang dilakukan di dalamnya dan Rasulullah SAW mengaminkannya.
Suatu hari, Rasulullah SAW menaiki tangga mimbar dan pada saat berada di atas tangga pertama, beliau berkata, “Amin”. Kemudian naik ke tangga kedua dan berkata, “Amin”. Lalu naik ke tangga ketiga dan berkata, “Amin”.
Ketika Rasulullah SAW turun mimbar dan memiliki waktu cukup luang dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasul, kami mendengar sebuah perkataan pada hari ini yang belum kami dengar sebelumnya.” Rasulullah SAW bertanya, “Kalian semua mendengarkannya?” Para sahabat berkata, “Iya”.
Rasulullah SAW lalu bersabda, "Sungguh, Jibril AS menyampaikan kepadaku pada saat aku berada di tangga mimbar dengan perkataannya, ‘Rugilah orang-orang yang mendapati kedua atau salah satu orang tuanya berumur tua, namun keduanya tidak menjadikannya masuk surga’. Aku (Rasulullah SAW) menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang jika namamu (Muhammad SAW) disebut, namun dia tidak mengucap shalawat kepadamu. Aku menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang mendapati Ramadhan namun tidak mendapat ampunan Allah. Aku menjawab, ‘Amin’." (HR. Tabrani).
Memasuki bulan Syawal, pertanyaan pertama bagi seorang Muslim adalah apakah semua atau sebagian kegiatan ibadah dan pendekatan kepada Allah SWT di bulan Ramadhan akan ditradisikan dan dikonsistensikan di luar Ramadhan ataukah sama sekali tidak akan dilakukan? Dengan kata lain, apakah komunikasi intensif dengan Allah SWT dan hubungan baik sesama manusia di bulan Ramadhan akan memberi pengaruh seluruhnya, sebagiannya atau tidak memberi pengaruh sama sekali di luar Ramadhan?
Hal tersebut karena seorang mukmin sejati bukanlah "hamba" Ramadhan yang beribadah dan memanfaatkan peluang untuk mendapatkan pahala dan ridha Allah SWT hanya di bulan Ramadhan. Seorang mukmin sejati bukanlah seorang yang berbuat kebajikan semaksimal mungkin selama satu bulan dan meninggalkannya di sebelas bulan kemudian, karena Allah SWT berfirman, "Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan datang kepadamu." (QS. Al-hijr: 99).
Jika di bulan Ramadhan seorang mukmin sejati menyibukkan dirinya dengan kesulitan beribadah, taat dan istiqamah, maka di luar bulan Ramadhan ia juga akan menyibukkan diri dengan ibadah, taat, berbuat baik dan berakhlak mulia.
Orang-orang yang beribadah, taat dan menjalin silaturahim hanya di bulan Ramadhan dan meninggalkannya pasca Ramadhan, apalagi kembali kepada kehidupan yang dibenci dan dimurkai Allah, maka orang-orang itu masuk dalam kategori munafik.
Hal tersebut karena dalam diri mereka telah hilang sifat-sifat pribadi Muslim yang baik yang berpihak pada kebenaran, kebaikan dan keadilan; mengingkari perintah Allah; memutus tali persaudaraan; beribadah karena mayoritas kaum Muslimin melakukan ibadah serupa dan membuat kerusakan di bumi. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutus apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk." (QS. Ar-Ra'd: 25).
Yang dituntut dari seorang Muslim adalah menjadikan hari-hari di luar Ramadhan seperti Ramadhan, sehingga konsisten dalam dalam ibadah, takwa, silaturrahim, berbuat baik dan istiqamah sebagaimana penggambaran yang diberikan oleh Allah SWT terhadap pribadi mukmin di dalam Surah Al-Mu'minun: 1-11. Wallahua'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/18/m8y5ml-konsistensi-ibadah-di-luar-ramadhan
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Berbahagialah orang-orang yang telah menunaikan puasa Ramadhan dan memelihara hawa nafsunya dari peringai kehinaan dan keinginan buruk setan. Berbahagialah orang-orang yang memasukkan kebahagiaan kepada anak yatim dan fakir-miskin di bulan Ramadhan.
Berbahagialah orang-orang yang memulai pengalaman baru dengan intensif beribadah di bulan suci. Berbahagialah orang-orang yang diringankan Allah SWT dalam berbuat kebaikan. Berbahagialah orang-orang yang memperbanyak doa dan pengharapan kepada Allah SWT di bulan termulia.
Berbahagialah dan berbahagialah orang-orang yang puasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah yang diterima oleh Allah SWT. Hal tersebut tidak lain karena Malaikat Jibril AS mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang berpuasa dengan berbagai upaya kebaikan yang dilakukan di dalamnya dan Rasulullah SAW mengaminkannya.
Suatu hari, Rasulullah SAW menaiki tangga mimbar dan pada saat berada di atas tangga pertama, beliau berkata, “Amin”. Kemudian naik ke tangga kedua dan berkata, “Amin”. Lalu naik ke tangga ketiga dan berkata, “Amin”.
Ketika Rasulullah SAW turun mimbar dan memiliki waktu cukup luang dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasul, kami mendengar sebuah perkataan pada hari ini yang belum kami dengar sebelumnya.” Rasulullah SAW bertanya, “Kalian semua mendengarkannya?” Para sahabat berkata, “Iya”.
Rasulullah SAW lalu bersabda, "Sungguh, Jibril AS menyampaikan kepadaku pada saat aku berada di tangga mimbar dengan perkataannya, ‘Rugilah orang-orang yang mendapati kedua atau salah satu orang tuanya berumur tua, namun keduanya tidak menjadikannya masuk surga’. Aku (Rasulullah SAW) menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang jika namamu (Muhammad SAW) disebut, namun dia tidak mengucap shalawat kepadamu. Aku menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang mendapati Ramadhan namun tidak mendapat ampunan Allah. Aku menjawab, ‘Amin’." (HR. Tabrani).
Memasuki bulan Syawal, pertanyaan pertama bagi seorang Muslim adalah apakah semua atau sebagian kegiatan ibadah dan pendekatan kepada Allah SWT di bulan Ramadhan akan ditradisikan dan dikonsistensikan di luar Ramadhan ataukah sama sekali tidak akan dilakukan? Dengan kata lain, apakah komunikasi intensif dengan Allah SWT dan hubungan baik sesama manusia di bulan Ramadhan akan memberi pengaruh seluruhnya, sebagiannya atau tidak memberi pengaruh sama sekali di luar Ramadhan?
Hal tersebut karena seorang mukmin sejati bukanlah "hamba" Ramadhan yang beribadah dan memanfaatkan peluang untuk mendapatkan pahala dan ridha Allah SWT hanya di bulan Ramadhan. Seorang mukmin sejati bukanlah seorang yang berbuat kebajikan semaksimal mungkin selama satu bulan dan meninggalkannya di sebelas bulan kemudian, karena Allah SWT berfirman, "Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan datang kepadamu." (QS. Al-hijr: 99).
Jika di bulan Ramadhan seorang mukmin sejati menyibukkan dirinya dengan kesulitan beribadah, taat dan istiqamah, maka di luar bulan Ramadhan ia juga akan menyibukkan diri dengan ibadah, taat, berbuat baik dan berakhlak mulia.
Orang-orang yang beribadah, taat dan menjalin silaturahim hanya di bulan Ramadhan dan meninggalkannya pasca Ramadhan, apalagi kembali kepada kehidupan yang dibenci dan dimurkai Allah, maka orang-orang itu masuk dalam kategori munafik.
Hal tersebut karena dalam diri mereka telah hilang sifat-sifat pribadi Muslim yang baik yang berpihak pada kebenaran, kebaikan dan keadilan; mengingkari perintah Allah; memutus tali persaudaraan; beribadah karena mayoritas kaum Muslimin melakukan ibadah serupa dan membuat kerusakan di bumi. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutus apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk." (QS. Ar-Ra'd: 25).
Yang dituntut dari seorang Muslim adalah menjadikan hari-hari di luar Ramadhan seperti Ramadhan, sehingga konsisten dalam dalam ibadah, takwa, silaturrahim, berbuat baik dan istiqamah sebagaimana penggambaran yang diberikan oleh Allah SWT terhadap pribadi mukmin di dalam Surah Al-Mu'minun: 1-11. Wallahua'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/18/m8y5ml-konsistensi-ibadah-di-luar-ramadhan
Inilah Adab di Hari Raya Idul Fitri
Sabtu, 18 Agustus 2012, 06:48 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Ruslan
Umat Islam di berbagai tempat, daerah, dan negara memiliki tradisi masing-masing dalam menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri. Intinya, pada saat hari raya, setiap keluarga bisa berkumpul, saling mengunjungi, dan bersilaturahim, serta saling memaafkan.
Nah, agar perayaan Idul Fitri 1432 H benar-benar bermakna, sebaiknya setiap Muslim meniru teladan dan perintah Rasulullah SAW dalam mengisi hari nan fitri ini. Dalam Kitab Mausuu'atul Aadaab Al-Islaamiyyah, Syekh Abdul Azis bin Fathi As-Sayyid Nada menjelaskan adab berhari raya ala Rasulullah SAW. Berikut ini adab berhari raya.
Pertama, niat yang benar.
Menurut Syekh Sayyid Nada, wajib bagi seorang Muslim menghadirkan niat yang benar dalam segala perkara berkaitan dengan hari raya, seperti berniat ketika keluar rumah untuk shalat demi mengikuti Nabi SAW.
Kedua, mandi.
Pada hari Idul Fitri hendaknya setiap Muslim mandi. Sehingga, dapat berkumpul bersama kaum Muslimin lainnya dalam keadaan bersih dan wangi. Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, bahwa ia mandi pada hari raya Idul Fitri, sebelum berangkat ke tempat shalat. (HR Malik dalam kitab al-Muwaththa).
Ketiga, memakai wewangian.
Saat akan shalat Idul Fitri, hendaknya setiap Muslim memakai wewangian dan dalam keadaan bersih.
Keempat, memakai pakaian baru.
Jika seorang mampu, disunahkan memakai pakaian baru pada hari raya Idul Fitri. Hal itu menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT dan menunjukkan kegembiraan pada hari raya. Ibnu Umar RA memakai pakaian terbaiknya pada kedua hari raya. (HR Al-Baihaki).
Kelima, mengeluarkan zakat fitrah sebelum melaksanakan shalat.
Sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, seorang Muslim hendaknya mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat untuk menggembirakan fakir-miskin dan orang yang membutuhkan pada hari Ied tersebut. Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk mengeluarkan zakat fitrah sebelum orang-orang keluar untuk shalat. (HR Bukhari-Muslim).
Keenam, memakan kurma sebelum berangkat dari rumah pada hari raya Idul Fitri.
Dalam sebuah hadis disebutkan, Rasulullah SAW sebelum berangkat shalat pada hari raya Idul Fitri memakan kurma terlebih dahulu. Dalam riwayat lain disebutkan, Nabi SAW tak berangkat shalat Idul Fitri kecuali setelah makan, sedangkan beliau tidak makan pada hari raya Idul Adha, kecuali setelah pulang dan makan dari hewan kurbannya. (HR at-Tirmidzi)
Ketujuh, bersegera menuju tempat shalat.
Pada hari raya Idul Fitri, hendaknya setiap Muslim bergegas menuju tempat dilakukannya shalat I'ed.
Kedelapan, keluarnya wanita ke tempat shalat.
Kaum wanita dianjurkan untuk keluar menuju tempat shalat walaupun sedang haid. Sehingga, mereka dapat menyaksikan dan mendapat kemuliaan hari raya serta merasakan kebahagiaan bersama orang lain.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber : Republika Online
01. http://ramadhan.republika.co.id/berita/ramadhan/pernik-lebaran/12/08/18/m8xbgo-inilah-adab-di-hari-raya-idul-fitri-1
02. http://ramadhan.republika.co.id/berita/ramadhan/pernik-lebaran/12/08/18/m8xbv8-inilah-adab-di-hari-raya-idul-fitri-2
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Ruslan
Umat Islam di berbagai tempat, daerah, dan negara memiliki tradisi masing-masing dalam menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri. Intinya, pada saat hari raya, setiap keluarga bisa berkumpul, saling mengunjungi, dan bersilaturahim, serta saling memaafkan.
Nah, agar perayaan Idul Fitri 1432 H benar-benar bermakna, sebaiknya setiap Muslim meniru teladan dan perintah Rasulullah SAW dalam mengisi hari nan fitri ini. Dalam Kitab Mausuu'atul Aadaab Al-Islaamiyyah, Syekh Abdul Azis bin Fathi As-Sayyid Nada menjelaskan adab berhari raya ala Rasulullah SAW. Berikut ini adab berhari raya.
Pertama, niat yang benar.
Menurut Syekh Sayyid Nada, wajib bagi seorang Muslim menghadirkan niat yang benar dalam segala perkara berkaitan dengan hari raya, seperti berniat ketika keluar rumah untuk shalat demi mengikuti Nabi SAW.
Kedua, mandi.
Pada hari Idul Fitri hendaknya setiap Muslim mandi. Sehingga, dapat berkumpul bersama kaum Muslimin lainnya dalam keadaan bersih dan wangi. Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, bahwa ia mandi pada hari raya Idul Fitri, sebelum berangkat ke tempat shalat. (HR Malik dalam kitab al-Muwaththa).
Ketiga, memakai wewangian.
Saat akan shalat Idul Fitri, hendaknya setiap Muslim memakai wewangian dan dalam keadaan bersih.
Keempat, memakai pakaian baru.
Jika seorang mampu, disunahkan memakai pakaian baru pada hari raya Idul Fitri. Hal itu menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT dan menunjukkan kegembiraan pada hari raya. Ibnu Umar RA memakai pakaian terbaiknya pada kedua hari raya. (HR Al-Baihaki).
Kelima, mengeluarkan zakat fitrah sebelum melaksanakan shalat.
Sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, seorang Muslim hendaknya mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat untuk menggembirakan fakir-miskin dan orang yang membutuhkan pada hari Ied tersebut. Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk mengeluarkan zakat fitrah sebelum orang-orang keluar untuk shalat. (HR Bukhari-Muslim).
Keenam, memakan kurma sebelum berangkat dari rumah pada hari raya Idul Fitri.
Dalam sebuah hadis disebutkan, Rasulullah SAW sebelum berangkat shalat pada hari raya Idul Fitri memakan kurma terlebih dahulu. Dalam riwayat lain disebutkan, Nabi SAW tak berangkat shalat Idul Fitri kecuali setelah makan, sedangkan beliau tidak makan pada hari raya Idul Adha, kecuali setelah pulang dan makan dari hewan kurbannya. (HR at-Tirmidzi)
Ketujuh, bersegera menuju tempat shalat.
Pada hari raya Idul Fitri, hendaknya setiap Muslim bergegas menuju tempat dilakukannya shalat I'ed.
Kedelapan, keluarnya wanita ke tempat shalat.
Kaum wanita dianjurkan untuk keluar menuju tempat shalat walaupun sedang haid. Sehingga, mereka dapat menyaksikan dan mendapat kemuliaan hari raya serta merasakan kebahagiaan bersama orang lain.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber : Republika Online
01. http://ramadhan.republika.co.id/berita/ramadhan/pernik-lebaran/12/08/18/m8xbgo-inilah-adab-di-hari-raya-idul-fitri-1
02. http://ramadhan.republika.co.id/berita/ramadhan/pernik-lebaran/12/08/18/m8xbv8-inilah-adab-di-hari-raya-idul-fitri-2
Tradisi Iktikaf Akhir Ramadhan
Sabtu, 11 Agustus 2012, 01:01 WIB
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Sesungguhnya iktikaf bukan merupakan ibadah khusus di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Iktikaf (berdiam diri di Masjid dengan menyibukkan beribadah kepada Allah SWT) dapat dilakukan setiap waktu dan kesempatan baik oleh seorang Muslim maupun Muslimah termasuk anak-anak yang telah mencapai umur baligh (dewasa).
iktikaf hukumnya sunah muakkadah dan wajib dilakukan di masjid, bukan di tempat lain seperti rumah atau semacamnya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT, "Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan sujud." (QS. Al-Baqarah: 125).
Adapun banyaknya orang yang melakukan iktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan didasarkan pada sunah Rasulullah SAW yang senantiasa meningkatkan kualitas maupun kuantitas ibadahnya pada sepuluh hari terakhir tersebut.
Di sepuluh hari terakhir itu Rasulullah SAW menambah jumlah qiyamul lail-nya, memperbanyak shalawat, dzikir, istighfar, tahmid, takbir dan tahlil kepada Allah SWT serta membaca Alquran, disamping melakukan iktikaf di masjid sebanyak sepuluh hari dalam rangka mencari Lailatul Qadar dan mengharap pahala serta ridha Allah SWT. Pada Ramadhan terakhir menjelang wafat, Rasulullah SAW melakukan iktikaf sebanyak dua puluh hari.
Dari Abu Hurairah RA, "Adalah Rasulullah SAW yang senantiasa melakukan iktikaf sebanyak sepuluh hari pada setiap Ramadhan. Pada Ramadhan di mana beliau wafat, Rasulullah SAW melakukan iktikaf sebanyak dua puluh hari." (HR. Bukhari).
Iktikaf sendiri menurut para ulama dapat dilakukan dalam waktu sesaat seperti satu, dua jam atau lebih, baik pada waktu siang maupun malam. Yang terpenting dalam kegiatan iktikaf tersebut adalah seseorang berada di masjid dan tinggal di dalamnya karena hal itu merupakan rukun iktikaf; menyibukkan diri dengan ibadah dan pendekatan kepada Allah SWT; serta mulut maupun hatinya hanya disibukkan dengan kebaikan dan jauh dari kesibukan duniawi.
Namun, disunahkan iktikaf dilakukan paling sedikitnya sehari-semalam, karena Rasulullah SAW dan para sahabatnya tidak pernah melakukan iktikaf kecuali sedikitnya dalam waktu sehari-semalam.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan iktikaf sebagaimana dikatakan oleh Aisyah dalam riwayat Abu Daud antara lain seseorang yang beriktikaf hendaknya tidak sakit, tidak melihat jenazah, tidak mencium suami/istrinya, dan tidak keluar dari masjid untuk kebutuhan yang tidak penting. Sedangkan utamanya, iktikaf dilakukan dalam keadaan berpuasa dan di tiga masjid utama Islam, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha.
Mereka yang berkesempatan melakukan umrah di sepuluh terakhir bulan Ramadhan memiliki keutamaan tempat, waktu, situasi/kondisi, dan momentum karena dapat melakukan iktikaf di Masjidil Haram/Nabawi/Al Aqsha, pada bulan Ramadhan, dalam kondisi berpuasa, serta pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dapat kita bayangkan betapa mudah Allah SWT mengabulkan doa-doanya.
Namun, Rahmat Allah sangatlah luas dan tidak pernah memaksa di luar batas kemampuan kita masing-masing, sehingga kita yang belum dan tidak memiliki kesempatan untuk datang ke Masjidil Haram, pelaksanaan iktikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan tetap merupakan momentum yang baik sebab keutamaan ibadah dan dikabulkannya doa terletak pada detik-detik terakhir saat ibadah usai dilaksanakan. Wallahua'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/10/m8jefe-tradisi-iktikaf-akhir-ramadhan
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Sesungguhnya iktikaf bukan merupakan ibadah khusus di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Iktikaf (berdiam diri di Masjid dengan menyibukkan beribadah kepada Allah SWT) dapat dilakukan setiap waktu dan kesempatan baik oleh seorang Muslim maupun Muslimah termasuk anak-anak yang telah mencapai umur baligh (dewasa).
iktikaf hukumnya sunah muakkadah dan wajib dilakukan di masjid, bukan di tempat lain seperti rumah atau semacamnya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT, "Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan sujud." (QS. Al-Baqarah: 125).
Adapun banyaknya orang yang melakukan iktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan didasarkan pada sunah Rasulullah SAW yang senantiasa meningkatkan kualitas maupun kuantitas ibadahnya pada sepuluh hari terakhir tersebut.
Di sepuluh hari terakhir itu Rasulullah SAW menambah jumlah qiyamul lail-nya, memperbanyak shalawat, dzikir, istighfar, tahmid, takbir dan tahlil kepada Allah SWT serta membaca Alquran, disamping melakukan iktikaf di masjid sebanyak sepuluh hari dalam rangka mencari Lailatul Qadar dan mengharap pahala serta ridha Allah SWT. Pada Ramadhan terakhir menjelang wafat, Rasulullah SAW melakukan iktikaf sebanyak dua puluh hari.
Dari Abu Hurairah RA, "Adalah Rasulullah SAW yang senantiasa melakukan iktikaf sebanyak sepuluh hari pada setiap Ramadhan. Pada Ramadhan di mana beliau wafat, Rasulullah SAW melakukan iktikaf sebanyak dua puluh hari." (HR. Bukhari).
Iktikaf sendiri menurut para ulama dapat dilakukan dalam waktu sesaat seperti satu, dua jam atau lebih, baik pada waktu siang maupun malam. Yang terpenting dalam kegiatan iktikaf tersebut adalah seseorang berada di masjid dan tinggal di dalamnya karena hal itu merupakan rukun iktikaf; menyibukkan diri dengan ibadah dan pendekatan kepada Allah SWT; serta mulut maupun hatinya hanya disibukkan dengan kebaikan dan jauh dari kesibukan duniawi.
Namun, disunahkan iktikaf dilakukan paling sedikitnya sehari-semalam, karena Rasulullah SAW dan para sahabatnya tidak pernah melakukan iktikaf kecuali sedikitnya dalam waktu sehari-semalam.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan iktikaf sebagaimana dikatakan oleh Aisyah dalam riwayat Abu Daud antara lain seseorang yang beriktikaf hendaknya tidak sakit, tidak melihat jenazah, tidak mencium suami/istrinya, dan tidak keluar dari masjid untuk kebutuhan yang tidak penting. Sedangkan utamanya, iktikaf dilakukan dalam keadaan berpuasa dan di tiga masjid utama Islam, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha.
Mereka yang berkesempatan melakukan umrah di sepuluh terakhir bulan Ramadhan memiliki keutamaan tempat, waktu, situasi/kondisi, dan momentum karena dapat melakukan iktikaf di Masjidil Haram/Nabawi/Al Aqsha, pada bulan Ramadhan, dalam kondisi berpuasa, serta pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dapat kita bayangkan betapa mudah Allah SWT mengabulkan doa-doanya.
Namun, Rahmat Allah sangatlah luas dan tidak pernah memaksa di luar batas kemampuan kita masing-masing, sehingga kita yang belum dan tidak memiliki kesempatan untuk datang ke Masjidil Haram, pelaksanaan iktikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan tetap merupakan momentum yang baik sebab keutamaan ibadah dan dikabulkannya doa terletak pada detik-detik terakhir saat ibadah usai dilaksanakan. Wallahua'lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/10/m8jefe-tradisi-iktikaf-akhir-ramadhan
Keutamaan Malam Nuzulul Quran
Jumat, 10 Agustus 2012, 04:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
Sejumlah literatur Islam menyebutkan bahwa Ramadhan merupakan bulan diturunkannya Alquran. “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang bathil.” (QS al-Baqarah [2]: 185).
Ada banyak keterangan yang menyebutkan bahwa Alquran memberikan petunjuk seputar persoalan akidah, syariah dan akhlak, dengan jalan meletakan prinsip dasar tentang persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasulullah SAW untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: “Kami telah turunkan kepdamu Al-Dzikir (Al-Qur’an) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berfikir” (QS 16:44).
Dalam konteks bagaimana Alquran memberi petunjuk ikhwal akhlak yang harus dikedepankan sebagai seorang pribadi muslim dalam melakukan jalinan muamalah, hubungan antar manusia dengan sesamanya menjadi bagian utama.
Bahkan ketika Rasulullah SAW ditanya oleh salah seorang sahabat, apa yang harus kita kerjakan dalam hidup? Beliau menjawab Muamalah atau hubungan antarmanusia. Mengapa hubungan antar manusia menjadi prioritas Nabi, karena hakikatnya hubungan antar manusia adalah kunci utama dalam hidup.
Allah SWT tidak akan mengampuni kesalahan hambanya, jika seorang hamba itu tidak bisa memaafkan antarsesama atau antarmanusia. Ini artinya jalinan hubungan antarmanusia (Habulumminannas) memiliki urgensi yang utama serta vital dihadapan-NYA. Sehingga apabila seorang hamba akan melakukan hubungan dengan Allah SWT (Hablumminallah), alangkah baiknya dibenahi sejak awal hubungan antar manusianya.
Sebagai manusia, kita lahir dan hidup dalam alam nyata, alam kehidupan sosial. Dan kehidupan sosial ada pula nilai-nilai sosial yang mengatur tata hubungan antaranggota masyarakat itu sendiri.
Maka dengan nilai-nilai sosial ini diharapkan dapat memperhitungkan apa yang akan dilakukan antara satu dengan yang lainnya. Seperti kehidupan bertetangga yang harus dijalin secara baik. Karena tanpa ada komunikasi, hidup akan terasa hampa, sepi dan tak bertuan.
Melalui hubungan antarmanusia yang diajarkan Islam, sejatinya mengajak manusia memasuki proses penyucian diri, kemudian menegakkan komitmen sosial, yang dijabarkan dengan berbagai bentuk, seperti sedekah, zakat dan membantu antar sesama dengan berbagai cara.
Pemberian sedekah, zakat dan bantuan lainnya agar didasarkan pada keikhlasan sebagai manifestasi nilai-nilai tauhid, keadilan sosial dan menjalin hubungan secara baik dengan sesamanya. Kesemua itu, sebenarnya kunci dari perwujudan akhlak karimah.
Salah satu pilar yang utama terkait dengan hubungan antarmanusia, yang memiliki dimensi akhlak mulia ini adalah kemampuan berbagidengan orang lain, baik dalam bentuk nasihat, tegur sapa, atau berbagi dalam bentuk materi.
Oleh karena itu, momentum bulan suci Ramadhan dapat kita jadikan sebagai salah satu sarana mempedomani Alquran guna dijadikan panduan dalam kerangka melakukan hubungan antarmanusia.
Dengan cara ini semoga dapat juga membangkitkan semangat ukhuwah islamiah dan ukhuwah wathoniah sebagaimana yang diserukan al-Quranul karim.
Disamping itu, Alquran juga menyerukan tentang perlunya berlomba-lomba dalam kebajikan, yang harus dipahami pada kebaikan secara universal (al-akhay, al-ma’ruf).
Kebaikan yang tidak mengenal batas agama, ras atau dari golongan manapun. Sehingga berlomba-lomba dalam kebaikan tidak melihat identitas orang itu, dari mana ia berasal dan kebaikan universal inilah yang harus ditanamkan sebagai wujud masyarakat yang berahlak mulia.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/09/m8hvt5-keutamaan-malam-nuzulul-quran
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
Sejumlah literatur Islam menyebutkan bahwa Ramadhan merupakan bulan diturunkannya Alquran. “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang bathil.” (QS al-Baqarah [2]: 185).
Ada banyak keterangan yang menyebutkan bahwa Alquran memberikan petunjuk seputar persoalan akidah, syariah dan akhlak, dengan jalan meletakan prinsip dasar tentang persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasulullah SAW untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: “Kami telah turunkan kepdamu Al-Dzikir (Al-Qur’an) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berfikir” (QS 16:44).
Dalam konteks bagaimana Alquran memberi petunjuk ikhwal akhlak yang harus dikedepankan sebagai seorang pribadi muslim dalam melakukan jalinan muamalah, hubungan antar manusia dengan sesamanya menjadi bagian utama.
Bahkan ketika Rasulullah SAW ditanya oleh salah seorang sahabat, apa yang harus kita kerjakan dalam hidup? Beliau menjawab Muamalah atau hubungan antarmanusia. Mengapa hubungan antar manusia menjadi prioritas Nabi, karena hakikatnya hubungan antar manusia adalah kunci utama dalam hidup.
Allah SWT tidak akan mengampuni kesalahan hambanya, jika seorang hamba itu tidak bisa memaafkan antarsesama atau antarmanusia. Ini artinya jalinan hubungan antarmanusia (Habulumminannas) memiliki urgensi yang utama serta vital dihadapan-NYA. Sehingga apabila seorang hamba akan melakukan hubungan dengan Allah SWT (Hablumminallah), alangkah baiknya dibenahi sejak awal hubungan antar manusianya.
Sebagai manusia, kita lahir dan hidup dalam alam nyata, alam kehidupan sosial. Dan kehidupan sosial ada pula nilai-nilai sosial yang mengatur tata hubungan antaranggota masyarakat itu sendiri.
Maka dengan nilai-nilai sosial ini diharapkan dapat memperhitungkan apa yang akan dilakukan antara satu dengan yang lainnya. Seperti kehidupan bertetangga yang harus dijalin secara baik. Karena tanpa ada komunikasi, hidup akan terasa hampa, sepi dan tak bertuan.
Melalui hubungan antarmanusia yang diajarkan Islam, sejatinya mengajak manusia memasuki proses penyucian diri, kemudian menegakkan komitmen sosial, yang dijabarkan dengan berbagai bentuk, seperti sedekah, zakat dan membantu antar sesama dengan berbagai cara.
Pemberian sedekah, zakat dan bantuan lainnya agar didasarkan pada keikhlasan sebagai manifestasi nilai-nilai tauhid, keadilan sosial dan menjalin hubungan secara baik dengan sesamanya. Kesemua itu, sebenarnya kunci dari perwujudan akhlak karimah.
Salah satu pilar yang utama terkait dengan hubungan antarmanusia, yang memiliki dimensi akhlak mulia ini adalah kemampuan berbagidengan orang lain, baik dalam bentuk nasihat, tegur sapa, atau berbagi dalam bentuk materi.
Oleh karena itu, momentum bulan suci Ramadhan dapat kita jadikan sebagai salah satu sarana mempedomani Alquran guna dijadikan panduan dalam kerangka melakukan hubungan antarmanusia.
Dengan cara ini semoga dapat juga membangkitkan semangat ukhuwah islamiah dan ukhuwah wathoniah sebagaimana yang diserukan al-Quranul karim.
Disamping itu, Alquran juga menyerukan tentang perlunya berlomba-lomba dalam kebajikan, yang harus dipahami pada kebaikan secara universal (al-akhay, al-ma’ruf).
Kebaikan yang tidak mengenal batas agama, ras atau dari golongan manapun. Sehingga berlomba-lomba dalam kebaikan tidak melihat identitas orang itu, dari mana ia berasal dan kebaikan universal inilah yang harus ditanamkan sebagai wujud masyarakat yang berahlak mulia.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/09/m8hvt5-keutamaan-malam-nuzulul-quran
Sabar, Tanda Kuat Iman
Jumat, 10 Agustus 2012, 14:57 WIB
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Menghadapi musibah, masalah, ketakutan, kekurangan, tekanan dan cobaan dengan sikap sabar lazim dilakukan semua orang.
Mereka yang kuat bersabar dalam semua keadaan tersebut sambil terus berikhtiar mencari solusi, perbaikan dan konsisten mendekati Allah SWT akan mendapatkan berkah dan rahmat-Nya. (QS. Al Baqarah: 155-157). Hal itu karena sabar merupakan modal yang senantiasa harus diperkuat secara terus menerus oleh orang yang beriman di sepanjang jalan kehidupan.
Sabar juga berkaitan dengan ketaatan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Mereka yang konsisten sabar dalam beribadah dan menjauhi larangan-Nya, akan mendapatkan ketentraman hati, tambahan petunjuk dan keyakinan serta kegembiraan atas janji Allah SWT. (QS. Fushilat: 30-32).
Hal tersebut karena sabar dalam ketaatan dan menjauhi larangan tidak lepas dari banyaknya tantangan, baik yang berasal dari nafsunya sendiri, orang lain maupun bisikan busuk setan.
Kesabaran dengan demikian merupakan prasyarat yang diperlukan dalam semua kondisi kehidupan. Ibarat dua sisi mata uang, sabar merupakan jalan pilihan dalam menyelesaikan beban kehidupan yang berat agar seseorang sampai ke tempat tujuan dengan baik pada satu sisi. Sedangkan pada sisi lain, sabar merupakan benteng pertahanan yang menjadikan seseorang konsisten, tekun dan mantap dengan pilihan yang telah ditetapkan.
Bersabar bukan berarti lemah dan menyerah terhadap keadaan. Bersabar justru merupakan sikap posif dan menunjukkan kuatnya iman seseorang. Allah SWT berfirman: "Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, Sungguh yang demikian itu termasuk kewajiban dalam menghadapi perkara." (QS. Luqman: 17).
Bersabar yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan bahkan menjadikan seseorang solid, kuat, berwibawa, disegani kawan maupun lawan dan membawa keberhasilan serta kebahagiaan. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu dan bersiap siagalah serta bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung." (QS. Ali Imran: 200).
Kesabaran bukan sikap defensif dan menerima keadaan dengan pasrah. Sebaliknya sabar merupakan sikap ofensif jiwa dalam menolak kemungkaran dan larangan Allah serta ketetapan hati yang kuat dalam menjalankan perintah-Nya dan mencari solusi terbaik dalam mengatasi keadaan. Allah SWT berfirman, "Maka kesabaran yang baik itu (adalah kesabaranku), Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sungguh, Dialah Yang Mahamengetahui Mahabijaksana." (QS, Yusuf: 83).
Kesabaran tidak tumbuh sendiri layaknya pohon ilalang. Ia dimiliki melalui proses panjang yang matang. Seseorang dapat dikarunia kesabaran dengan pembiasaan-pembiasaan berikut:
Pertama, memiliki pandangan bahwa apa yang melekat pada dirinya, orang lain dan dunia adalah amanah dari Allah SWT dan berusaha untuk memfungsikan dirinya sebagai pengamban amanah di hadapan manusia dan Allah SWT.
Kedua, bersikap tumakninah dan ridha atas semua takdir yang diberikan Allah SWT, sehingga bersikap enjoy dengan kenyataan apa pun yang dihadapi dengan tetap berpegang pada agama Allah SWT.
Ketiga, sadar bahwa dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi, menghadapi banyak tantangan yang berasal dari nafsunya sendiri, keluarga dan komunitas di sekitarnya bahkan dari setan yang menjadi musuh bebuyutan manusia. Kesabaran di sini merupakan separuh dari iman karena keyakinan adalah iman yang sepenuhnya.
Keempat, Mengetahui cara-cara meredakan amarah dengan berbagai cara dan polanya, sebagaimana petunjuk Rasulullah SAW dalam berbagai hadisnya.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/10/m8j4s8-sabar-tanda-kuat-iman
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Menghadapi musibah, masalah, ketakutan, kekurangan, tekanan dan cobaan dengan sikap sabar lazim dilakukan semua orang.
Mereka yang kuat bersabar dalam semua keadaan tersebut sambil terus berikhtiar mencari solusi, perbaikan dan konsisten mendekati Allah SWT akan mendapatkan berkah dan rahmat-Nya. (QS. Al Baqarah: 155-157). Hal itu karena sabar merupakan modal yang senantiasa harus diperkuat secara terus menerus oleh orang yang beriman di sepanjang jalan kehidupan.
Sabar juga berkaitan dengan ketaatan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Mereka yang konsisten sabar dalam beribadah dan menjauhi larangan-Nya, akan mendapatkan ketentraman hati, tambahan petunjuk dan keyakinan serta kegembiraan atas janji Allah SWT. (QS. Fushilat: 30-32).
Hal tersebut karena sabar dalam ketaatan dan menjauhi larangan tidak lepas dari banyaknya tantangan, baik yang berasal dari nafsunya sendiri, orang lain maupun bisikan busuk setan.
Kesabaran dengan demikian merupakan prasyarat yang diperlukan dalam semua kondisi kehidupan. Ibarat dua sisi mata uang, sabar merupakan jalan pilihan dalam menyelesaikan beban kehidupan yang berat agar seseorang sampai ke tempat tujuan dengan baik pada satu sisi. Sedangkan pada sisi lain, sabar merupakan benteng pertahanan yang menjadikan seseorang konsisten, tekun dan mantap dengan pilihan yang telah ditetapkan.
Bersabar bukan berarti lemah dan menyerah terhadap keadaan. Bersabar justru merupakan sikap posif dan menunjukkan kuatnya iman seseorang. Allah SWT berfirman: "Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, Sungguh yang demikian itu termasuk kewajiban dalam menghadapi perkara." (QS. Luqman: 17).
Bersabar yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan bahkan menjadikan seseorang solid, kuat, berwibawa, disegani kawan maupun lawan dan membawa keberhasilan serta kebahagiaan. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu dan bersiap siagalah serta bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung." (QS. Ali Imran: 200).
Kesabaran bukan sikap defensif dan menerima keadaan dengan pasrah. Sebaliknya sabar merupakan sikap ofensif jiwa dalam menolak kemungkaran dan larangan Allah serta ketetapan hati yang kuat dalam menjalankan perintah-Nya dan mencari solusi terbaik dalam mengatasi keadaan. Allah SWT berfirman, "Maka kesabaran yang baik itu (adalah kesabaranku), Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sungguh, Dialah Yang Mahamengetahui Mahabijaksana." (QS, Yusuf: 83).
Kesabaran tidak tumbuh sendiri layaknya pohon ilalang. Ia dimiliki melalui proses panjang yang matang. Seseorang dapat dikarunia kesabaran dengan pembiasaan-pembiasaan berikut:
Pertama, memiliki pandangan bahwa apa yang melekat pada dirinya, orang lain dan dunia adalah amanah dari Allah SWT dan berusaha untuk memfungsikan dirinya sebagai pengamban amanah di hadapan manusia dan Allah SWT.
Kedua, bersikap tumakninah dan ridha atas semua takdir yang diberikan Allah SWT, sehingga bersikap enjoy dengan kenyataan apa pun yang dihadapi dengan tetap berpegang pada agama Allah SWT.
Ketiga, sadar bahwa dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi, menghadapi banyak tantangan yang berasal dari nafsunya sendiri, keluarga dan komunitas di sekitarnya bahkan dari setan yang menjadi musuh bebuyutan manusia. Kesabaran di sini merupakan separuh dari iman karena keyakinan adalah iman yang sepenuhnya.
Keempat, Mengetahui cara-cara meredakan amarah dengan berbagai cara dan polanya, sebagaimana petunjuk Rasulullah SAW dalam berbagai hadisnya.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/10/m8j4s8-sabar-tanda-kuat-iman
Bahagia dengan Bersyukur
Rabu, 08/08/2012 07:11 WIB
KH Abdullah Gymnastiar - detikRamadan
Jakarta - Orang yang tahu banyak nikmat itu dari Allah SWT, maka ia makin banyak bersyukur. Dia akan makin bahagia terhadap nikmat yang sudah ada, dan dengan syukurnya dia bisa mengundang nikmat yang belum ada. Jadi, sesungguhnya antara kehebatan syukur dengan kehebatan keinginan jauh lebih hebat kemampuan bersyukur.
Orang yang jago bersyukur lebih terjamin daripada orang yang banyak keinginan. Banyak orang lebih fokus pada keinginannya, tidak pada mensyukuri yang ada. Bukan tidak boleh memiliki keinginan, namun jangan sampai keinginan tersebut menghilangkan rasa syukur terhadap nikmat yang ada. Contoh, ingin nasi goreng, yang ada ternyata hanya nasi uduk. Kalau nasi uduk diketahui sebagai karunia Allah SWT yang besar, tentunya dia tidak akan kesal karena tidak tersedia nasi goreng.
Atau ketika yang ada hanya air putih, tidak ada air susu, ia kesal. Padahal, apabila ditafakuri adanya air putih itu, ternyata harus melalui rangkaian proses yang demikian panjang, dari mata air di pegunungan, kemudian masuk ke dalam pabrik, dikemas oleh siapa, disebar di pertokoan, dan hingga sampai di atas meja.
Dikisahkan ada seorang kaya raya yang sakit. Menjelang sembuh ia ingin menikmati makanan-makanan yang serba enak. Lalu ia pun sengaja berpindah-pindah restaurant di hotel-hotel berbintang hingga lima hotel ia datangi. Karena dirinya belum sembuh betul dari sakitnya, ia mengambil kesimpulan bahwa tidak ada satu pun makanan yang terasa enak di hotel-hotel tersebut. Beda dengan yang dirasakan oleh seorang petani biasa yang makan di pematang sawah. Bekal makanannya nasi dengan lauk pauk seadanya dan ditambah sambal. Ia melahap makanan dengan sangat nikmatnya. Allah lah yang menciptakan nikmat bukan dari lidah.Maka, orang yang tahu bersyukurlah yang bisa menikmati hidup ini. Orang yang menderita itu bukan karena kurang karunia, orang menderita karena kurang bersyukur. Enaknya makanan itu bukan dari makanan, tapi dari rasa syukur.
Nikmat itu akan jauh lebih terasa dengan syukur, dan juga jauh lebih akan berdatangan lagi dengan syukur. Pokoknya syukuri segala keadaan. Bangun tidur dengan mudah itu nikmat yang besar, karena tidak semua orang bisa seperti ini. Alhamdulillah atas apa yang ditemui. Kondisi ekonomi yang ada, syukuri, dengan tetap menjalani ikhtiar dengan sebaik-baiknya. Bila merasa belum kaya, ingatlah bahwa di dunia ini tidak harus semua orang mesti kaya. Allah Maha Teliti dalam mengatur urusan rejeki hamba-hamba-Nya. Belum banyak orang kaya saja jalanan sudah demikian macetnya, demikian salah satu fakta sederhananya.
Seorang ahli syukur tidak tegang dalam persaingan hidup. Karena meyakini bahwa yang lain pun hamba Allah SWT yang memiliki rejekinya masing-masing, dan dalam pengurusan Allah SWT pula . Banyak orang sengsara bukan karena kurang karunia, akan tetapi karena kurang bersyukurnya.
*Pimpinan Ponpest Daarut Tauhiid
Pendiri & Pembina DPU Daarut Tauhiid
(rmd/rmd)
Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/08/071119/1985844/1422/bahagia-dengan-bersyukur
KH Abdullah Gymnastiar - detikRamadan
Jakarta - Orang yang tahu banyak nikmat itu dari Allah SWT, maka ia makin banyak bersyukur. Dia akan makin bahagia terhadap nikmat yang sudah ada, dan dengan syukurnya dia bisa mengundang nikmat yang belum ada. Jadi, sesungguhnya antara kehebatan syukur dengan kehebatan keinginan jauh lebih hebat kemampuan bersyukur.
Orang yang jago bersyukur lebih terjamin daripada orang yang banyak keinginan. Banyak orang lebih fokus pada keinginannya, tidak pada mensyukuri yang ada. Bukan tidak boleh memiliki keinginan, namun jangan sampai keinginan tersebut menghilangkan rasa syukur terhadap nikmat yang ada. Contoh, ingin nasi goreng, yang ada ternyata hanya nasi uduk. Kalau nasi uduk diketahui sebagai karunia Allah SWT yang besar, tentunya dia tidak akan kesal karena tidak tersedia nasi goreng.
Atau ketika yang ada hanya air putih, tidak ada air susu, ia kesal. Padahal, apabila ditafakuri adanya air putih itu, ternyata harus melalui rangkaian proses yang demikian panjang, dari mata air di pegunungan, kemudian masuk ke dalam pabrik, dikemas oleh siapa, disebar di pertokoan, dan hingga sampai di atas meja.
Dikisahkan ada seorang kaya raya yang sakit. Menjelang sembuh ia ingin menikmati makanan-makanan yang serba enak. Lalu ia pun sengaja berpindah-pindah restaurant di hotel-hotel berbintang hingga lima hotel ia datangi. Karena dirinya belum sembuh betul dari sakitnya, ia mengambil kesimpulan bahwa tidak ada satu pun makanan yang terasa enak di hotel-hotel tersebut. Beda dengan yang dirasakan oleh seorang petani biasa yang makan di pematang sawah. Bekal makanannya nasi dengan lauk pauk seadanya dan ditambah sambal. Ia melahap makanan dengan sangat nikmatnya. Allah lah yang menciptakan nikmat bukan dari lidah.Maka, orang yang tahu bersyukurlah yang bisa menikmati hidup ini. Orang yang menderita itu bukan karena kurang karunia, orang menderita karena kurang bersyukur. Enaknya makanan itu bukan dari makanan, tapi dari rasa syukur.
Nikmat itu akan jauh lebih terasa dengan syukur, dan juga jauh lebih akan berdatangan lagi dengan syukur. Pokoknya syukuri segala keadaan. Bangun tidur dengan mudah itu nikmat yang besar, karena tidak semua orang bisa seperti ini. Alhamdulillah atas apa yang ditemui. Kondisi ekonomi yang ada, syukuri, dengan tetap menjalani ikhtiar dengan sebaik-baiknya. Bila merasa belum kaya, ingatlah bahwa di dunia ini tidak harus semua orang mesti kaya. Allah Maha Teliti dalam mengatur urusan rejeki hamba-hamba-Nya. Belum banyak orang kaya saja jalanan sudah demikian macetnya, demikian salah satu fakta sederhananya.
Seorang ahli syukur tidak tegang dalam persaingan hidup. Karena meyakini bahwa yang lain pun hamba Allah SWT yang memiliki rejekinya masing-masing, dan dalam pengurusan Allah SWT pula . Banyak orang sengsara bukan karena kurang karunia, akan tetapi karena kurang bersyukurnya.
*Pimpinan Ponpest Daarut Tauhiid
Pendiri & Pembina DPU Daarut Tauhiid
(rmd/rmd)
Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/08/071119/1985844/1422/bahagia-dengan-bersyukur
Arti Sukses
Rabu, 08/08/2012 13:46 WIB
KH Abdullah Gymnastiar - detikRamadan
Jakarta - Kesuksesan itu adalah apa pun yang membuatnya insya Allah SWT bisa selamat di akhiratnya. Bagus jika ia bergelar seorang Prof Dr, misalnya, atau orang yang kaya raya, di dunianya bermanfaat bagi banyak orang, lalu menjadi ahli takwa, daripada di dunianya bodoh dan sengsara tapi di akhirat masuk neraka, itu kerugian besar. Apa artinya di dunia sukses tapi celaka di akhirat.
Jangan mengukur kesuksesan itu dari hal duniawi. Dunia hanya sebentar. Yang kekal hanya di akhirat. Kesuksesan bukan dari hal duniawi, namun boleh saja memiliki banyaknya duniawi. Kesuksesan tidak dinilai dari kepemilikan duniawi, sebuah mobil secara nilai duniawi tidak lebih hanya kaleng-kaleng dan logam-logam, rumah hanya tumpukan batu bata. Kesuksesan itu adalah bagaimana kita bisa berhasil menjaga diri dari perbuatan yang menjerumuskan ke dalam api neraka.
"Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka," (QS At Tahrim : 6)
Orang sukses yang paling ideal tentunya adalah yang paling soleh dan paling pintar atau paling kaya. Walaupun kesuksesan itu bukan berarti yang paling pintar, atau yang paling kaya, tapi yang paling takwa.
Hati-hati terhadap pujian jika kita dipandang pintar, kaya, dan dinilai orang paham agama, karena pujian manusia bila tidak hati-hati akan mudah mengangkat hatinya. Atau ketika mendapat piagam penghargaan sebagai seorang yang teladan. Yang penting bukan piagam penghargaannya, tapi paling takwa. Santri teladan itu bukan yang paling pintar, bukan yang bagus nilainya (saja), mestinya yang paling shaleh.
Bagi seorang anak yang memiliki orang yang tuanya kaya raya, ingatlah bahwa hal itu hanya karunia titipan Allah, manusia tidak memiliki apa-apa. Ada pula yang sedang keadaan ekonominya, ada yang kurang mampu, itu semua kehendak Allah. Jangan pernah meremehkan karena duniawinya.
Pada saat sekolah SMA dahulu, suatu saat diundang ke rumah seorang rekan. Rekan yang dikenal alim dan bersahaja, bahkan tidak pernah membawa mobil ke sekolahnya. Ternyata yang membuat kaget adalah rumahnya demikian besar, dengan kendaraan-kendaraan mewah di garasinya. Ketika ditanya bahwa dirinya ternyata orang kaya, tetapi kenapa tidak kelihatan seperti anak-anak orang kaya lainnya. Ia menjawab bahwa yang kaya itu orang tuanya, ia tidak mau memamerkan kekayaan orang tuanya. Kekayaan itu, hanya titipan yang sebentar saja dari Allah.
Kunci sukses dunia akhirat adalah disiplin. Orang yang disiplin akan menjadi orang yang istiqamah, dan orang yang istiqamah akan mendapat kemuliaan.
*Pimpinan Ponpes Daarut Tauhiid
Pendiri & Pembina DPU Daarut Tauhiid
(rmd/rmd)
Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/08/134651/1986249/1422/arti-sukses
KH Abdullah Gymnastiar - detikRamadan
Jakarta - Kesuksesan itu adalah apa pun yang membuatnya insya Allah SWT bisa selamat di akhiratnya. Bagus jika ia bergelar seorang Prof Dr, misalnya, atau orang yang kaya raya, di dunianya bermanfaat bagi banyak orang, lalu menjadi ahli takwa, daripada di dunianya bodoh dan sengsara tapi di akhirat masuk neraka, itu kerugian besar. Apa artinya di dunia sukses tapi celaka di akhirat.
Jangan mengukur kesuksesan itu dari hal duniawi. Dunia hanya sebentar. Yang kekal hanya di akhirat. Kesuksesan bukan dari hal duniawi, namun boleh saja memiliki banyaknya duniawi. Kesuksesan tidak dinilai dari kepemilikan duniawi, sebuah mobil secara nilai duniawi tidak lebih hanya kaleng-kaleng dan logam-logam, rumah hanya tumpukan batu bata. Kesuksesan itu adalah bagaimana kita bisa berhasil menjaga diri dari perbuatan yang menjerumuskan ke dalam api neraka.
"Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka," (QS At Tahrim : 6)
Orang sukses yang paling ideal tentunya adalah yang paling soleh dan paling pintar atau paling kaya. Walaupun kesuksesan itu bukan berarti yang paling pintar, atau yang paling kaya, tapi yang paling takwa.
Hati-hati terhadap pujian jika kita dipandang pintar, kaya, dan dinilai orang paham agama, karena pujian manusia bila tidak hati-hati akan mudah mengangkat hatinya. Atau ketika mendapat piagam penghargaan sebagai seorang yang teladan. Yang penting bukan piagam penghargaannya, tapi paling takwa. Santri teladan itu bukan yang paling pintar, bukan yang bagus nilainya (saja), mestinya yang paling shaleh.
Bagi seorang anak yang memiliki orang yang tuanya kaya raya, ingatlah bahwa hal itu hanya karunia titipan Allah, manusia tidak memiliki apa-apa. Ada pula yang sedang keadaan ekonominya, ada yang kurang mampu, itu semua kehendak Allah. Jangan pernah meremehkan karena duniawinya.
Pada saat sekolah SMA dahulu, suatu saat diundang ke rumah seorang rekan. Rekan yang dikenal alim dan bersahaja, bahkan tidak pernah membawa mobil ke sekolahnya. Ternyata yang membuat kaget adalah rumahnya demikian besar, dengan kendaraan-kendaraan mewah di garasinya. Ketika ditanya bahwa dirinya ternyata orang kaya, tetapi kenapa tidak kelihatan seperti anak-anak orang kaya lainnya. Ia menjawab bahwa yang kaya itu orang tuanya, ia tidak mau memamerkan kekayaan orang tuanya. Kekayaan itu, hanya titipan yang sebentar saja dari Allah.
Kunci sukses dunia akhirat adalah disiplin. Orang yang disiplin akan menjadi orang yang istiqamah, dan orang yang istiqamah akan mendapat kemuliaan.
*Pimpinan Ponpes Daarut Tauhiid
Pendiri & Pembina DPU Daarut Tauhiid
(rmd/rmd)
Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/08/134651/1986249/1422/arti-sukses
Tafakur atas Musibah
Kamis, 09/08/2012 07:22 WIB
KH Abdullah Gymnastiar - detikRamadan
Jakarta - Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah: 269 yang artinya:
"Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.”
Siapapun orang yang bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian yang menimpanya, baik itu kesenangan atau kesedihan, itulah orang yang beruntung, karena Allah SWT telah memberi kebaikan kepadanya. Orang yang berbuat kebaikan walupun baru niat, itu sudah dicatat sebagai kebaikan apalagi jika melakukannya. Adapun bagi orang yang berbuat maksiat dan melakukannya maka sesungguhnya dia adalah orang yang merugi.
Tatkala ujian datang dan disikapi sesuai dengan yang Allah SWT sukai, maka akan menjadikannya beruntung. Rasullullah saw ketika masih muda sebelum diangkat menjadi Nabi pernah berniat akan menonton acara hiburan yang diadakan pada waktu itu, tapi Allah-lah yang menguasai kehidupan beliau, tiba-tiba didatangkan rasa kantuk kepadanya dan membuat beliau tertidur dan baru bangun pada pagi hari, sehingga tidak bisa pergi ke acara tersebut.
Kalau kita mau berbuat maksiat namun, tanpa disadari terlupakan sehingga tidak jadi melakukannya, ketahuilah bahwa itu kasih sayang dan pertolongan Allah SWT. Setiap kejadian itu atas izin Allah SWT, dan pasti ada hikmah. Ilmu jerawat yang sering disampaikan, misalnya, terkadang orang sibuk memikirkan jerawatnya, dari pada wajahnya yang lebih luas, hidungnya yang bisa bernafas, dan masih tidak terhitung nikmat yang lainnya.
Begitu pun yang dialami seorang ulama, ketika diminta fatwa tentang membebaskan seorang budak selama satu bulan beliau belum memberikan jawaban. Kenapa? Ternyata beliau sendiri belum mempraktekkannya. Beliau bebaskan dulu budak tadi barulah beliau mengeluarkan fatwanya.
Pelajaran dari Allah SWT tidak semudah seperti menghadapi kenyataan yang terjadi dengan kehidupan kita. Tafakuri terhadap setiap ujian yang Allah SWT berikan itu tidak lain untuk mengambil hikmah sesudahnya. Fokusnya jangan ke sakit, tapi lebih kepada dosa yang bisa ditebus dengan rasa sakit yang Allah SWT berikan. Mudah-mudahan perihnya sakit itu bisa menghapus dosa.
Ada dosa yang bisa terhapus dengan perih, sakit dan nelangsa. Setiap kejadian itu harus dibongkar. Jalan keluarnya taubat, setelah ingat dosa-dosanya, menjadi jalan pendekatan kepada Allah SWT, dan menambah ilmu. Walaupun harus dihina dan ditipu. Itu semua tidak bahaya. Yang bahaya justru ketika merasa bangga dengan dosa yang sudah kita lakukan.
Digigit anjing baik atau buruk? Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Kisah seorang yang ingin mendapat jodoh. Setelah berdoa kemuadian keluar rumah. Begitu keluar rumah memang ada yang tertarik bahkan sampai mengejar dan digigit. Dibawa ke rumah sakit terdekat, diperiksa dokter, diopname, lalu dia bertemu dengan seorang suster. Setelah lama merasa saling cocok dan tertarik dengan suster tadi. Beberapa hari kemudian suster tadi menikah dengan calonnya yang lain. Maka ada pasien lain yang merasa kasihan dan iba yang mendoakan supaya cepat menikah. Akhirnya pasien tadi pun menikah dengan calonnya yang lain, yakni dengan dokter. Dokter yang merawatnya merasa tidak tega, melihat si pasien tadi sudah digigit anjing, di opname, sakit hati juga. Dokter pun bertanya dan menikah dengan calonnya. Akhirnya si pasien tadi pulang meninggalkan rumah sakit.
Pasti ada hikmah dibalik setiap kejadian yang menimpa kita. Tidak ada yang sia-sia. Dalam quran surat An-Nisa: 79 Allah SWT berfirman :
"Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi."
Selain luangkan waktu untuk tafakur, bertaubatlah karena musibah-musibah yang terjadi banyak karena akibat dari kesalahan dan dosa kita. Sedangkan setiap kebaikan semua dari sisi Allah SWT, karena Allah hanya menginginkan kebaikan saja bagi kita. Sedangkan setiap keburukan itu banyak akibat dari dosa dan keburukan yang kita lakukan. Jadi ketika ada keburukan yang menimpa harus segera dicari apa yang membuat itu terjadi pada kita dengan menyadari dosa.
*Pimpinan Ponpest Daarut Tauhiid
Pendiri & Pembina DPU Daarut Tauhiid
(rmd/rmd)
Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/09/072219/1986816/1422/tafakur-atas-musibah?r992202625
KH Abdullah Gymnastiar - detikRamadan
Jakarta - Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah: 269 yang artinya:
"Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.”
Siapapun orang yang bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian yang menimpanya, baik itu kesenangan atau kesedihan, itulah orang yang beruntung, karena Allah SWT telah memberi kebaikan kepadanya. Orang yang berbuat kebaikan walupun baru niat, itu sudah dicatat sebagai kebaikan apalagi jika melakukannya. Adapun bagi orang yang berbuat maksiat dan melakukannya maka sesungguhnya dia adalah orang yang merugi.
Tatkala ujian datang dan disikapi sesuai dengan yang Allah SWT sukai, maka akan menjadikannya beruntung. Rasullullah saw ketika masih muda sebelum diangkat menjadi Nabi pernah berniat akan menonton acara hiburan yang diadakan pada waktu itu, tapi Allah-lah yang menguasai kehidupan beliau, tiba-tiba didatangkan rasa kantuk kepadanya dan membuat beliau tertidur dan baru bangun pada pagi hari, sehingga tidak bisa pergi ke acara tersebut.
Kalau kita mau berbuat maksiat namun, tanpa disadari terlupakan sehingga tidak jadi melakukannya, ketahuilah bahwa itu kasih sayang dan pertolongan Allah SWT. Setiap kejadian itu atas izin Allah SWT, dan pasti ada hikmah. Ilmu jerawat yang sering disampaikan, misalnya, terkadang orang sibuk memikirkan jerawatnya, dari pada wajahnya yang lebih luas, hidungnya yang bisa bernafas, dan masih tidak terhitung nikmat yang lainnya.
Begitu pun yang dialami seorang ulama, ketika diminta fatwa tentang membebaskan seorang budak selama satu bulan beliau belum memberikan jawaban. Kenapa? Ternyata beliau sendiri belum mempraktekkannya. Beliau bebaskan dulu budak tadi barulah beliau mengeluarkan fatwanya.
Pelajaran dari Allah SWT tidak semudah seperti menghadapi kenyataan yang terjadi dengan kehidupan kita. Tafakuri terhadap setiap ujian yang Allah SWT berikan itu tidak lain untuk mengambil hikmah sesudahnya. Fokusnya jangan ke sakit, tapi lebih kepada dosa yang bisa ditebus dengan rasa sakit yang Allah SWT berikan. Mudah-mudahan perihnya sakit itu bisa menghapus dosa.
Ada dosa yang bisa terhapus dengan perih, sakit dan nelangsa. Setiap kejadian itu harus dibongkar. Jalan keluarnya taubat, setelah ingat dosa-dosanya, menjadi jalan pendekatan kepada Allah SWT, dan menambah ilmu. Walaupun harus dihina dan ditipu. Itu semua tidak bahaya. Yang bahaya justru ketika merasa bangga dengan dosa yang sudah kita lakukan.
Digigit anjing baik atau buruk? Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Kisah seorang yang ingin mendapat jodoh. Setelah berdoa kemuadian keluar rumah. Begitu keluar rumah memang ada yang tertarik bahkan sampai mengejar dan digigit. Dibawa ke rumah sakit terdekat, diperiksa dokter, diopname, lalu dia bertemu dengan seorang suster. Setelah lama merasa saling cocok dan tertarik dengan suster tadi. Beberapa hari kemudian suster tadi menikah dengan calonnya yang lain. Maka ada pasien lain yang merasa kasihan dan iba yang mendoakan supaya cepat menikah. Akhirnya pasien tadi pun menikah dengan calonnya yang lain, yakni dengan dokter. Dokter yang merawatnya merasa tidak tega, melihat si pasien tadi sudah digigit anjing, di opname, sakit hati juga. Dokter pun bertanya dan menikah dengan calonnya. Akhirnya si pasien tadi pulang meninggalkan rumah sakit.
Pasti ada hikmah dibalik setiap kejadian yang menimpa kita. Tidak ada yang sia-sia. Dalam quran surat An-Nisa: 79 Allah SWT berfirman :
"Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi."
Selain luangkan waktu untuk tafakur, bertaubatlah karena musibah-musibah yang terjadi banyak karena akibat dari kesalahan dan dosa kita. Sedangkan setiap kebaikan semua dari sisi Allah SWT, karena Allah hanya menginginkan kebaikan saja bagi kita. Sedangkan setiap keburukan itu banyak akibat dari dosa dan keburukan yang kita lakukan. Jadi ketika ada keburukan yang menimpa harus segera dicari apa yang membuat itu terjadi pada kita dengan menyadari dosa.
*Pimpinan Ponpest Daarut Tauhiid
Pendiri & Pembina DPU Daarut Tauhiid
(rmd/rmd)
Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/09/072219/1986816/1422/tafakur-atas-musibah?r992202625
5 Istilah 'Manusia' dan Maknanya dalam Alquran
Kamis, 09/08/2012 09:05 WIB
Siti Ariyanti - detikRamadan
Jakarta - Manusia merupakan makhluk Allah yang paling tinggi derajadnya dibanding makhluk lain. Di dalam kitab suci Alquran, Allah SWT menggunakan beberapa istilah yang pada dasarnya menjelaskan tentang konsep manusia, bahkan istilah-istilah itu disebutkan lebih dari satu kali. Istilah-istilah manusia dalam Alquran memiliki arti yang berbeda-beda. Berikut 5 istilah 'manusia' dalam Alquran, sebagaimana dihimpun detikRamadan dari berbagai sumber, Rabu (8/8/2012).
1. Al Basyr, menunjukkan makna bahwa manusia adalah anak keturunan Nabi Adam as dan makhluk fisik yang juga menyukai makan serta minum. Kata 'basyar' disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk 'mutsanna' atau 'jama'. Sebagai makhluk yang bersifat fisik, manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Kehidupan manusia terikat dengan kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak.
2. Al Insan, memiliki arti melihat, mengetahui, dan minta izin. Istilah ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan menalar dan berpikir dibanding dengan makhluk lainnya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, mengetahui yang benar dan yang salah, serta dapat meminta izin ketika menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Manusia dalam istilah ini merupakan makhluk yang dapat dididik, memiliki potensi yang dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
3. Al Nas, menunjukkan fungsi manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia harus menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya. Dari awal terciptanya, seorang manusia berawal dari sepasang laki-laki dan wanita. Ini menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan saling membantu.
4. Bani Adam. Manusia dalam istilah ini memiliki arti keturunan Adam. Istilah ini digunakan untuk menyebut manusia bila dilihat dari asal keturunannya. Istilah 'Bani Adam' disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat Alquran. Penggunaan kata 'Bani Adam' menunjuk pada arti manusia secara umum. Terdapat tiga aspek yang perlu dikaji bila melihat manusia dengan istilah ini. Pertama, berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, misalnya dengan berpakaian yang menutup aurat. Kedua, saling mengingatkan dengan manusia lain agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam untuk beribadah.
5. Al Ins, meiliki arti tidak liar atau tidak biadab. Istilah Al Ins berkebalikan dengan istilah al jins atau jin yang bersifat metafisik dan liar. Jin hidup bebas di alam yang tidak dapat dirasakan dengan panca indra. Berbeda dengan manusia yang disebut menggunakan istilah al ins. manusia adalah makhluk yang tidak liar, artinya jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kata Al Ins disebutkan sebanyak 18 kali dalam Alquran, masing-masing dalam 17 ayat dan 9 surat.
(rmd/rmd)
Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/09/090541/1986873/631/5-istilah-manusia-dan-maknanya-dalam-alquran?r991101625
Siti Ariyanti - detikRamadan
Jakarta - Manusia merupakan makhluk Allah yang paling tinggi derajadnya dibanding makhluk lain. Di dalam kitab suci Alquran, Allah SWT menggunakan beberapa istilah yang pada dasarnya menjelaskan tentang konsep manusia, bahkan istilah-istilah itu disebutkan lebih dari satu kali. Istilah-istilah manusia dalam Alquran memiliki arti yang berbeda-beda. Berikut 5 istilah 'manusia' dalam Alquran, sebagaimana dihimpun detikRamadan dari berbagai sumber, Rabu (8/8/2012).
1. Al Basyr, menunjukkan makna bahwa manusia adalah anak keturunan Nabi Adam as dan makhluk fisik yang juga menyukai makan serta minum. Kata 'basyar' disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk 'mutsanna' atau 'jama'. Sebagai makhluk yang bersifat fisik, manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Kehidupan manusia terikat dengan kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak.
2. Al Insan, memiliki arti melihat, mengetahui, dan minta izin. Istilah ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan menalar dan berpikir dibanding dengan makhluk lainnya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, mengetahui yang benar dan yang salah, serta dapat meminta izin ketika menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Manusia dalam istilah ini merupakan makhluk yang dapat dididik, memiliki potensi yang dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
3. Al Nas, menunjukkan fungsi manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia harus menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya. Dari awal terciptanya, seorang manusia berawal dari sepasang laki-laki dan wanita. Ini menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan saling membantu.
4. Bani Adam. Manusia dalam istilah ini memiliki arti keturunan Adam. Istilah ini digunakan untuk menyebut manusia bila dilihat dari asal keturunannya. Istilah 'Bani Adam' disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat Alquran. Penggunaan kata 'Bani Adam' menunjuk pada arti manusia secara umum. Terdapat tiga aspek yang perlu dikaji bila melihat manusia dengan istilah ini. Pertama, berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, misalnya dengan berpakaian yang menutup aurat. Kedua, saling mengingatkan dengan manusia lain agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam untuk beribadah.
5. Al Ins, meiliki arti tidak liar atau tidak biadab. Istilah Al Ins berkebalikan dengan istilah al jins atau jin yang bersifat metafisik dan liar. Jin hidup bebas di alam yang tidak dapat dirasakan dengan panca indra. Berbeda dengan manusia yang disebut menggunakan istilah al ins. manusia adalah makhluk yang tidak liar, artinya jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kata Al Ins disebutkan sebanyak 18 kali dalam Alquran, masing-masing dalam 17 ayat dan 9 surat.
(rmd/rmd)
Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/09/090541/1986873/631/5-istilah-manusia-dan-maknanya-dalam-alquran?r991101625
Serba-serbi Lailatul Qadar
Senin, 06 Agustus 2012, 11:18 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu keutamaan bulan Ramadhan adalah dengan adanya malam yang lebih baik dari seribu bulan yang dinamakan dengan Lailatul Qadar. Lailatul Qadar adalah malam yang dimana pada saat tersebut diturunkannya Alquran.
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat Al Qadr, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar ). Dan tahukah engkau apa malam kemuliaan (Lailatul Qadar) itu? Malam kemuliaan (Lailatul Qadar) itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat- malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Surah Al-Qadr: 1-5).
Malam kemuliaan yang dikenal dengan Lailatul Qadar adalah suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, dan kesejahteraan. Malam Qadar adalah waktu pertama turunnya Alquran. Ibadah di dalamnya, seperti salat, zikir, tilawah Alquran, sedekah, dan amal-amal sosial, lebih baik dari amal-ibadah seribu bulan.
Menentukan Lailatul Qadar.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW jika telah memasuki sepuluh yang akhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan ikat pinggangnya untuk menghidupkan malamnya, serta membangunkan keluarganya.
Lailatul Qadar tidak tetap atau berubah-ubah dalam tanggal jatuhnya. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW mengatakan bahwa Lailatul Qadar turun pada 10 malam terakhir di Bulan Ramadhan. Tepatnya pada malam-malam ganjil, yaitu 21,23,25,27, dan 29.
Karena pada malam itulah mula-mula diturunkan Alquran kepada Nabi Muhammad SAW.
Menurut pendapat sebahagian ulama, malam Lailatul Qadar diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan. Hal inilah yang dikenal di Tanah Air sebagai malam Nuzul Qur'an yang berarti malam permulaan turunnya Alquran.
Para ulama tersebut berpendapat, Lailatul Qadar yang pertama turun pada Tanggal 17 Ramadhan, sementara Lailatul Qadar selanjutnya beralih kepada malam-malam sepuluh akhir bulan Ramadhan. Sebagaimana hadis Nabi SAW yang menganjurkan kita untuk mencarinya pada malam-malam itu pada malam sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Selanjutnya, banyak juga para ulama yang berpendapat bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam 27 Ramadhan. Yang terakhir ini merupakan pendapat yang terbanyak dari kalangan Fuqaha. Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa mencari Lailatul Qadar, maka hendaklah ia mencarinya pada malam 27 Ramadhan."
Riwayat lain dari Ubayu bin Kaeb mengatakan, "Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia, sesungguhnya dia (Lailatul Qadar) ada dalam bulan Ramadhan. Demi Allah, sungguh aku mengeta¬hui malam itu, yaitu malam yang kita diperintahkan oleh Rasulullah SAW mendirikannya. Yaitu, malam 27 Ramadhan. Adapun tanda-tandanya ialah, matahari terbit pada pagi-harinya bercahaya putih dan tidak terang sinarnya." (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Mendirikan Lailatul Qadar.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah RA, sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa mendirikan Lailatul Qadar karena iman dan karena Allah semata, diampuni segala dosanya yang telah lalu."
Jika kita benar-benar mendapatkan malam tersebut, apakah yang harus kita lakukan? Sebagaimana yang ditanyakan Aisyah kepada Rasulullah SAW, Aisyah RA mengatakan, "Saya telah bertanya kepada Rasulullah SAW, bagaimana jika saya dapat mengetahui malam Qadar itu, apakah yang sebaiknya aku katakan?"
Rasulullah SAW menjawab: "ucapkanlah, Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa, fa'fu'anni" (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, suka mengampuni kesalahan, maka ampunilah kesalahanku." (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Ibnu Majah)
Redaktur: Hafidz Muftisany
Reporter: Hannan Putra
Sumber : Republika Online
01. http://ramadhan.republika.co.id/berita/ramadhan/shaum-ala-rasulullah-saw/12/08/06/m8bfz7-serbaserbi-lailatul-qadar-1
02. http://ramadhan.republika.co.id/berita/ramadhan/shaum-ala-rasulullah-saw/12/08/06/m8bjuo-serbaserbi-lailatul-qadar-2habis
REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu keutamaan bulan Ramadhan adalah dengan adanya malam yang lebih baik dari seribu bulan yang dinamakan dengan Lailatul Qadar. Lailatul Qadar adalah malam yang dimana pada saat tersebut diturunkannya Alquran.
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat Al Qadr, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar ). Dan tahukah engkau apa malam kemuliaan (Lailatul Qadar) itu? Malam kemuliaan (Lailatul Qadar) itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat- malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Surah Al-Qadr: 1-5).
Malam kemuliaan yang dikenal dengan Lailatul Qadar adalah suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, dan kesejahteraan. Malam Qadar adalah waktu pertama turunnya Alquran. Ibadah di dalamnya, seperti salat, zikir, tilawah Alquran, sedekah, dan amal-amal sosial, lebih baik dari amal-ibadah seribu bulan.
Menentukan Lailatul Qadar.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW jika telah memasuki sepuluh yang akhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan ikat pinggangnya untuk menghidupkan malamnya, serta membangunkan keluarganya.
Lailatul Qadar tidak tetap atau berubah-ubah dalam tanggal jatuhnya. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW mengatakan bahwa Lailatul Qadar turun pada 10 malam terakhir di Bulan Ramadhan. Tepatnya pada malam-malam ganjil, yaitu 21,23,25,27, dan 29.
Karena pada malam itulah mula-mula diturunkan Alquran kepada Nabi Muhammad SAW.
Menurut pendapat sebahagian ulama, malam Lailatul Qadar diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan. Hal inilah yang dikenal di Tanah Air sebagai malam Nuzul Qur'an yang berarti malam permulaan turunnya Alquran.
Para ulama tersebut berpendapat, Lailatul Qadar yang pertama turun pada Tanggal 17 Ramadhan, sementara Lailatul Qadar selanjutnya beralih kepada malam-malam sepuluh akhir bulan Ramadhan. Sebagaimana hadis Nabi SAW yang menganjurkan kita untuk mencarinya pada malam-malam itu pada malam sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Selanjutnya, banyak juga para ulama yang berpendapat bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam 27 Ramadhan. Yang terakhir ini merupakan pendapat yang terbanyak dari kalangan Fuqaha. Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa mencari Lailatul Qadar, maka hendaklah ia mencarinya pada malam 27 Ramadhan."
Riwayat lain dari Ubayu bin Kaeb mengatakan, "Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia, sesungguhnya dia (Lailatul Qadar) ada dalam bulan Ramadhan. Demi Allah, sungguh aku mengeta¬hui malam itu, yaitu malam yang kita diperintahkan oleh Rasulullah SAW mendirikannya. Yaitu, malam 27 Ramadhan. Adapun tanda-tandanya ialah, matahari terbit pada pagi-harinya bercahaya putih dan tidak terang sinarnya." (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Mendirikan Lailatul Qadar.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah RA, sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa mendirikan Lailatul Qadar karena iman dan karena Allah semata, diampuni segala dosanya yang telah lalu."
Jika kita benar-benar mendapatkan malam tersebut, apakah yang harus kita lakukan? Sebagaimana yang ditanyakan Aisyah kepada Rasulullah SAW, Aisyah RA mengatakan, "Saya telah bertanya kepada Rasulullah SAW, bagaimana jika saya dapat mengetahui malam Qadar itu, apakah yang sebaiknya aku katakan?"
Rasulullah SAW menjawab: "ucapkanlah, Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa, fa'fu'anni" (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, suka mengampuni kesalahan, maka ampunilah kesalahanku." (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Ibnu Majah)
Redaktur: Hafidz Muftisany
Reporter: Hannan Putra
Sumber : Republika Online
01. http://ramadhan.republika.co.id/berita/ramadhan/shaum-ala-rasulullah-saw/12/08/06/m8bfz7-serbaserbi-lailatul-qadar-1
02. http://ramadhan.republika.co.id/berita/ramadhan/shaum-ala-rasulullah-saw/12/08/06/m8bjuo-serbaserbi-lailatul-qadar-2habis
Lailatul Qadar, Abadi dalam Kerahasiaan
Selasa, 07 Agustus 2012, 13:15 WIB
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Lailatul Qadar adalah malam mulia penuh berkah. Kemuliaan malam itu terletak pada penurunan Alquran dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia. Keberkahannya terletak pada keagungan malamnya karena keberkahan isi Alquran.
Sejak dulu hingga kini bahkan sampai kiamat nanti, Lailatul Qadar akan tetap abadi dalam kerahasiaan. Hal tersebut dimaksudkan agar manusia terdorong bersungguh-sungguh untuk mendapatkan dan menggapainya.
Disamping agar manusia menghidupkan malam-malam Ramadhan sebanyak mungkin dalam rangka menjalin hubungan dengan Tuhan. Malam itu adalah malam yang lebih baik dari pada seribu bulan atau 83 tahun (QS. Al-Qadar: 3) bagi orang-orang yang beribadah dengan landasan keimanan dan mengharap pahala serta ridha Allah SWT.
Hadis-hadis yang menjelaskan mengenai Lailatul Qadar variatif dan banyak. Sebagian tidak memberikan batasan rinci dan mendorong kita untuk mengusahakannya setiap malam di bulan Ramadhan; sebagian lain menyebut sepuluh hari terakhir; sebagian lagi menyebut pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Pandangan Lailatul Qadar terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadhan merupakan pendapat yang rajih (paling kuat). Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Carilah Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan." (HR. Bukhari).
Dalam hadis lain dari Aisyah RA disebutkan, “Adalah Rasulullah SAW, jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malam-malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Keutamaan Lailatul Qadar terhadap malam-malam lainnya merupakan hal yang alami sebagaimana Allah melebihkan satu makhluk atas lainnya; melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian wanita; melebihkan Makkah, Madinah dan Al-Qud atas tempat istimewa lainnya; dan melebihkan sebagian Rasul atas sebagian lainnya. Keutamaan tersebut merujuk pada keutamaan waktu, tempat, dan pribadi karena substansi yang diberikan oleh Allah SWT di dalamnya.
Adapun tanda-tanda turunnya Lailatul Qadar yang direpresentasikan dalam bentuk indahnya fenomena alam sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama tampaknya tidak cukup menjadi pegangan. Hal tersebut karena tidak ada petunjuk syariat yang secara tersurat memberikan penjelasan mengenai perubahan fenomena alam dimaksud.
Alquran sendiri hanya menyebut mengenai Lailatul Qadar dalam dua surah: Ad-Dukhan dan Al-Qadar. Di dalam surah Al-Qadar disebutkan, "Pada malam qadar itu para malaikat dan Jibril turun dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al Qadar: 4-5).
Sehingga tampaknya cukuplah bagi kita memegangi komentar Imam At-Thabari yang menyatakan, semua fenomena alam yang disebutkan para ulama bersifat tidak pasti. “Yang pasti, turunnya Lailatul Qadar merupakan sesuatu yang pasti, namun penurunannya tidak dapat dilihat maupun didengar oleh panca indra."
Lailatul Qadar merupakan anugerah Tuhan kepada umat Muhammad agar nilai ibadah mereka sama, bahkan melebihi umat-umat terdahulu yang dipanjangkan umurnya. Hanya saja caranya, umat Muhammad harus ekstra sungguh-sungguh dalam mencarinya sebab kadar kemuliaan dan kadar keberkahan di malam Qadar itu tetap abadi dalam kerahasiaan.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/07/m8dg1w-lailatul-qadar-abadi-dalam-kerahasiaan
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Lailatul Qadar adalah malam mulia penuh berkah. Kemuliaan malam itu terletak pada penurunan Alquran dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia. Keberkahannya terletak pada keagungan malamnya karena keberkahan isi Alquran.
Sejak dulu hingga kini bahkan sampai kiamat nanti, Lailatul Qadar akan tetap abadi dalam kerahasiaan. Hal tersebut dimaksudkan agar manusia terdorong bersungguh-sungguh untuk mendapatkan dan menggapainya.
Disamping agar manusia menghidupkan malam-malam Ramadhan sebanyak mungkin dalam rangka menjalin hubungan dengan Tuhan. Malam itu adalah malam yang lebih baik dari pada seribu bulan atau 83 tahun (QS. Al-Qadar: 3) bagi orang-orang yang beribadah dengan landasan keimanan dan mengharap pahala serta ridha Allah SWT.
Hadis-hadis yang menjelaskan mengenai Lailatul Qadar variatif dan banyak. Sebagian tidak memberikan batasan rinci dan mendorong kita untuk mengusahakannya setiap malam di bulan Ramadhan; sebagian lain menyebut sepuluh hari terakhir; sebagian lagi menyebut pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Pandangan Lailatul Qadar terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadhan merupakan pendapat yang rajih (paling kuat). Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Carilah Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan." (HR. Bukhari).
Dalam hadis lain dari Aisyah RA disebutkan, “Adalah Rasulullah SAW, jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malam-malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Keutamaan Lailatul Qadar terhadap malam-malam lainnya merupakan hal yang alami sebagaimana Allah melebihkan satu makhluk atas lainnya; melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian wanita; melebihkan Makkah, Madinah dan Al-Qud atas tempat istimewa lainnya; dan melebihkan sebagian Rasul atas sebagian lainnya. Keutamaan tersebut merujuk pada keutamaan waktu, tempat, dan pribadi karena substansi yang diberikan oleh Allah SWT di dalamnya.
Adapun tanda-tanda turunnya Lailatul Qadar yang direpresentasikan dalam bentuk indahnya fenomena alam sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama tampaknya tidak cukup menjadi pegangan. Hal tersebut karena tidak ada petunjuk syariat yang secara tersurat memberikan penjelasan mengenai perubahan fenomena alam dimaksud.
Alquran sendiri hanya menyebut mengenai Lailatul Qadar dalam dua surah: Ad-Dukhan dan Al-Qadar. Di dalam surah Al-Qadar disebutkan, "Pada malam qadar itu para malaikat dan Jibril turun dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al Qadar: 4-5).
Sehingga tampaknya cukuplah bagi kita memegangi komentar Imam At-Thabari yang menyatakan, semua fenomena alam yang disebutkan para ulama bersifat tidak pasti. “Yang pasti, turunnya Lailatul Qadar merupakan sesuatu yang pasti, namun penurunannya tidak dapat dilihat maupun didengar oleh panca indra."
Lailatul Qadar merupakan anugerah Tuhan kepada umat Muhammad agar nilai ibadah mereka sama, bahkan melebihi umat-umat terdahulu yang dipanjangkan umurnya. Hanya saja caranya, umat Muhammad harus ekstra sungguh-sungguh dalam mencarinya sebab kadar kemuliaan dan kadar keberkahan di malam Qadar itu tetap abadi dalam kerahasiaan.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/07/m8dg1w-lailatul-qadar-abadi-dalam-kerahasiaan
Inilah 5 Keutamaan Sedekah
Selasa, 07 Agustus 2012, 11:24 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail
Sedekah memiliki sejumlah keutamaan dan keistimewaan. Dalam surah at-Taubah ([9]: 103), sedekah bertujuan untuk menyucikan harta dan diri muzaki agar menjadi penenteram batin mereka. Dalam sejumlah hadis, Rasulullah SAW menyatakan, sedekah itu merupakan bukti keimanan seseorang dan mereka yang bersedekah akan memperoleh pahala yang besar di sisi Allah SWT (HR al-Baihaqi).
Di antara keutamaan sedekah, antara lain, pertama, orang bersedekah berhak mendapat rahmat Allah (QS al-A’raf [7]: 56). Sedekah akan menjadi naungan di akhirat saat tidak ada naungan, kecuali naungan Allah. “Sesungguhnya, sedekah itu memadamkan panasnya kubur dan hanyalah seorang Mukmin yang mendapatkan naungan pada hari kiamat nanti dengan sedekahnya.” (HR Thabrani dan Baihaqi).
Kedua, sedekah memadamkan murka Ilahi. “Sedekah rahasia (tersembunyi) itu memadamkan amarah Ilahi.” (HR Thabrani dan Ibnu Asakir). Ketiga, sedekah menolak mati dalam keadaan suul khatimah (akhir yang buruk). “Akhlak buruk adalah kejelekan, kuat ingatan adalah mengembangkan, dan sedekah menolak mati suul khatimah.” (HR al- Baihaqi).
Keempat, sedekah menjadi sebab disembuhkannya penyakit. “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah, bentengilah hartamu dengan zakat, dan sesungguhnya zakat itu menolak peristiwa mengerikan dan penyakit.” (HR Ad-Dailami dari Ibnu Umar).
Kelima, sedekah itu akan mendapatkan keberkahan dalam hidup dan tambahan rezeki, “Barang siapa menafkahkan hartanya maka akan diberi keberkahan darinya.” Dalam hadis lain disebutkan, “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta dan tidaklah pemberian maaf itu kecuali ditambah kemuliaan oleh Allah dan tidaklah seseorang tawadhu karena Allah, kecuali Dia akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim).
Ramadhan adalah bulan termulia dan utama. Karena itu, bersedekah di bulan ini akan makin berlipat pahala dan keutamaannya. “Sedekah paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan.” (HR At-Turmudzi dari Anas).
Di antara keutamaan sedekah pada Ramadhan, antara lain, pertama, Allah SWT menebar rahmat dan ampunan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang dermawan pada fakir miskin maka Allah akan membalasnya dengan kedermawanan-Nya.
Kedua, berkumpulnya puasa dan sedekah akan memperoleh balasan surga. “Sesungguhnya, di surga terdapat ruangan-ruangan yang di dalamnya bisa dilihat dari luar dan luarnya bisa dilihat dari dalam. Ditanyakan kepada beliau, untuk siapakah ruangan-ruangan itu? Rasulullah menjawab, ‘Ruangan itu diperuntukkan bagi orang yang bicaranya baik, memberi makanan, selalu berpuasa, dan shalat malam saat orang-orang tertidur.’” (HR Ibnu Khuzaimah).
Ketiga, puasa dan sedekah adalah ibadah yang paling hebat dalam menghapuskan dosa dan menjauhkan kita dari neraka. “Sedekah itu menghapuskan dosa seperti air memadamkan api.” (HR At-Tirmidzi). Sedangkan, puasa membersihkan dosa dan membakarnya. Keempat, sedekah menambah solidaritas sosial antara anggota masyarakat.
Demikian hebatnya keutamaan Ramadhan. Sudah seharusnya kita mempergunakan momentum mulia ini untuk meningkatkan kepedulian kita kepada fakir miskin dan orang-orang tertindas.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/07/m8daxd-inilah-5-keutamaan-sedekah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail
Sedekah memiliki sejumlah keutamaan dan keistimewaan. Dalam surah at-Taubah ([9]: 103), sedekah bertujuan untuk menyucikan harta dan diri muzaki agar menjadi penenteram batin mereka. Dalam sejumlah hadis, Rasulullah SAW menyatakan, sedekah itu merupakan bukti keimanan seseorang dan mereka yang bersedekah akan memperoleh pahala yang besar di sisi Allah SWT (HR al-Baihaqi).
Di antara keutamaan sedekah, antara lain, pertama, orang bersedekah berhak mendapat rahmat Allah (QS al-A’raf [7]: 56). Sedekah akan menjadi naungan di akhirat saat tidak ada naungan, kecuali naungan Allah. “Sesungguhnya, sedekah itu memadamkan panasnya kubur dan hanyalah seorang Mukmin yang mendapatkan naungan pada hari kiamat nanti dengan sedekahnya.” (HR Thabrani dan Baihaqi).
Kedua, sedekah memadamkan murka Ilahi. “Sedekah rahasia (tersembunyi) itu memadamkan amarah Ilahi.” (HR Thabrani dan Ibnu Asakir). Ketiga, sedekah menolak mati dalam keadaan suul khatimah (akhir yang buruk). “Akhlak buruk adalah kejelekan, kuat ingatan adalah mengembangkan, dan sedekah menolak mati suul khatimah.” (HR al- Baihaqi).
Keempat, sedekah menjadi sebab disembuhkannya penyakit. “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah, bentengilah hartamu dengan zakat, dan sesungguhnya zakat itu menolak peristiwa mengerikan dan penyakit.” (HR Ad-Dailami dari Ibnu Umar).
Kelima, sedekah itu akan mendapatkan keberkahan dalam hidup dan tambahan rezeki, “Barang siapa menafkahkan hartanya maka akan diberi keberkahan darinya.” Dalam hadis lain disebutkan, “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta dan tidaklah pemberian maaf itu kecuali ditambah kemuliaan oleh Allah dan tidaklah seseorang tawadhu karena Allah, kecuali Dia akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim).
Ramadhan adalah bulan termulia dan utama. Karena itu, bersedekah di bulan ini akan makin berlipat pahala dan keutamaannya. “Sedekah paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan.” (HR At-Turmudzi dari Anas).
Di antara keutamaan sedekah pada Ramadhan, antara lain, pertama, Allah SWT menebar rahmat dan ampunan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang dermawan pada fakir miskin maka Allah akan membalasnya dengan kedermawanan-Nya.
Kedua, berkumpulnya puasa dan sedekah akan memperoleh balasan surga. “Sesungguhnya, di surga terdapat ruangan-ruangan yang di dalamnya bisa dilihat dari luar dan luarnya bisa dilihat dari dalam. Ditanyakan kepada beliau, untuk siapakah ruangan-ruangan itu? Rasulullah menjawab, ‘Ruangan itu diperuntukkan bagi orang yang bicaranya baik, memberi makanan, selalu berpuasa, dan shalat malam saat orang-orang tertidur.’” (HR Ibnu Khuzaimah).
Ketiga, puasa dan sedekah adalah ibadah yang paling hebat dalam menghapuskan dosa dan menjauhkan kita dari neraka. “Sedekah itu menghapuskan dosa seperti air memadamkan api.” (HR At-Tirmidzi). Sedangkan, puasa membersihkan dosa dan membakarnya. Keempat, sedekah menambah solidaritas sosial antara anggota masyarakat.
Demikian hebatnya keutamaan Ramadhan. Sudah seharusnya kita mempergunakan momentum mulia ini untuk meningkatkan kepedulian kita kepada fakir miskin dan orang-orang tertindas.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/07/m8daxd-inilah-5-keutamaan-sedekah
Anda Ingin Cerdas, Istighfarlah Setiap Memulai Pekerjaan
Senin, 06 Agustus 2012, 20:10 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, BARABAI, KALSEL - Dosen Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang juga dikenal sebagai seorang ulama Dr H Karyono Ibnu Ahmad , menyatakan membaca istigfar dalam setiap memulai pekerjaan bisa membuka kecerdasan yang luar biasa.
"Hal ini sesuai Firman Allah SWT dalam Surat Ali-Imran ayat 135-136 menerangkan, seseorang yang melakukan dosa-dosa besar, namun meminta ampun pada Allah maka diampuni bila beristigfar, " jelas Karyono pada peringati Nuzulul Qur'an 1433 H di Barabai ibukota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Senin (6/8).
Dia menjelaskan, seseorang yang memulai pekerjaanya dengan beristigfar ternyata menjadikan kecerdasan orang itu menjadi luar biasa.
Karyono menerangkan, dengan beristigfar gelap bisa menjadi terang, dan dosa itu hina akan menjadi mulia karena di ampuni Allah atas segala dosa-dosanya. "Malam nuzulul Quran adalah malam yang sangat mulia," tambahnya.
Manakalan seseorang mengamalkan kandungan Alquran dan berperilaku "Qurani" maka ia akan menjadi manusia yang mulia, dan setiap perkataannya akan lebih memiliki makna dan berbobot.
Menurut Harun, peringatan Nuzulul Quran ini sangat luar biasa bisa kita peringati. Karena Nuzulul Quran merupakan malam yang sangat mulia dibandingkan dengan malam-malam lainnya.
Ia berharap, sebagai manusia terutama sebagai aparatur pemerintah bisa mengamalkan isi dan kandungan Alquran dalam kehidupan sehari-hari. "Agar pemerintahan kita bisa lebih maju dan berkualitas," harapnya.
Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: Antara
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/06/m8c4lo-anda-ingin-cerdas-istighfarlah-setiap-memulai-pekerjaan
REPUBLIKA.CO.ID, BARABAI, KALSEL - Dosen Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang juga dikenal sebagai seorang ulama Dr H Karyono Ibnu Ahmad , menyatakan membaca istigfar dalam setiap memulai pekerjaan bisa membuka kecerdasan yang luar biasa.
"Hal ini sesuai Firman Allah SWT dalam Surat Ali-Imran ayat 135-136 menerangkan, seseorang yang melakukan dosa-dosa besar, namun meminta ampun pada Allah maka diampuni bila beristigfar, " jelas Karyono pada peringati Nuzulul Qur'an 1433 H di Barabai ibukota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Senin (6/8).
Dia menjelaskan, seseorang yang memulai pekerjaanya dengan beristigfar ternyata menjadikan kecerdasan orang itu menjadi luar biasa.
Karyono menerangkan, dengan beristigfar gelap bisa menjadi terang, dan dosa itu hina akan menjadi mulia karena di ampuni Allah atas segala dosa-dosanya. "Malam nuzulul Quran adalah malam yang sangat mulia," tambahnya.
Manakalan seseorang mengamalkan kandungan Alquran dan berperilaku "Qurani" maka ia akan menjadi manusia yang mulia, dan setiap perkataannya akan lebih memiliki makna dan berbobot.
Menurut Harun, peringatan Nuzulul Quran ini sangat luar biasa bisa kita peringati. Karena Nuzulul Quran merupakan malam yang sangat mulia dibandingkan dengan malam-malam lainnya.
Ia berharap, sebagai manusia terutama sebagai aparatur pemerintah bisa mengamalkan isi dan kandungan Alquran dalam kehidupan sehari-hari. "Agar pemerintahan kita bisa lebih maju dan berkualitas," harapnya.
Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: Antara
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/06/m8c4lo-anda-ingin-cerdas-istighfarlah-setiap-memulai-pekerjaan
Inilah Tiga Bentuk Kecerdasan Bersyukur
Rabu, 28 Maret 2012, 18:49 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
Nikmat dan karunia Allah yang diberikan kepada umat-Nya, termasuk kepada bangsa ini, sungguh tak terbatas dan tidak akan pernah bisa dihitung tuntas. Namun, hari demi hari, waktu demi waktu, tampaknya warga bangsa ini, termasuk para pemimpinnya, tidak kunjung cerdas dalam mensyukuri nikmat-Nya. Para pemimpin yang sudah bergelimang dengan fasilitas mewah ternyata masih mengeluh dan mengeluh.
Secara psikologis, orang yang mengeluh itu pertanda sedang menderita sakit. Orang yang banyak mengeluh itu pada dasarnya terkena gangguan mental. Sebaliknya, orang yang banyak bersyukur itu pertanda sedang dalam keadaan sehat. Karena itu, bersyukur itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sehat rohaninya.
Menurut Ibn al-Qayyim dalam kitabnya, Madarij as-Salikin, syukur itu tampak pada bibir hamba dengan mengakui dan memuji keagungan Tuhannya, dalam hatinya dengan semakin meyakini dan mencintai-Nya, dan pada anggota badannya dengan semakin tunduk, khusyuk, dan taat kepada-Nya.
Cerdas bersyukur ada tiga hal. Pertama, mengakui (i’tiraf) nikmat pemberian Allah dalam hatinya. Hati yang cerdas dan ikhlas tidak akan pernah berdusta terhadap segala anugerah yang diberikan oleh-Nya. Bersyukur harus dimulai dari kesucian hati untuk mengakui sifat Allah yang Maharahman dan Rahim. Melalui pengakuan tulus ini, hamba belajar menjadi pengasih dan penyayang serta tidak menyia-nyiakan kasih sayang-Nya.
Kedua, memuji Sang Pemberi Nikmat (Mun’im) dan membagi pemberian itu dalam bentuk perkataan dan pembaruan (tahdits) maupun perbuatan dan keteladanan (QS ad-Dhuha [93]: 11). Bersyukur bukan sekadar mengucapkan alhamdulillah, melainkan juga harus disertai dengan pendayagunaan kenikmatan itu sesuai dengan tujuan diberikannya nikmat itu.
Ketiga, menundukkan kenikmatan (taskhir al-ni’am) untuk ketaatan, bukan untuk kemaksiatan. Diberi indera pendengaran disyukuri dengan selalu mendengarkan yang positif. Mata dimanfaatkan untuk melihat yang baik-baik. Akal dimanfaatkan untuk berpikir positif dan kreatif. Kesehatan untuk kebaikan dan kemaslahatan. Diamanati jabatan sebagai pemimpin, bisa dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran.
Jadi, cerdas bersyukur itu membuahkan ketaatan sekaligus kenikmatan. “Melaksanakan shalat itu bersyukur, berpuasa juga bersyukur, dan melaksanakan segala kebaikan karena mengharap rida Allah adalah syukur. Syukur yang paling utama adalah memuji Sang Pemberi Nikmat.” (HR Ibnu Jarir).
Cerdas bersyukur merupakan salah satu kunci kesuksesan hidup. Orang yang bersyukur pasti berusaha menjadikan kualitas hidupnya meningkat atau menjadi lebih baik. (QS Ibrahim [14]: 7).
Orang yang bersyukur akan senantiasa melihat segala hal secara jernih, objektif, cerdas, dan penuh kebersyukuran sehingga hatinya tenang, tidak waswas, tidak merasa ada ancaman atau biasa-biasa saja. Jika salah satu Asma’ al-Husna itu as-syakur (Maha Bersyukur), sudah semestinya kita sebagai hamba-Nya lebih tahu diri lagi untuk banyak bersyukur atas kemurahan dan karunia-Nya. Wallahu a’lam
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/03/28/m1lfio-inilah-tiga-bentuk-kecerdasan-bersyukur
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
Nikmat dan karunia Allah yang diberikan kepada umat-Nya, termasuk kepada bangsa ini, sungguh tak terbatas dan tidak akan pernah bisa dihitung tuntas. Namun, hari demi hari, waktu demi waktu, tampaknya warga bangsa ini, termasuk para pemimpinnya, tidak kunjung cerdas dalam mensyukuri nikmat-Nya. Para pemimpin yang sudah bergelimang dengan fasilitas mewah ternyata masih mengeluh dan mengeluh.
Secara psikologis, orang yang mengeluh itu pertanda sedang menderita sakit. Orang yang banyak mengeluh itu pada dasarnya terkena gangguan mental. Sebaliknya, orang yang banyak bersyukur itu pertanda sedang dalam keadaan sehat. Karena itu, bersyukur itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sehat rohaninya.
Menurut Ibn al-Qayyim dalam kitabnya, Madarij as-Salikin, syukur itu tampak pada bibir hamba dengan mengakui dan memuji keagungan Tuhannya, dalam hatinya dengan semakin meyakini dan mencintai-Nya, dan pada anggota badannya dengan semakin tunduk, khusyuk, dan taat kepada-Nya.
Cerdas bersyukur ada tiga hal. Pertama, mengakui (i’tiraf) nikmat pemberian Allah dalam hatinya. Hati yang cerdas dan ikhlas tidak akan pernah berdusta terhadap segala anugerah yang diberikan oleh-Nya. Bersyukur harus dimulai dari kesucian hati untuk mengakui sifat Allah yang Maharahman dan Rahim. Melalui pengakuan tulus ini, hamba belajar menjadi pengasih dan penyayang serta tidak menyia-nyiakan kasih sayang-Nya.
Kedua, memuji Sang Pemberi Nikmat (Mun’im) dan membagi pemberian itu dalam bentuk perkataan dan pembaruan (tahdits) maupun perbuatan dan keteladanan (QS ad-Dhuha [93]: 11). Bersyukur bukan sekadar mengucapkan alhamdulillah, melainkan juga harus disertai dengan pendayagunaan kenikmatan itu sesuai dengan tujuan diberikannya nikmat itu.
Ketiga, menundukkan kenikmatan (taskhir al-ni’am) untuk ketaatan, bukan untuk kemaksiatan. Diberi indera pendengaran disyukuri dengan selalu mendengarkan yang positif. Mata dimanfaatkan untuk melihat yang baik-baik. Akal dimanfaatkan untuk berpikir positif dan kreatif. Kesehatan untuk kebaikan dan kemaslahatan. Diamanati jabatan sebagai pemimpin, bisa dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran.
Jadi, cerdas bersyukur itu membuahkan ketaatan sekaligus kenikmatan. “Melaksanakan shalat itu bersyukur, berpuasa juga bersyukur, dan melaksanakan segala kebaikan karena mengharap rida Allah adalah syukur. Syukur yang paling utama adalah memuji Sang Pemberi Nikmat.” (HR Ibnu Jarir).
Cerdas bersyukur merupakan salah satu kunci kesuksesan hidup. Orang yang bersyukur pasti berusaha menjadikan kualitas hidupnya meningkat atau menjadi lebih baik. (QS Ibrahim [14]: 7).
Orang yang bersyukur akan senantiasa melihat segala hal secara jernih, objektif, cerdas, dan penuh kebersyukuran sehingga hatinya tenang, tidak waswas, tidak merasa ada ancaman atau biasa-biasa saja. Jika salah satu Asma’ al-Husna itu as-syakur (Maha Bersyukur), sudah semestinya kita sebagai hamba-Nya lebih tahu diri lagi untuk banyak bersyukur atas kemurahan dan karunia-Nya. Wallahu a’lam
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/03/28/m1lfio-inilah-tiga-bentuk-kecerdasan-bersyukur
Ibadah Puasa dan Pendidikan Kedermawanan
Minggu, 05 Agustus 2012, 05:13 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Allah SWT berfirman, "Dan apa-apa yang kamu upayakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya darisisi Allah." (QS. Al-Baqarah, 110).
Kemudian Firman Allah SWT juga, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia- Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah, 261).
Dalam hadis shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA dijelaskan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan.
Puasa menyeru memberi makanan kepada orang yang sedang lapar, memberi si miskin dan menolong si fakir. Bulan Ramadhan adalah musim untuk orang-orang yang bersedekah dan peluang emas untuk orang yang memberi hartanya kepada orang lain.
Sebuah sya’ir mengatakan, "Allah telah memberimu dengan berbagai materi, berikannlah sebagian pemberian-Nya itu kepada orang lain. Karena sesungguhnya harta itu akan sirna. Harta itu ibaratkan air, bila disumbat alirannya, maka ia akan kotor. Dan bila dialirkan dan dibirkan terus mengalir, maka air tersebut akan jernih dan segar."
Dalam sebuah hadis shahih Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh Allah mempunyai dua malaikat yang ber doa setiap subuh. Salah satunya berkata; ‘Ya Allah, berilah orang yang membelanjakan sebagian hartanya di jalan Allah dengan ganjaran yang lebih baik lagi. Sedangkan malaikat yang satunya lagi berkata, ’Ya Allah, berilah kehancuran kepada orang yang tidak mau membelanjakan sebagian hartanya dijalan Allah’."
Betapa indah memberi harta kepada orang lain. Betapa baik shadaqah dan betapa mulianya saling membantu sesama. Setiapkali orang membelanjakan hartanya di jalan Allah, Allah memberinya kesehatan tubuh, ketenangan hati dan keluasan rizki.
Riwayat yang lain Rasulullah SAW juga bersabda, "Shadaqah bisa memadamkan dosa, sebagaimana air memadamkan api."
Dosa-dosa yang dilakukan hakikatnya mempunyai panas dalam hati, bara dalam jiwa, dan api yang menyala dalam kehidupan. Tak ada yang dapat memadamkan panas dan bara tersebut kecuali dengan bershadaqah.
Sungguh menakjubkan! Shadaqoh memiliki naungan yang rindang dan tempat berlindung bagi seorang hamba pada hari Kiamat. Setiap orang akan bergantung kepada naungan tersebut yang dihasilkan dari shadaqohnya di dunia.
Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Hannan Putra
Sumber:
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/05/m894f6-ibadah-puasa-dan-pendidikan-kedermawanan
REPUBLIKA.CO.ID, Allah SWT berfirman, "Dan apa-apa yang kamu upayakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya darisisi Allah." (QS. Al-Baqarah, 110).
Kemudian Firman Allah SWT juga, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia- Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah, 261).
Dalam hadis shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA dijelaskan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan.
Puasa menyeru memberi makanan kepada orang yang sedang lapar, memberi si miskin dan menolong si fakir. Bulan Ramadhan adalah musim untuk orang-orang yang bersedekah dan peluang emas untuk orang yang memberi hartanya kepada orang lain.
Sebuah sya’ir mengatakan, "Allah telah memberimu dengan berbagai materi, berikannlah sebagian pemberian-Nya itu kepada orang lain. Karena sesungguhnya harta itu akan sirna. Harta itu ibaratkan air, bila disumbat alirannya, maka ia akan kotor. Dan bila dialirkan dan dibirkan terus mengalir, maka air tersebut akan jernih dan segar."
Dalam sebuah hadis shahih Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh Allah mempunyai dua malaikat yang ber doa setiap subuh. Salah satunya berkata; ‘Ya Allah, berilah orang yang membelanjakan sebagian hartanya di jalan Allah dengan ganjaran yang lebih baik lagi. Sedangkan malaikat yang satunya lagi berkata, ’Ya Allah, berilah kehancuran kepada orang yang tidak mau membelanjakan sebagian hartanya dijalan Allah’."
Betapa indah memberi harta kepada orang lain. Betapa baik shadaqah dan betapa mulianya saling membantu sesama. Setiapkali orang membelanjakan hartanya di jalan Allah, Allah memberinya kesehatan tubuh, ketenangan hati dan keluasan rizki.
Riwayat yang lain Rasulullah SAW juga bersabda, "Shadaqah bisa memadamkan dosa, sebagaimana air memadamkan api."
Dosa-dosa yang dilakukan hakikatnya mempunyai panas dalam hati, bara dalam jiwa, dan api yang menyala dalam kehidupan. Tak ada yang dapat memadamkan panas dan bara tersebut kecuali dengan bershadaqah.
Sungguh menakjubkan! Shadaqoh memiliki naungan yang rindang dan tempat berlindung bagi seorang hamba pada hari Kiamat. Setiap orang akan bergantung kepada naungan tersebut yang dihasilkan dari shadaqohnya di dunia.
Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Hannan Putra
Sumber:
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/05/m894f6-ibadah-puasa-dan-pendidikan-kedermawanan
Hakikat Doa Sapu Jagat
Sabtu, 04 Agustus 2012, 23:59 WIB
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Dalam setiap doa seorang Muslim hampir selalu menutupnya dengan ungkapan doa sapu jagat: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Al-Baqarah: 201).
Lantunan doa tersebut bertambah kuat didengungkan saat seseorang mutawwif di rukun Yamani menuju Hajar Aswad. Namun, arti dan maksud kebaikan yang diminta oleh masing-masing pendoa berbeda satu sama lain.
Para ahli tafsir sepakat bahwa arti dan maksud kebaikan akhirat adalah surga, sebab di akhirat manusia hanya punya dua pilihan, yaitu surga dan neraka. Allah SWT berfirman, "Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (QS. An-Naazi'at: 37-41).
Sedangkan kebaikan dunia memiliki arti yang berbeda-beda antar pendoa. Ada yang mengartikannya dengan harta kekayaan melimpah, suami tampan, istri cantik, bisnis moncer, perdagangan menghasilkan, rumah besar, kendaraan mewah, anak banyak, kesabaran, keihlasan, kesyukuran dan lain sebagainya. Semua arti tersebut bersifat subyektif sesuai dengan keinginan masing-masing pendoa.
Akan tetapi, Itukah arti dan maksud yang dikehendaki Al-Qur'an? Syekh Ahmad Abdurrahim Abdul Bar mengandaikan “jika kebaikan akhirat adalah surga maka, kebaikan dunia harus otomatis menjadi penyebab bagi kebaikan akhirat.”
Harta melimpah, suami tampan, istri cantik, bisnis maju, perdagangan menghasilkan, rumah besar, mobil mewah dan sebagainya tidak secara otomatis menjadikan pemiliknya masuk surga. Bahkan tidak jarang semua perhiasan dunia tersebut justru menjadi fitnah di dunia dan menjadi bahan investigasi KPK sebelum malaikat mempermasalahkannya. Dengan demikian semua arti subyektif pendoa itu ternyata bukanlah hakikat kebaikan dunia sebagaimana yang dimaksudkan Alquran.
Lantas apa hakikat "kebaikan dunia" yang dimaksud? Di dalam banyak ayat, Alquran mengemukakan dua kunci kebaikan dunia, yaitu: iman dan amal saleh. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga firdaus menjadi tempat tinggal (nya)." (QS. Al-Kahfi: 107).
Pada ayat lain Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka itu adalah sebaik-baiknya makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga." (QS. Al-Bayyinah: 7-8).
Iman dan amal saleh ternyata menjadi pengantar langsung bagi kebaikan akhirat (surga). Bukan perhiasan dunia yang bersifat materi. Jika demikian adanya, maka kebaikan dunia itu tidak didominasi oleh orang-orang kaya, sukses, tampan dan cantik, melainkan menjadi tantangan dan peluang bagi semua manusia asalkan beriman dan beramal saleh.
Orang-orang yang mengumandangkan doa sapu jagat dengan demikian tidak bisa sekedar berpangku tangan mengharap dikabulkannya doa kebaikan, melainkan harus berjibaku meningkatkan iman dan amal salehnya dalam rangka mewujudkan "kebaikan di dunia dan di akhirat" bagi dirinya. Wallahua’lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/04/m88738-hakikat-doa-sapu-jagat
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Dalam setiap doa seorang Muslim hampir selalu menutupnya dengan ungkapan doa sapu jagat: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Al-Baqarah: 201).
Lantunan doa tersebut bertambah kuat didengungkan saat seseorang mutawwif di rukun Yamani menuju Hajar Aswad. Namun, arti dan maksud kebaikan yang diminta oleh masing-masing pendoa berbeda satu sama lain.
Para ahli tafsir sepakat bahwa arti dan maksud kebaikan akhirat adalah surga, sebab di akhirat manusia hanya punya dua pilihan, yaitu surga dan neraka. Allah SWT berfirman, "Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (QS. An-Naazi'at: 37-41).
Sedangkan kebaikan dunia memiliki arti yang berbeda-beda antar pendoa. Ada yang mengartikannya dengan harta kekayaan melimpah, suami tampan, istri cantik, bisnis moncer, perdagangan menghasilkan, rumah besar, kendaraan mewah, anak banyak, kesabaran, keihlasan, kesyukuran dan lain sebagainya. Semua arti tersebut bersifat subyektif sesuai dengan keinginan masing-masing pendoa.
Akan tetapi, Itukah arti dan maksud yang dikehendaki Al-Qur'an? Syekh Ahmad Abdurrahim Abdul Bar mengandaikan “jika kebaikan akhirat adalah surga maka, kebaikan dunia harus otomatis menjadi penyebab bagi kebaikan akhirat.”
Harta melimpah, suami tampan, istri cantik, bisnis maju, perdagangan menghasilkan, rumah besar, mobil mewah dan sebagainya tidak secara otomatis menjadikan pemiliknya masuk surga. Bahkan tidak jarang semua perhiasan dunia tersebut justru menjadi fitnah di dunia dan menjadi bahan investigasi KPK sebelum malaikat mempermasalahkannya. Dengan demikian semua arti subyektif pendoa itu ternyata bukanlah hakikat kebaikan dunia sebagaimana yang dimaksudkan Alquran.
Lantas apa hakikat "kebaikan dunia" yang dimaksud? Di dalam banyak ayat, Alquran mengemukakan dua kunci kebaikan dunia, yaitu: iman dan amal saleh. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga firdaus menjadi tempat tinggal (nya)." (QS. Al-Kahfi: 107).
Pada ayat lain Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka itu adalah sebaik-baiknya makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga." (QS. Al-Bayyinah: 7-8).
Iman dan amal saleh ternyata menjadi pengantar langsung bagi kebaikan akhirat (surga). Bukan perhiasan dunia yang bersifat materi. Jika demikian adanya, maka kebaikan dunia itu tidak didominasi oleh orang-orang kaya, sukses, tampan dan cantik, melainkan menjadi tantangan dan peluang bagi semua manusia asalkan beriman dan beramal saleh.
Orang-orang yang mengumandangkan doa sapu jagat dengan demikian tidak bisa sekedar berpangku tangan mengharap dikabulkannya doa kebaikan, melainkan harus berjibaku meningkatkan iman dan amal salehnya dalam rangka mewujudkan "kebaikan di dunia dan di akhirat" bagi dirinya. Wallahua’lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/04/m88738-hakikat-doa-sapu-jagat
Ust Yusuf Mansur: Ingin Berubah Menjadi Lebih Baik? Ikut Aturan Allah
Sabtu, 04/08/2012 18:22 WIB
Bagus Kurniawan - detikRamadan
Yogyakarta, - Semua manusia tentunya ingin perubahan ke arah yang lebih baik dalam hidupnya. Namun keinginan itu seringkali tidak terwujud. Lalu, bagaimana semestinya perubahan hidup harus dilakukan agar menjadi lebih baik?
"Kita harus melakukan perubahan tapi harus dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan oleh Allah," ungkap Ust Yusuf Mansur dalam pengajian akbar di Kampus Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) di Ringroad Utara, Jombor, Sleman, Sabtu (4/8/2012).
Dalam pengajian akbar itu, Yusuf mengambil tema perubahan. Pengajian tersebut juga dihadiri ribuan umat Islam dari Yogyakarta dan sekitarnya.
Menurut dia, ada tiga langkah menuju perubahan. Pertama, perubahan itu harus dengan niat karena Allah. "Bukan karena hal lain misalnya uang atau harta," katanya.
Kedua, lanjut Yusuf, perubahan harus dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan atau digariskan Allah. Ketiga dalam melakukan perubahan itu hanya karena Allah.
"Jadi harus halalan tayiban serta dengan doa dan ibadah," kata ustadz kelahiran Jakarta 19 Desember 1976 itu.
Dia menambahkan bersedekah melalui zakat, infak dan sedekah kepada sesama atau umat yang lebih membutuhkan, maka Allah akan memberikan pahala yang lebih besar dan berlipat. Dia juga meminta umat muslim untuk tawakal, mentaati semua ketentuan Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah.
"Kuncinya rajin bersedekah serta membantu fakir miskin, yatim piatu, maka Allah akan melipatgandakan rezeki kita," katanya.
Selama dua hari di Yogyakarta, Yusuf Mansur melakukan safari pengajian di berbagai tempat seperti memberikan tausiyah kepada para pegawai Pemerintah Kota Yogyakarta, pengajian di Masjid Paku Alaman, di Kampus UTY dan Masjid Universitas Gadjah Mada (UGM).
(bgs/rmd)
Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/04/182206/1983319/631/ust-yusuf-mansur-ingin-berubah-menjadi-lebih-baik-ikut-aturan-allah?992204cbr
Bagus Kurniawan - detikRamadan
Yogyakarta, - Semua manusia tentunya ingin perubahan ke arah yang lebih baik dalam hidupnya. Namun keinginan itu seringkali tidak terwujud. Lalu, bagaimana semestinya perubahan hidup harus dilakukan agar menjadi lebih baik?
"Kita harus melakukan perubahan tapi harus dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan oleh Allah," ungkap Ust Yusuf Mansur dalam pengajian akbar di Kampus Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) di Ringroad Utara, Jombor, Sleman, Sabtu (4/8/2012).
Dalam pengajian akbar itu, Yusuf mengambil tema perubahan. Pengajian tersebut juga dihadiri ribuan umat Islam dari Yogyakarta dan sekitarnya.
Menurut dia, ada tiga langkah menuju perubahan. Pertama, perubahan itu harus dengan niat karena Allah. "Bukan karena hal lain misalnya uang atau harta," katanya.
Kedua, lanjut Yusuf, perubahan harus dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan atau digariskan Allah. Ketiga dalam melakukan perubahan itu hanya karena Allah.
"Jadi harus halalan tayiban serta dengan doa dan ibadah," kata ustadz kelahiran Jakarta 19 Desember 1976 itu.
Dia menambahkan bersedekah melalui zakat, infak dan sedekah kepada sesama atau umat yang lebih membutuhkan, maka Allah akan memberikan pahala yang lebih besar dan berlipat. Dia juga meminta umat muslim untuk tawakal, mentaati semua ketentuan Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah.
"Kuncinya rajin bersedekah serta membantu fakir miskin, yatim piatu, maka Allah akan melipatgandakan rezeki kita," katanya.
Selama dua hari di Yogyakarta, Yusuf Mansur melakukan safari pengajian di berbagai tempat seperti memberikan tausiyah kepada para pegawai Pemerintah Kota Yogyakarta, pengajian di Masjid Paku Alaman, di Kampus UTY dan Masjid Universitas Gadjah Mada (UGM).
(bgs/rmd)
Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/04/182206/1983319/631/ust-yusuf-mansur-ingin-berubah-menjadi-lebih-baik-ikut-aturan-allah?992204cbr
Enam Hasrat Duniawi
Sabtu, 04 Agustus 2012, 18:01 WIB
Oleh: Ina Salma Febriani
Dalam Quran Surah Ali Imran ayat 14, Allah SWT berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Manusia adalah makhluk sempurna. Kesempurnaan itu terletak karena selain proses penciptaannya yang sungguh Mahaluarbiasa, manusia dibekali hawa nafsu yang tidak Allah berikan kepada makhluk selain manusia.
Dengan pembekalan hawa nafsu itulah manusia mengalami proses belajar panjang, bagaimana agar bisa mengendalikan hawa nafsu, keinginan yang menggebu, atau hasrat yang jika dituruti akan semakin tak menentu. Jika keinginan-keinginan tersebut terus diikuti, maka yang akan merugi adalah diri kita sendiri.
Allah menjabarkan dalam surah di atas, bahwa dari keinginan tersebutlah dijadikan indah oleh-Nya semata-mata bukan untuk membuat manusia itu sulit. Namun untuk terus belajar apakah manusia itu sanggup menahan dirinya dari beberapa keinginan tersebut?
Pertama, wanita. Keinginan tingkatan pertama manusia adalah wanita. Menurut Syekh Nawawi, Allah menyebutkan dalam ayat ini secara khusus karena kesenangan terhadap wanita (bagi laki-laki) adalah keinginan terberat dalam hidupnya. Begitu pun sebaliknya. Ketertarikan pada lawan jenis adalah fitrah setiap manusia yang jika tidak dikendalikan, maka perasaan atau hasrat untuk mendapatkan seorang wanita dengan tidak melalui jalur-jalur syariat Allah, akan berdampak buruk bagi manusia tersebut.
Sekuat apa pun hasrat untuk memiliki dan menghalalkan seorang wanita, tetap yang harus diutamakan sesuai tuntunan Allah dan Rasul adalah iman dan islamnya. Dalam hadis Rasulullah Saw yang sering kita didengar disebutkan, “Dunia adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan shalihah,”
Kedua, anak-anak. Keinginan tingkatan kedua adalah (memiliki) anak-anak. Setelah Allah memberikan pasangan hidup, hasrat manusia adalah ingin mempunyai penyejuk hati, penerus keturunan, yaitu anak. Dalam ayat ini, Allah menggunakan bentuk jamak yakni banin yang bermakna anak-anak, yaitu lebih dari satu. Namun, jika keinginan tersebut hanya sebatas hasrat, tidak pada niat dan tekad kuat untuk mendidik mereka, maka akan menjadi sesuatu yang berbahaya pula.
Ketiga, harta yang banyak. Keinginan ketiga ialah harta yang melimpah baik emas maupun perak. Keinginan untuk memiliki harta yang melimpah adalah keinginan dasar bagi manusia Emas dan perak masuk dalam kategori keinginan keempat karena sejak zaman dulu, hingga saat ini, manusia pada umumnya mengidamkan keduanya.
Keempat, kuda pilihan. Jika zaman saat diturunkannya ayat ini kuda sebagai icon keinginan yang sangat didambakan oleh masyarakat kala itu, maka kuda disini, menurut KH Muslih Abdul Karim, diartikan sebagai kendaraan yang dalam konteks kekinian dapat disejajarkan dengan mobil, motor, atau lainnya yang dapat mempermudah seseorang untuk menempuh perjalanan tanpa harus lelah berjalan kaki.
Kelima, binatang ternak. Binatang ternak yang dimaksud dalam ayat ini sejenis unta, sapi, kambing, yang juga menjadi sebuah keinginan manusia untuk memilikinya. Sebab, memiliki ternak sapi, unta, maupun kambing adalah sebuah usaha yang juga menghasilkan uang—yang dapat membuat si empunya lebih dekat dengan Allah melalui harta yang disedekahkannya, atau justru jauh dari Allah karena kufur atas ni’matNya.
Keenam, sawah ladang. Yakni pertanian berupa hasil sayur mayor, buah-buahan, dan lain sebagainya yang juga disebutkan dalam ayat ini sebagai keinginan yang didamba manusia baik untuk dimiliki maupun dinikmati hasilnya.
Ayat ini ditutup Allah dengan penegasan bahwa keenam hasrat duniawi di atas hanyalah kesenangan yang bersifat sementara, fana dan akan lenyap sedangkan yang kekal adalah surga Allah semata. Semoga kita termasuk orang-orang yang bersyukur dan merasa cukup atas apa yang Allah limpahkan. Amin.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/04/m886t2-enam-hasrat-duniawi
Oleh: Ina Salma Febriani
Dalam Quran Surah Ali Imran ayat 14, Allah SWT berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Manusia adalah makhluk sempurna. Kesempurnaan itu terletak karena selain proses penciptaannya yang sungguh Mahaluarbiasa, manusia dibekali hawa nafsu yang tidak Allah berikan kepada makhluk selain manusia.
Dengan pembekalan hawa nafsu itulah manusia mengalami proses belajar panjang, bagaimana agar bisa mengendalikan hawa nafsu, keinginan yang menggebu, atau hasrat yang jika dituruti akan semakin tak menentu. Jika keinginan-keinginan tersebut terus diikuti, maka yang akan merugi adalah diri kita sendiri.
Allah menjabarkan dalam surah di atas, bahwa dari keinginan tersebutlah dijadikan indah oleh-Nya semata-mata bukan untuk membuat manusia itu sulit. Namun untuk terus belajar apakah manusia itu sanggup menahan dirinya dari beberapa keinginan tersebut?
Pertama, wanita. Keinginan tingkatan pertama manusia adalah wanita. Menurut Syekh Nawawi, Allah menyebutkan dalam ayat ini secara khusus karena kesenangan terhadap wanita (bagi laki-laki) adalah keinginan terberat dalam hidupnya. Begitu pun sebaliknya. Ketertarikan pada lawan jenis adalah fitrah setiap manusia yang jika tidak dikendalikan, maka perasaan atau hasrat untuk mendapatkan seorang wanita dengan tidak melalui jalur-jalur syariat Allah, akan berdampak buruk bagi manusia tersebut.
Sekuat apa pun hasrat untuk memiliki dan menghalalkan seorang wanita, tetap yang harus diutamakan sesuai tuntunan Allah dan Rasul adalah iman dan islamnya. Dalam hadis Rasulullah Saw yang sering kita didengar disebutkan, “Dunia adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan shalihah,”
Kedua, anak-anak. Keinginan tingkatan kedua adalah (memiliki) anak-anak. Setelah Allah memberikan pasangan hidup, hasrat manusia adalah ingin mempunyai penyejuk hati, penerus keturunan, yaitu anak. Dalam ayat ini, Allah menggunakan bentuk jamak yakni banin yang bermakna anak-anak, yaitu lebih dari satu. Namun, jika keinginan tersebut hanya sebatas hasrat, tidak pada niat dan tekad kuat untuk mendidik mereka, maka akan menjadi sesuatu yang berbahaya pula.
Ketiga, harta yang banyak. Keinginan ketiga ialah harta yang melimpah baik emas maupun perak. Keinginan untuk memiliki harta yang melimpah adalah keinginan dasar bagi manusia Emas dan perak masuk dalam kategori keinginan keempat karena sejak zaman dulu, hingga saat ini, manusia pada umumnya mengidamkan keduanya.
Keempat, kuda pilihan. Jika zaman saat diturunkannya ayat ini kuda sebagai icon keinginan yang sangat didambakan oleh masyarakat kala itu, maka kuda disini, menurut KH Muslih Abdul Karim, diartikan sebagai kendaraan yang dalam konteks kekinian dapat disejajarkan dengan mobil, motor, atau lainnya yang dapat mempermudah seseorang untuk menempuh perjalanan tanpa harus lelah berjalan kaki.
Kelima, binatang ternak. Binatang ternak yang dimaksud dalam ayat ini sejenis unta, sapi, kambing, yang juga menjadi sebuah keinginan manusia untuk memilikinya. Sebab, memiliki ternak sapi, unta, maupun kambing adalah sebuah usaha yang juga menghasilkan uang—yang dapat membuat si empunya lebih dekat dengan Allah melalui harta yang disedekahkannya, atau justru jauh dari Allah karena kufur atas ni’matNya.
Keenam, sawah ladang. Yakni pertanian berupa hasil sayur mayor, buah-buahan, dan lain sebagainya yang juga disebutkan dalam ayat ini sebagai keinginan yang didamba manusia baik untuk dimiliki maupun dinikmati hasilnya.
Ayat ini ditutup Allah dengan penegasan bahwa keenam hasrat duniawi di atas hanyalah kesenangan yang bersifat sementara, fana dan akan lenyap sedangkan yang kekal adalah surga Allah semata. Semoga kita termasuk orang-orang yang bersyukur dan merasa cukup atas apa yang Allah limpahkan. Amin.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/04/m886t2-enam-hasrat-duniawi
Menyikapi Kejadian
Sabtu, 04 Agustus 2012, 04:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr (HC) A Riawan Amin MSc
Suatu hari, ada dua anak bermain di tepi pantai. Tiba-tiba datanglah gelombang ombak di hadapan mereka. Menyapu dan hampir saja menyeret keduanya.
Namun, saat ombak berlalu, terlihat dua reaksi yang sama sekali berbeda dari kedua anak tersebut. Anak pertama tertawa penuh suka cita. Sebaliknya, anak kedua terlihat menangis penuh duka cita.
Kisah di atas menggambarkan bahwa kejadian yang sama pada tempat dan waktu yang sama dapat disikapi secara berbeda. Kejadian adalah apa yang menimpa kita. Sering kali kejadian berlangsung di luar rencana dan kekuasaan kita, walaupun pasti berada dalam rencana dan kuasa Allah. Segala kejadian, termasuk musibah atau bencana, pastilah terjadi atas izin dan kehendak Allah SWT.
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum kami mewjudukannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu …” (QS al-Hadid [57]: 22-23).
Umumnya manusia bersikap reaktif saat mengalami kejadian-kejadian dalam hidupnya. Artinya, mencipta pengalaman negatif atas kejadian yang dianggap negatif dan sebaliknya.
Aksioma bahwa kejadian negatif pasti menghasilkan sesuatu yang negatif dan kejadian positif pasti menghasilkan sesuatu yang positif, terpatahkan dalam kisah di pantai tadi. Perbedaan reaksi dua anak tersebut mengindikasikan terbukanya pilihan manusia untuk mencipta pengalamannya sendiri dan memilih untuk selalu bereaksi positif terhadap segala kejadian yang menimpanya.
Reaksi positif yang didasari prasangka baik kepada Allah SWT niscaya membawa pada kehidupan yang tenteram, sebagaimana dinyatakan dalam Hadis Qudsi; “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku. Jika baik prasangkanya, kebaikanlah baginya. Jika buruk prasangkanya, keburukanlah baginya.”
Dalam Hadis Qudsi yang lain dikatakan, “Aku bergantung pada sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku …” (HR Bukhari).
Karena terbukanya pilihan bagi manusia untuk mencipta pengalamannya sendiri dan memilih untuk selalu bereaksi positif terhadap segala kejadian yang menimpanya, mengapa kita tidak memilih reaksi positif atas setiap kejadian dalam hidup kita? Menyikapi setiap kejadian dengan tenang, penuh persangkaan baik kepada Allah, dan selalu bertawakal kepada Allah.
Suasana jiwa yang mewarnai pengalaman-pengalaman kita dapat secara jelas terpisahkan serta independen dari suasana dan kejadian-kejadian pada lingkungan di sekeliling. Orang yang ikhlas dan tenteram jiwanya, sabar, tersenyum walaupun berat cobaan hidup yang dialaminya.
Jiwanya selalu tenteram dan ikhlas dalam mengingat Allah. Jiwanya tak lagi terombang ambing oleh susah-senang nyaman-tak nyaman yang datang bersama setiap kejadian. Setiap kejadian yang dialami dan diambil dari sisi positif, penuh hikmah sebagai jalan agar semakin dekat kepada Allah SWT, itulah yang disebut nafsul muthmainnah. Cara itu merupakan salah satu didikan madrasah Ramadhan
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/03/m861bf-menyikapi-kejadian
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr (HC) A Riawan Amin MSc
Suatu hari, ada dua anak bermain di tepi pantai. Tiba-tiba datanglah gelombang ombak di hadapan mereka. Menyapu dan hampir saja menyeret keduanya.
Namun, saat ombak berlalu, terlihat dua reaksi yang sama sekali berbeda dari kedua anak tersebut. Anak pertama tertawa penuh suka cita. Sebaliknya, anak kedua terlihat menangis penuh duka cita.
Kisah di atas menggambarkan bahwa kejadian yang sama pada tempat dan waktu yang sama dapat disikapi secara berbeda. Kejadian adalah apa yang menimpa kita. Sering kali kejadian berlangsung di luar rencana dan kekuasaan kita, walaupun pasti berada dalam rencana dan kuasa Allah. Segala kejadian, termasuk musibah atau bencana, pastilah terjadi atas izin dan kehendak Allah SWT.
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum kami mewjudukannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu …” (QS al-Hadid [57]: 22-23).
Umumnya manusia bersikap reaktif saat mengalami kejadian-kejadian dalam hidupnya. Artinya, mencipta pengalaman negatif atas kejadian yang dianggap negatif dan sebaliknya.
Aksioma bahwa kejadian negatif pasti menghasilkan sesuatu yang negatif dan kejadian positif pasti menghasilkan sesuatu yang positif, terpatahkan dalam kisah di pantai tadi. Perbedaan reaksi dua anak tersebut mengindikasikan terbukanya pilihan manusia untuk mencipta pengalamannya sendiri dan memilih untuk selalu bereaksi positif terhadap segala kejadian yang menimpanya.
Reaksi positif yang didasari prasangka baik kepada Allah SWT niscaya membawa pada kehidupan yang tenteram, sebagaimana dinyatakan dalam Hadis Qudsi; “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku. Jika baik prasangkanya, kebaikanlah baginya. Jika buruk prasangkanya, keburukanlah baginya.”
Dalam Hadis Qudsi yang lain dikatakan, “Aku bergantung pada sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku …” (HR Bukhari).
Karena terbukanya pilihan bagi manusia untuk mencipta pengalamannya sendiri dan memilih untuk selalu bereaksi positif terhadap segala kejadian yang menimpanya, mengapa kita tidak memilih reaksi positif atas setiap kejadian dalam hidup kita? Menyikapi setiap kejadian dengan tenang, penuh persangkaan baik kepada Allah, dan selalu bertawakal kepada Allah.
Suasana jiwa yang mewarnai pengalaman-pengalaman kita dapat secara jelas terpisahkan serta independen dari suasana dan kejadian-kejadian pada lingkungan di sekeliling. Orang yang ikhlas dan tenteram jiwanya, sabar, tersenyum walaupun berat cobaan hidup yang dialaminya.
Jiwanya selalu tenteram dan ikhlas dalam mengingat Allah. Jiwanya tak lagi terombang ambing oleh susah-senang nyaman-tak nyaman yang datang bersama setiap kejadian. Setiap kejadian yang dialami dan diambil dari sisi positif, penuh hikmah sebagai jalan agar semakin dekat kepada Allah SWT, itulah yang disebut nafsul muthmainnah. Cara itu merupakan salah satu didikan madrasah Ramadhan
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/03/m861bf-menyikapi-kejadian
Langganan:
Postingan (Atom)